Peran Perempuan Batak Sebagai Lokomotif Perubahan
Written By napitupulusipakko on Senin, April 06, 2009 | Senin, April 06, 2009
abarIndonesia - Sosok seorang perempuan Batak, boru Simangunsong menempuh jarak 25 Km dari Huta Gala-gala menuju kota Balige hanya untuk menjual “sapalatik karupuk” (satu plastik kerupuk) buatan sendiri terbuat dari gadong sirio.
Peran perempuan dalam sejarah Indonesia telah mendapat tempat yang layak. Untuk mengenang perempuan-perempuan tersebut, telah ditetapkan 21 April sebagai hari Kartini, tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Semuanya untuk menghormati perempuan.
Perempuan berasal dari kata puan, yang berarti mulia, yang harus dihormati. Itu sebabnya konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Convention on The Elimitationof all Froms of Distriminination Agarnst Womwn (CEDAM) melalui undang-undang nomor 7 tahun 1984.
Adalah deklarasi internasional yang berkaitan dengan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan (Kompas, 26/2/01). Perempuan harus dihormati. Sebab, perempuan ialah lokomotif perubahan. Sejak dulu sudah terpatri pada perempuan Indonesia. Contonya, siapa tidak kenal Kartini, perempuan pejuang emansipasi, meninggal saat melahirkan anak pertama. Dewi Sartika, pelopor masalah pendidikan. Lalu, Martha Cristina Tiahahu adalah anak Paulus Tiahahu, seorang kapitan yang juga pembantu Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) sebagai ciri khasnya. Di Sumatera Barat ada Siti Roehana Koeddoes, pendiri koran perempuan pertama, bernama Soenting Melajoe (1912-1921). Ada juga Maria Maramis 1019 mendirikan organisasi Kecintan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) mendirikan sekolah-sekolah di Selawesi, Kalimatan, Sumatera, Jawa. Tidak ketinggalan dari tanah Batak, Lopian putri Sisingamangara XII wafat saat membantu ayahnya melawan penjajah. Lopian meninggal karena membela perjuangan Raja Si Singamangaraja XII, tanggal 17 Juni 1907. Lopian, srikandi sejati, meninggal diberondong peluru di kaki gunung Sitopangan.
Itu jaman dulu. Sekarang apakah ada perempuan Batak yang hebat? Ada banyak perempuan Batak yang hebat seperti Miranda Goeltom, Elvira Rosa Nasution atau Rosiana Silalahi, Dewi Lestari Simangunsong (Dee). Mereka adalah perempuan tangguh di bidangnya. Miranda dikenal perempuan Batak pertama menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Elvira, perenang tangguh. Rosianna Silalahi, Pemimpin Redaksi salah satu televisi swasta yang sukses. Dan masih perempuan Batak yang tidak pernah diekpos. Tetapi kita tidak bisa menutup mata terhadap perempuan Batak atas perjuangan mereka sebagai tulang punggung keluarga. Berjuang untuk sesuap nasi. Di Huta Galagala, Balige, seorang inang (ibu) perempuan Batak harus berjalan kaki sepanjang 25 km untuk menjual kerupuk.
Ini adalah kenyataan yang memiris hati. Perempuan yang ulet dan tahan banting. Bekerja untuk membantu suami mencari kebutuhan sehari-hari. Ibu sembilan anak tersebut harus membiayai studi anaknya tiga orang yang sedang sekolah. Sementara biaya studi anaknya sebesar Rp. 270 ribu per bulan tidak bisa menutupi biaya tersebut dari pendapatannya.
Di Tanjung Priok, Raida Tampubolon, menjadi kuli panggul, pekerjaan yang biasa dilakoni laki-laki. Berat badannya hanya 40 kilogram, namun terbiasa manuhuk (memundak) barang hingga 70 kilogram. Sesuatu yang luar biasa. Perempuan 41 tahun asal Sidikalang ini, bekerja sebagai kuli panggul dengan penghasilan Rp 30 ribu sehari. Sebab tidak ada pilihan lain. Raida tinggal di tanah garapan Tanah Merah Plumpang, Jakarta Utara. Di gubuk itulah dia tinggal bersama lima anaknya dan suaminya, Gani Hutagaol, yang bekerja sebagai sopir tembak Metromini.
