Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Tech News

Berawal dari Sistem Bondar

Written By napitupulusipakko on Jumat, Maret 20, 2009 | Jumat, Maret 20, 2009

Mengapa masyarakat Haunatas, Tanjungrompa, Bonandolok dan Siranap sangat peduli melindungi hutan Sibual-buali dan menjaga bondar (tali air) yang bersumber dari hulu Aek Sirabun?
Nilai-nilai kearifan lokal yang bernuansa konservasi ini tak bisa dipisahkan dari sejarah dibukanya perkampungan Simaretong (sekarang Desa Haunatas) sekitar tahun 1907, jauh sebelum negara Indonesia berdiri.

Jansen Pasaribu menuturkan masyarakat dari keempat desa itu sebenarnya bukanlah penduduk asli Marancar, Tapanuli Selatan. Leluhur mereka berasal dari Toba Samosir yang migrasi ke Desa Sioma-oma, Sipirok.

Ceritanya, pada awal abad ke-20, di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, empat lelaki bersaudara dari rumpun keluarga marga Pasaribu, yakni Parbagas Godang, Tarub Ijuk, Tarup Seng dan si bungsu Bonandolok, meninggalkan Sioma-oma menuju keluatan Marancar yang pada masa itu dikuasai oleh Raja Adat Siregar Bahumi. Kedatangan mereka ke Marancar dengan maksud ingin membuka perkampungan dan persawahan.

Sebagai pendatang, keempat bersaudara itu menyadari tak akan mudah bagi mereka untuk mendapat restu membuka perkampungan di keluatan Marancar yang dikuasai komunitas marga Siregar. Untuk mendapat hak pengelolaan kawasan di Marancar, keluarga Pasaribu melakukan pendekatan kultural. Caranya, si bungsu Bonan Dolok yang belum berkeluarga meminang putri Raja Adat Siregar Bahumi. Pinangan direstui sehingga terjalinlah ikatan tali persaudaraan melalui horja (pesta) perkawinan. Secara adat, ketiga saudara kandung Bonandolok pun statusnya menjadi anak boru bagi marga Siregar Bahumi. Dalam adat Batak Toba, Angkola dan Mandailing, anak boru berarti saudara laki-laki dari suami adik/kakak perempuan.

Dengan terbangunnya tali persaudaraan itu, pada 1907 keluarga Pasaribu akhirnya diberi kedaulatan membuka perkampungan sendiri (luat). Kawasan yang diberikan oleh Raja Adat Siregar Bahumi berada di lembah sempit dengan topografi perbukitan di antara kaki Gunung Sibual-buali dan Gunung Lubuk Raya. Kawasan itu dinamai wilayah Simaretong. Di pemukiman baru itu, keluarga Pasaribu berencana menerapkan sistem pertanian sawah yang mengandalkan jaringan bondar (tali air) sebagaimana di kampung asalnya. Dengan sistem pertanian sawah itu, dalam setahun petani bisa panen dua kali. Pada masa itu, penduduk asli Marancar masih menerapkan sistem pertanian lahan kering (tadah hujan) atau perladangan berpindah.

Sialnya, kawasan khusus yang diberikan kepada keluarga Pasaribu itu tidak dilintasi sungai. Sementara sungai terdekat dari tempat tinggal mereka, yakni Aek Sirabun, posisinya berada di bawah kampung Simaretong, sehingga tidak bisa langsung dimanfaatkan untuk mengairi pertanian sawah. Tak putus asa, keempat Pasaribu bersaudara itu lalu menyusuri hutan untuk menemukan hulu Aek Sirabun di punggung Gunung Sibual-buali. Setelah lebih lima kilometer memasuki belantara hutan Sibual-buali, akhirnya mereka menemukan hulu Aek Sirabun. Lalu dibuatlah bendungan dari kayu. Agar air bendungan itu bisa dilairkan ke sawah, keempat bersaudara itu bekerja keras membuat tali air dari hulu sampai ke pemukiman mereka sepanjang enam kilometer. Tali air itu kemudian didistribusikan ke sawah mereka masing-masing.

