Situs Kota Batak di Pesisir Pulau Bintan, Kepulauan Riau
Photo. Pintu Gerbang ke Situs “Kota Batak” Bukit Kerang, Bintan
Situs “Kota Batak” merupakan sebutan untuk bukit Kerang sekitar 500 meter dari tebing Sungai Kawal di kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Masyarakat setempat kadang juga menyebutnya “Benteng Batak” yang menurut mereka dibangun oleh nenek moyang mereka ratusan tahun yang lalu untuk berlindung dari serangan pembatak atau perompak atau orang jahat, yang selalu menjarah penduduk di daerah utara pantai Pulau Bintan.
Kosa kata “batak” yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menyebutkan bukit kerang tersebut tidak ada kaitannya dengan etnis Batak di Sumatera. Istilah “batak” terdapat pada kosa kata bahasa Melayu lama, yang maknanya sama dengan istilah pembatak yang dipergunakan dalam cerita teater tradisonal Makyong di Mantang Arang dan Kampung Keke Kijang, Kabupaten Bintan. Pembantak dalam cerita teater tradisonal tersebut diartikan sebagai orang jahat.
Keberadaan situs ini menurut arkeolog H.R. van Heekeren dan R, Sukmono, disinyalir adalah sisa peninggalan kebudayaan Bacson-Hoabin, salah satu cabang kebudayaan yang penting dalam zaman Mesolitikum di Indonesia; yang berkembang sejak 3000 tahun sebelum masehi. Karena situs yang mirip pernah ditemukan pada tahun 1907 di daerah Sungai Tamiang dekat Seruai. Kemudian pada tahun 1924 di daerah Batu Kenong, Aceh oleh JH Neuman. Selanjutnya, pada tahun 1927 di daerah Serdang Hilir Pantai Timur Sumatera.
Kemiripan situs-situs tersebut adalah adanyanya kemiripan tekstur tanah bukit kerang tersebut dengan bukit kerang yang ditemukan sebelumnya di Sungai Tamiang, Batu Kenong dan Serdang Hilir di daratan Sumatera. Bukit kerang ini diperkirakan merupakan timbunan sampah-sampah dapur dan sisa makanan masyarakat zaman dulu yang didominasi oleh kerang.
Kemudian kemiripan lainnya ditemukan berbagai artefak yang mirip yaitu ditemukan patahan mata kapak batu atau kapak pendek yang telah diasah atau diupam, alat cungkil atau spatula dari bahan tulang yang telah diasah salah satu ujungnya. Dan yang terpenting, pada situs Bukit Kerang Kawal Darat ini juga ditemukan pecahan gerabah yang dihiasi dengan pola yang sederhana yang tidak ada di tiga situs di Sumatera di atas.
Pada tahun 2009, sebuah penelitian dan ekskavasi awal yang dilakukan oleh Balai Arkeologi (BALAR) Medan menemukan tiga bukit kerang yang mirip di tiga lokasi di Kawal tersebut, selain di sungai Kawal diatas juga ditemukan sebuah bukit kerang lebih kecil terletak di kebun penduduk berhampiran kebun sawit milik swasta, sedangkan situs ketiga, yang agak lebih kecil lagi, terletak dalam areal kebun milik penduduk yang lokasinya berhampiran dengan lokasi situs kedua.
Kesimpulan sementara dari penemuan ini adalah bahwa di Pulau Bintan pernah hidup manusia zaman prasejarah yang mirip di sumatera. Manusia prasejarah inilah yang diperkirakan menghasilkan bukit kerang karena mereka tinggal di sekitar pantai dan muara sungai pada rumah-rumah bertonggak (rumah panggung). Hidup mereka berkelompok dengan mengumpulan bahan makanan berupa kerang (moluska) dalam berbagai jenis yang mudah ditemukan disekitar tempat tinggal mereka.Sisa-sisa kulit kerang yang mereka buang selama bertahun-tahun dan bahkan ribuan tahun itulah yang akhirnya menumpuk dan lambat laun menjelma menjadi sebuah bukit yang tingginya sekitar empat meter.
