Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Tech News

Huta Batak (Batak Village)

Written By napitupulusipakko on Sabtu, Maret 21, 2009 | Sabtu, Maret 21, 2009

Orang Batak memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup dan membentuk masyarakat kelompok kecil. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga/clan atau masih memiliki hubungan kekerabatan. Desa-desa tertutup ini disebut huta.




Pintu masuk huta Batak (Entrance gate to Huta Batak)

Huta dulunya dikelilingi oleh tembok batu/tanah (parik) yang ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat. Jalan masuk ke huta tersebut hanya ada satu atau maksimal dua gerbang (bahal), depan (jolo) dan belakang (pudi). Dekat dengan bahal biasanya terdapat pohon beringin (baringin) dan atau hariara.

Didalam huta Batak (View inside Huta Batak)
Ada dua jenis rumah adat yang ada didalam huta Batak, yaitu ruma dan sopo yang saling berhadapan. Diantara kedua deretan bangunan tersebut terdapat halaman yang luas (alaman) yang menjadi tempat kegiatan orangtua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama, sebenarnya berbeda dari sisi konstruksi dan fungsi.

Huta Batak hasil di tempat TB Center ini terdiri dari tiga buah ruma dan tiga buah sopo. Ke-6 bangunan ini adalah sumbangan dari keluarga-keluarga yang sangat peduli dengan pelestarian budaya Batak. Berdasarkan informasi dari pemilik diketahui bahwa umur bangunan sudah mencapai 120-150 tahun, dan sudah dilakukan beberapa perbaikan dibeberapa bagian bangunan. Huta Batak dibuat sedemikian rupa mengikuti bentuk sebenarnya dengan modifikasi dalam bentuk bahal, parik dan alaman.
-----------------------------------------------
Bataks typically settle in closed villages and form small communities. Usually, a community (a group) consists of several different clans (marga) or Bataks with familial relations. A closed village is called a huta.
A
huta used to be surrounded by walls made of stone / earth soil (parik), planted with bamboo trees closely adjacent one to another. There is one, or a maximum of two entrance gates (bahal) located at the front (jolo) and the back (pudi). A banyan tree (baringin) and / or a hariara tree are usually present close to the bahal.

There are two types of the traditional houses inside a huta Batak that face one another, the ruma and the sopo. Between the two buildings is a wide common area (alaman) where parents and children conduct their activities. These two buildings, despite their similar look, are in fact different from one another, functionally as well as from the construction perspective.

Huta Batak at TB Center consists of three rumas and three sopos. These six buildings were contributions from families that truly care about the conservation of the Batak culture. According to the information provided by the original owners, the buildings are approximately 120-150 years old. Improvements had been done to several parts of the buildings. Huta Batak was created in such a way in accordance with its original format with modifications in the shape of the bahal, parik and alaman.
================

MAKAM BATU/STONE GRAVE

Replika kuburan/makam batu ini mengikuti bentuk kuburan/keranda batu kepala-kepala suku/marga ratusan tahun yang lalu. Pembuatan replika ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa banyak peninggalan Batak yang berasal dari jaman batu besar (Megalithikum).

Merupakan kehormatan jika seseorang dikuburkan didalam batu. Keranda dari batu ini berbeda dengan keranda yang terbuat dari kayu dimana keranda kayu ditanam didalam tanah sedangkan keranda batu diletakkan diatas tanah. Keranda batu dibuat dari sebuah batu yang besar dan utuh.

Dalam perkembangannya, sejak masuknya teknologi campuran semen ke tanah Batak, pembuatan keranda batu ini tidak lagi menggunakan batu besar, akan tetapi menggunakan campuran semen yang dibentuk menyerupai keranda batu jaman dulu dan namanya disebut simin

----------------------------------

The replica of this cemetery / stone grave follows the shape of a cemetery / stone bier of the ethnic group’s leader hundreds of years ago. The production of this replica was meant to show to the community that many of the Batak legacies came from the Megalithic period. It is an honor for someone to be buried inside a stone. The stone bier is different from the wood bier which is placed underground. The stone bier is placed above ground, and it is made of a one-piece, large size stone.

In its development since the finding of cement mixture, the production of a stone bier no longer uses a big stone, but instead uses the cement mixture formed resembling the ancient stone bier, called simin.

======================

PANGULUBALANG (ULUBALANG)

Pangulubalang adalah peninggalan suku Batak ketika masih menganut animisme. Pangulubalang atau ulubalang adalah patung pelindung desa, khususnya pada saat penduduk desa sedang meninggalkan desa untuk bertani. Patung-patung ini terbuat dari batu, namun ada juga patung yang dibuat dari kayu.