Di kawasan Terminal Bus Pulo Gadung, Jakarta Timur, ada banyak inang-inang Batak berprofesi sebagai penukar uang. Lumayan menguntungkan saat memasuki Ramadan (puasa) dan menyambut Idul Fitri. Biasanya, uang Rp 50.000 ditukar uang pecahan menjadi Rp 45.000. Begitu juga dengan uang Rp 100.000 ditukar uang pecahan ribuan, lima ribuan maupun puluhan ribuan menjadi Rp 90.000. Dan berlangsung hingga menjelang Idul Fitri. Meski di awal hingga pertengahan puasa harga penukaran uang seperti hari biasa yaitu mengambil keuntungan 10 persen. Biasanya H-7 menjelang Idul Fitri keuntungan mereka meningkat. Bukan hanya, Boru Simangunsung, Raida, inang-inang penukar uang pecahan, boru Batak yang bekerja seperti itu. Masih banyak kuli panggul dan parrengge-rengge, misalnya, di pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Tiap hari banyak perempuan Batak, tukang pinggul, parrengge-renggre (pedagang), pengumpul sayuran bekas untuk dijual kembali. Benar-benar boru Batak bukan perempuan biasa.
Lokomotif Perubahan
Membaca kisah di atas, para perempuan di jaman sebelum merdeka, perempuan bukan melulu di balik layar. Mereka adalah lokomotif perubahan. Para perempuan menggugah nasibnya sendiri. Perempuan Batak, dalam konteks daerah mempunyai banyak prestasi dalam membangun Bona Pasogit lewat berjuang untuk kemajuan daerahnya. Salah satuanya dalah demo inang-inang dalam menutup PT Indorayan di Sosor Ladang, Porsea.
Kemajuan perempuan Batak akan menjadi salah indikator kemajuan Bona Pasogit. Selama ini perempauan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, sedang laki-laki terlalu banyak marnonang (berceita) di Lapo. Perempuan yang mengambil peran yang banyak. Perempuan adalah lokomotif perubahan, menggugah nasib lewat anak-anak mereka. Sebab anak lebih banyak dipengaruhi oleh perempuan. Itu sebabnya kemajuan salah satu bangsa ditentukan peran dari perempuan itu sendiri. Maka tak berlebihan jika dalam politik kuota keterwakilan perempuan disediakan 30%. Ini akan menjadi pondasi politik Indonesia. Menempatkan perempuan sebagai aset bukan lagi objek. Maka ada pameo mengatakan, mendidik satu orang laki-laki mendidik satu individu, mendidik satu orang perempuan mendidik satu generasi.
Konon Chairil Anwar, Pujangga 45 itu, banyak menulis puisi tentang perempuan, sebagai bakti dan kenangannya terhadap perempuan. Puisinya diinspirasi dari pengalamannya melihat daya juang perempauan. Misalnya, puisinya berjudul “Nisan” ditulis tahun 1943. Puisi ini dibuat untuk mengenang neneknya. Demikian pula Pramoedya Ananta Toer dalam karya-karyanya pun konsisten menggambarkan perjuangan perempuan dalam melawan kekuasaan kolonialisme dan feodalisme yang menjadi penyebab ketertindasan ekonomi, sosial, politik, dan kemanusiaan.
Meskipun Budaya Batak menganut Patrilinear, mengikuti garis keturunan laki-laki. Namun ada perumpamaan yang melawan anggapan perempuan tidak mendapat ruang pada kesamaan hak. “Tinallik randorung, sai bontar gotana, dos do anak dohot boru” (sama anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama). Perumpamaan tadi diteguhkan perumpamaan yang lain "Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru" yang berarti kedudukan anak perempuan dan laki-laki adalah sama. Maka, perempuan Batak majulah terus, jangan goyah. Tunjukkan peranmu sebagai lokomotif. Lokomotif yang mampu mendorong dan menarik gerbong-gerbong yang macet.***
*)Penulis adalah wartawan media budaya Batak, dan pemerhati masalah Bona Pasogit.
Oleh : Hotman Jonathan Lumbangaol
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar