Sinkretisme dalam kehidupan orang-orang Batak didasarkan pada pemahaman, bahwa upacara adat itu hanya merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur. Karena itu keberadaannya perlu dilestarikan dengan cara menyingkirkan beberapa hal yang dinilai me ngandung unsur Hasipelebeguon seperti: perdukunan (Hadatuon), kesurupan (siar-siaran), pembuatan patung-patung (gana-ganaan), jimat (parsimboraon), menyembah setan (mamele begu) dan hal-hal lainnya. Hasipelebeguon itu hanya sebagian dari bentuk tipuan yang dimainkan oleh iblis. Di luar itu, masih banyak lagi bentuk hasipelebeguon lain yang sangat dibenci oleh Tuhan. Hasipelebeguon itu mengambil bentuk yang lebih halus, sehingga sekilas bisa dianggap tidak bertentangan dengan Firman Tuhan.
Kita tidak pernah mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam terhadap upacara adat: tentang hakikat, makna, dan tujuan dari upacara adat itu sebenarnya. Kita tidak pernah bertanya, apakah arti keberadaan upacara itu bagi leluhur yang hidup pada masa sebelum Injil tiba di tanah Batak. Apakah benar bahwa upacara itu sungguh-sungguh tidak bertentangan dengan Firman Tuhan? Apakah layak sebagai pengikut Kristus kita terlibat di dalamnya? Kita berpikir, karena hampir semua orang telah melakukannya, maka tidak ada sesuatupun yang salah. Bahkan hampir semua pemimpin umat Tuhan terlibat dalam aktivitas itu. Kita juga beranggapan, bahwa identitas baru sebagai seorang Batak pengikut Yesus tetap didasarkan pada nilai-nilai yang dianut oleh leluhur yang hidup dizaman Hasipelebeguon. Kita telah menjadi orang Kristen yang kompromis dan permisif, seperti ungkapan Batak yang mengatakan: “Eme na tasak digagat ursa, aha na masa ima na taula”.
Sinkretisme dalam kekristenan Batak dihasilkan oleh cara berpikir parsial, yang melihat upacara adat hanya sebagai unsur dari kebudayaan Batak yang terpisah dari unsur-unsur budaya lainnya, seperti: religi, kesenian, hukum, dan lainnya. Pandangan parsial merupakan suatu pola pikir yang menguasai pemikiran orang Eropa pada abad 19. Mereka memisahkan antara religi dengan berbagai unsur kebudayaan lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lain-lain. Pemikiran yang demikianlah yang digunakan Missionaris untuk menilai kebudayaan Batak. Kebudayaan Batak dinilai dari sudut pandang orang Eropa, bukan dari sudut pandang orang Batak itu sendiri.
Pendekatan antropologi memberikan pemahaman lebih menyeluruh (holistik) tentang upacara adat. Pendekatan ini memandang upacara adat tidak hanya sebagai aktivitas sosial yang berdiri sendiri, tetapi berupaya menggambarkan segala nilai, ide, gagasan, paradigma, norma, dan kuasa roh yang ada dibelakangnya. Sehingga dapat digambarkan aktivitas itu sebagaimana yang dilihat oleh masyarakat pelaku budaya itu sendiri.
Penelitian antropologi memperlihatkan bahwa masyarakat Batak bersifat religius. Artinya, seluruh unsur kebudayaannya dipengaruhi dan dibentuk oleh keyakinan religi leluhur. Religi yang dimaksud adalah “agama Batak” atau Hasipelebeguon. Segala upacara adat didasarkan atas ide, gagasan, nilai, paradigma, ajaran dan kuasa dari roh sembahan leluhur. Jadi, upacara adat bukan sekedar tradisi leluhur, melainkan rangkaian ritual agama Batak yang diajarkan kepada keturunannya.
Melalui upacara adat itu, para leluhur berupaya mengatasi berbagai bahaya yang mengancam kehidupannya dan menjamin berkat (pasu-pasu) dari para roh yang menjadi sembahan mereka. Religi Batak mengenal nama dewa yang diyakini sebagai dewa tertinggi yang dipanggil dengan Ompu Mulajadi Nabolon atau Debata Mulajadi Nabolon. Disamping itu dikenal juga beberapa dewa lainnya yang bernama: Batara Guru, Mangala Bulan, Mangala Sori, Debata Asiasi, Boraspati Ni Tano, Boru Saniang Naga, roh-roh para leluhur dan berbagai macam jenis begu lainnya. Seluruh roh sembahan ini dimanfaatkan untuk melindungi mereka dari berbagai bentuk bahaya dan malapetaka, dan menjamin tercapainya kekayaan (hamoraon), kemuliaan (hasangapon), dan keberhasilan hidup (hagabeon).
Dengan menyebut upacara “agama Batak” dengan istilah “tradisi warisan leluhur” atau “adat”, maka Iblis berhasil memperdaya banyak orang Kristen, dengan membutakan mata rohaninya dari segala jerat kelicikan Iblis yang di-sembunyikan di dalam upacara itu. Hal itu lebih dimungkinkan lagi karena kita tidak pernah bertanya lebih dalam tentang apakah sesungguhnya yang diwariskan oleh leluhur itu. Kita menerima begitu saja keberadaan upacara adat itu. Orang Batak lebih cenderung memahami detail dan urutan pelaksanaan upacara adat. Pembahasan tentang kedua unsur ini bisa memunculkan suatu debat yang sengit dan panas. Tetapi sangat jarang dijumpai orang Batak, yang mengerti makna rohani dari upacara itu, dan yang mempertanyakan tentang prinsip-prinsip yang ada dibelakang upacara itu.
Karena itu, penulis hanya akan memperlihatkan beberapa prinsip utama yang mendasari upacara agama Batak atau upacara adat Batak. Dengan demikian, kita akan mengerti bahwa tradisi warisan itu merupakan rangkaian upacara ritual agama leluhur. Dan kita akan memahami lebih jauh lagi bahwa upacara adat Batak sesungguhnya bertentangan dengan Firman Tuhan
Sumber: Injil dan Adat Batak
karya James Silalahi
0 komentar:
Posting Komentar