Bentuk makam itu beraneka ragam, dari tugu dengan patung-patungnya, kapal, pagoda, miniatur gereja, hingga vila. Banyak yang tampak sangat megah dan unik, bahkan bisa menjadi penanda (landmark) sebuah kawasan.
Bangunan-bangunan dari semen indah dan megah itu baru muncul pada paruh abad ke-20. Sebelumnya, makam asli keluarga Batak cukup ditandai dengan pohon (hariara) yang kebanyakan berupa pohon beringin. Makam sendiri berupa tanah yang ditinggikan atau peti batu yang digeletakkan di dataran. Orang bahkan banyak yang sudah lupa bahwa istilah makam Batak yang asli adalah tambak. Banyak orang menyebut makam Batak kini sebagai tugu karena saking banyaknya makam yang berbentuk tugu.
Menurut Amudi Pasaribu dalam tulisannya berjudul ”Pembangunan Tugu Dipandang dari Segi Sosial-Ekonomi”, pembangunan tugu makam secara besar-besaran mulai terjadi pada dasawarsa 1955-1965 di bona pasogit (kampung halaman orang Batak). Para perantau menjadi penyumbang terbesar pembangunan tugu.
Beringin besar
Meskipun demikian, pohon-pohon beringin besar masih bisa ditemukan di banyak kawasan di Humbang Hasundutan. Hampir bisa dipastikan, pohon beringin di Humbang Hasundutan adalah tambak keluarga.
W Silaban (66), warga Desa Dolok Marbu, Kecamatan Lintong Nihuta, Humbang Hasundutan, mengatakan, makam keluarga Silaban yang berada persis di samping rumahnya berisi ratusan jenazah. Makam dengan pohon beringin yang sangat besar itu dipagar seluas sekitar 6 x 6 meter.
Umur tambak keluarga itu juga ratusan tahun. ”Saya saja sudah Silaban nomor sembilan, tambak itu ada sejak Silaban nomor satu,” tutur dia.
Warga percaya, jika pohon semakin besar dan rindang dengan cabang yang banyak, keturunan keluarga itu dipercaya berhasil di masyarakat. ”Jika pohon justru mati atau tak banyak berdaun, keluarga besar itu pun tak banyak berguna di masyarakat,” tutur Marandut Manulang (42), warga Doloksanggul, Humbang Hasundutan.
Sri Hartini, dalam disertasinya yang berjudul ”Kajian Bentuk dan Makna Tambak pada Masyarakat Batak Toba” membagi makam keluarga Batak Toba dalam tiga tipe. Pertama, tambak dari tanah yang ditinggikan yang biasanya ditanami pohon kosmis (biasanya pohon beringin) atau ditancapi tanduk kerbau.
Tambak kedua adalah makam dari batu alam utuh berbentuk segi empat panjang yang disebut batu sada, parholian, atau sarkofagus. Tambak model ini merupakan peninggalan tradisi megalit sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Hanya kaum bangsawan yang diduga mampu membuat kubur batu mengingat butuh banyak tenaga untuk memindahkan dan membuatnya.
Dan, tambak ketiga adalah tambak dari semen atau campuran pasir, bata, dan semen yang disebut Sri Hartini sebagai tambak modern. Berdasarkan penelitiannya di wilayah bona pasogit, Sri membagi tambak modern menjadi 13 kelompok berdasarkan bentuk bangunan. ”Orang Batak sangat adaptif dalam membuat bentuk bangunan,” tutur Sri.
Tiga model pemakaman itu bisa dilihat sekaligus salah satunya di Huta (Kampung) Sialagan di Pulau Samosir. Kampung kecil milik keluarga Sialagan itu juga menjadi daerah tujuan wisata Pulau Samosir.
Di sudut kampung tumbuh sebuah pohon beringin besar. Di bawah pohon terdapat sarkofagus batu dan tambak semen persegi berisi tulang belulang marga Sialagan. Ratusan orang dikubur dalam tambak itu. ”Umurnya kira-kira 600 tahun,” kata Wesley Guntur Sialagan (60), generasi ke-19 marga Sialagan.
Wesley meyakini tradisi pemakaman Batak sangat erat dengan tradisi Hindu. Saat melakukan penggalian untuk membangun pagar tembok batu di dalam kampung itu, pensiunan pegawai bank pemerintah itu menemukan abu dalam pinggan pasu (piring) porselen. Penemuan abu yang ia duga sebagai abu jenazah leluhurnya itu menunjukkan bahwa ada tradisi pembakaran mayat seperti tradisi Hindu Bali. ”Ini memang dugaan yang butuh pembuktian,” kata Wesley. Abu leluhurnya itu kini ia makamkan dalam tambak di Sialagan.
Keputusan untuk memasukkan anggota keluarga yang meninggal dalam tambak biasanya dilakukan dengan rapat adat.
Ada dua jenis pemakaman adat Batak. Pertama, penguburan langsung ke tanah sesaat setelah kematian, terutama bagi orang yang mati muda.
Yang kedua adalah penguburan jenazah ke tanah, yang dilanjutkan penguburan tulang belulang beberapa tahun kemudian setelah proses pembusukan terjadi. Proses pemakaman kedua ini disebut mangokal holi.
Mangongkal holi ini butuh dana besar. Hotber Sialagan (52), keturunan marga Sialagan nomor 16, hingga kini masih mengumpulkan dana untuk mangongkal holi kedua orangtuanya yang meninggal 10 tahun lalu.
Kini banyak warga Batak menyatukan proses pembusukan dan pemakaman tulang dalam satu tambak. Bagian bawah tambak menjadi makam tempat pembusukan, bagian atas tempat disemayamkan tulang-tulang.
Bagi orang Batak tak ada tambak yang menakutkan. Leluhur yang jasadnya masuk ke tambak adalah orang-orang yang justru jiwanya akan membantu mereka yang hidup.
Tambak menjadi representasi sebuah marga atau keluarga besar. ”Orang bisa membangun tambak sendiri jika ia mampu,” kata Hotber. (WSI)
0 komentar:
Posting Komentar