Keberhasilan keempat bersaudara itu kemudian menarik para kahanggi (keluarga lelaki dari garis keturunan ayah) dari klan Pasaribu lainnya di Sioma-oma, Sipirok, untuk hijrah ke Simaretong sehingga secara resmi pada tahun 1907 terbetuklah perkampungan klan Pasaribu di sana. Oleh warga, kawasan Simaretong itu kemudian diberi nama Desa Haunatas. yang diambil dari nama asal tempat marga Pasaribu di Toba Samosir. Belakangan, keluarga anak boru Pasaribu lainnya di Sioma-oma juga ikut berpindah ke sana seperti dari keluarga Napitupulu, Pardede, Simanjuntak, Harianja, Pane, Ritonga dan Pangaribuan.

Dengan bertambahnya kepala keluarga dan dibukanya persawahan baru, para leluhur Pasaribu pada masa itu mulai menerapkan kembali tradisi adat Batak Toba dalam sistem penjagaan dan pembagian bondar. Secara adat disekapati bahwa tali air itu milik bersama yang harus dijaga dan dibagi secara adil ke persawahan penduduk. Untuk itu, dibetuklah sistem jaga bondar (pengawasan tali air) dengan dikepalai oleh seorang mantri bondar.
“Mantri bondar dipercayakan kepada pemuka adat tertinggi yang fungsinya mengatur secara adil sistem distribusi tali air dan dia pula yang menyelesaikan masalah jika terjadi perselisihan atau kecurangan dalam pemanfatan bondar. Sedangkan jaga bondar yang ditetapkan sebanyak delapan orang dipilih oleh warga masyarakat dengan tugas mengawasi tali air dan melindungi keutuhan hutan di sekitar bondar dan hulu sungai,” terang Jansen Pasaribu.

Selain sebagai pemimpin adat di Simaretong, Jansen juga sampai saat ini masih dipercaya sebagai mantri bondar dan merupakan mantri bondar ketiga sejak leluhurnya memberlakukan sistem ini di jaman pemerintahan kolonial Hindia. Belanda.

Kini, setelah kawasan Simaretong berkembang menjadi empat desa (Haunatas, Bonandolok, Tanjungrompa dan Siranap), tali air warisan leluhur yang bersumber dari hutan Sibalu-buali itu masih terpelihara dan memberikan jasa lingkungan sebagai sumber air bersih bagi 253 kepala keluarga di keempat desa dan mengairi 300 hektar persawahan penduduk. Umumnya, mereka masih menanam padi varietas lokal seperti Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Namun jika terlambat penanaman, sering pula masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang.

Dalam pengelolaan sistem bondar, yang berhak mendapatkan pembagian air adalah warga keturunan dari keempat desa yang memiliki areal persawahan dan telah diadati pernikahannya. Namun jika ia meninggalkan kampung tersebut dan bermukim di daerah lain, maka ia akan kehilangan haknya dalam penggunaan tali air. Hak itu bisa dipulihkan kembali jika ia kembali lagi bermukim di wilayah keempat desa ini.

Bagaimana jika terjadi kerusakan tali air? “Tergantung tingkat kerusakannya. Kalau kerusakan ringan, cukup jaga bondar (pengurus tali air) yang memperbaikinya. Misalnya, salah satu jaringan bondar jebol. Tapi kalau keruskaan atau gangguan tergolong berat, seperti longsor di hulu dan menutup bondar, ya selaku mantri bondar saya meminta masyarakat untuk membantu secara bergotong royong,” jelas Jansen.

Bagaimana pula sumber dana untuk perawatan dan pengawasan bondar? Nah, setiap warga yang menggunakan air diwajibkan membayar sebesar 2 kaleng padi (24 kg) setiap tahun. Khusus anggota baru yang berasal dari luar keturunan keempat desa, diwajibkan membayar biaya awal keanggotaan berupa 12 kg karet dan 3 tabung padi. Beras kontribusi warga ini selanjutnya dijual oleh mantri bondar dan uangnya digunakan untuk merawat saluran irigasi dan sebagian disisihkan untuk upah mantri bondar dan jaga bondar. Pembagian upah untuk jaga bondar diatur oleh mantri bondar berdasarkan hari kerja yang dikontribusikan oleh setiap jaga bondar dalam setahun.

Nah, kesepakatan terpenting dari pengelolaan sistem bondar ini adalah larangan merusak hutan yang ada, terutama di hulu sungai dan di sepanjang daerah aliran tali air, sehingga siapapun yang berani menebang hutan di sekitar tali air dan hulu Aek Sirabun di belantara Sibual-buali harus berhadapan dengan masyarakat desa tersebut.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Cerita fiktif ya gan...?