Pangulubalang juga mempunyai peranan penting dalam masalah perselisihan antar marga atau antar desa; roh pangulubalang ditugaskan pergi ke daerah musuh untuk menutup mata dan telinga musuh agar tidak mampu berperang lagi. Pada saat-saat tertentu, patung ini dipuja dan disembah supaya masyarakat desa selamat dari mara bahaya dan juga untuk memohon rejeki.

----------------------------------------------
Pangulubalang is a legacy of the Batak ethnic group when many still followed animism. Pangulubalang or the ulubalang was the statue protecting the village, especially when villagers are out to engage in farming. These statues were made of stone, although some were also made of wood.

Pangulubalang also played an important role in disputes between clans or between villages; the spirit of pangulubalang would be assigned to visit the adversaries, close their eyes and ears in order to make them unable to wage in war again. In certain moments this statue would also be worshipped for the safety of the community, as well as to wish for a fortune.

=====================

SIGALE-GALE

Sigale-gale adalah sebuah mitos kisah sedih dalam kehidupan masa lalu masyarakat Batak, dan berkaitan erat dengan upacara kematian. Ada beberapa versi cerita yang diyakini oleh masyarakat sebagai asal-usul legenda patung sigale-gale. Dalam adat Batak jaman dahulu, kesedihan terbesar bagi seorang orang Batak adalah jika ia meninggal tanpa menghasilkan keturunan terutama laki-laki sebagai penerus marga. Mereka percaya bahwa roh (begu) mendiang akan menjadi gangguan bagi masyarakat satu desa atau satu marga tersebut.

Untuk menghibur hati orang yang telah meninggal, maka dibuatlah sebuah patung kayu berbentuk manusia laki-laki yang akan ditampilkan dalam upacara kematian yang secara khusus diselenggarakan dan disebut papurpur sapata. Dalam upacara ini patung tersebut akan menari seperti layaknya manusia normal dengan bantuan dari para dukun. Melalui acara ini diharapkan kekecewaan mendiang akan dapat terobati, sehingga bisa beristirahat dengan tenang dan tidak mengganggu masyarakat desa.

------------------------------------------
Sigale-gale was a sad myth in the life of the Batak community's past, directly related to the ceremony for the dead. There are several versions of the myth within the community on the origin of the sigale-gale statue. In the ancient Batak tradition, it is most heartbreaking for a Batak person to die without producing a male heir. They believed that the spirit (begu) of that deceased person will later become a disturbance for the community, the village, or within one’s clan.

To entertain the soul of that deceased person, a wooden statue in the shape of a male human would then be made to be presented at the death ceremony (papurpur sapata). With the help of the shamans, the statue will dance like a living being throughout the ceremony. Through this ceremony, it was hoped that the disappointment of the deceased can be alleviated, so that his soul can rest calmly and not disturb the village community.

===================

POHON HARIARA (Berusia ± 120 tahun)

Pohon hariara adalah pohon yang sangat erat kaitannya dengan Adat Batak. Hariara sering ditanam sebagai tanda pembatas antara satu huta (kampung) dengan huta yang lain, bahkan simbol pengawal desa, sebagai tempat mamele (berdoa pada penghuni alam gaib) atau sebagai tanda kepemilikan satu wilayah atau sebagai lambang bagi satu klan/marga, atau bahkan sebagai saksi dalam perjanjian antar komunitas.

Pohon ini juga memiliki makna filosofis bagi orang Batak. Hariara sering disebut sebagai pohon hidupnnya suku Batak karena pohon ini dapat tumbuh tinggi besar, kokoh dan tahan terhadap berbagai cuaca dengan masa hidup yang lama. Daunnya yang lebat membuat daerah sekitarnya menjadi sejuk sehingga sering orang-orang berteduh dibawah pohon sambil membicarakan banyak hal. Berbagai jenis makhluk hidup juga hidup dan mencari makan dipohon ini. Pohon ini menjadi semacam ”kerajaan” tanpa raja yang penuh dengan kehidupan tanpa kekacauan.

Orangtua sangat mengharapkan anak-anaknya selalu mengingat hariara ”Tumbuh tinggi, besar dan kuat, membenamkan akar jauh ke perut bumi, menjadi sumber hidup dan saluran berkat bagi sesama dan makhluk hidup lainnya”

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Nice pictures. Remind me that I haven't visited rumah ompung for 5 years.
Moga tahun ini bisa pulang ! :)

btw mampir ke blog saya :

http://ceritaeka.wordpress.com
or
http://ekastory.wordpress.com

Thanks :)