Hasil analisa arkeologis dan hasil pengukuran usia (carbon dating atau analisa carbon) terhadap sampel bukit kerang dan sisa-sisa arang yang diambil dari kaki bukit bagian luar situs ini menghasilkan angka periodesasi 1.680 BP (Before Present = sebelum sekarang). Bila dikonversikan kedalam angka tahun sejarah maka sama dengan tahun 333 Masehi, atau sama dengan abad ke-3 Masehi. Sebuah angka tahun yang masuk dalam babakan prasejarah dalam periode Mesolitikum di Indonesia.
Kesimpulan dari Tim BALAR Medan tersebut adalah adanya terkaitan antara hasil kerja tangan-tangan manusia pendukung budaya Bacsonian yang berkembang sejak dari Semenanjung Asia, Malaysia, Utara Sumatera, dan Pulau Bintan. Bahkan bisa jadi mereka adalah nenek moyang ras melayu lama.
Pemerintah Provinsi Kepulaun Riau umumnya dan Pemerintah Kabupaten Bintan khususnya seyogyanya agar dapat memberikan perhatian khusus kepada situs-situs bukit kerang yang ada di Kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan ini. Karena keberadaan situs ini sangat penting untuk mengetahui jejak manusia prasejarah dan mengevaluasi ulang sejarah melayu di negeri ini. Salam.
Sumber. Dinas pariwisata dan Kebudayaan Kab. Bintan dan lain-lain
Photo. Pintu Gerbang ke Situs “Kota Batak” Bukit Kerang, Bintan
Situs “Kota Batak” merupakan sebutan untuk bukit Kerang sekitar 500 meter dari tebing Sungai Kawal di kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Masyarakat setempat kadang juga menyebutnya “Benteng Batak” yang menurut mereka dibangun oleh nenek moyang mereka ratusan tahun yang lalu untuk berlindung dari serangan pembatak atau perompak atau orang jahat, yang selalu menjarah penduduk di daerah utara pantai Pulau Bintan.
Kosa kata “batak” yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menyebutkan bukit kerang tersebut tidak ada kaitannya dengan etnis Batak di Sumatera. Istilah “batak” terdapat pada kosa kata bahasa Melayu lama, yang maknanya sama dengan istilah pembatak yang dipergunakan dalam cerita teater tradisonal Makyong di Mantang Arang dan Kampung Keke Kijang, Kabupaten Bintan. Pembantak dalam cerita teater tradisonal tersebut diartikan sebagai orang jahat.
Keberadaan situs ini menurut arkeolog H.R. van Heekeren dan R, Sukmono, disinyalir adalah sisa peninggalan kebudayaan Bacson-Hoabin, salah satu cabang kebudayaan yang penting dalam zaman Mesolitikum di Indonesia; yang berkembang sejak 3000 tahun sebelum masehi. Karena situs yang mirip pernah ditemukan pada tahun 1907 di daerah Sungai Tamiang dekat Seruai. Kemudian pada tahun 1924 di daerah Batu Kenong, Aceh oleh JH Neuman. Selanjutnya, pada tahun 1927 di daerah Serdang Hilir Pantai Timur Sumatera.
Kemiripan situs-situs tersebut adalah adanyanya kemiripan tekstur tanah bukit kerang tersebut dengan bukit kerang yang ditemukan sebelumnya di Sungai Tamiang, Batu Kenong dan Serdang Hilir di daratan Sumatera. Bukit kerang ini diperkirakan merupakan timbunan sampah-sampah dapur dan sisa makanan masyarakat zaman dulu yang didominasi oleh kerang.
Kemudian kemiripan lainnya ditemukan berbagai artefak yang mirip yaitu ditemukan patahan mata kapak batu atau kapak pendek yang telah diasah atau diupam, alat cungkil atau spatula dari bahan tulang yang telah diasah salah satu ujungnya. Dan yang terpenting, pada situs Bukit Kerang Kawal Darat ini juga ditemukan pecahan gerabah yang dihiasi dengan pola yang sederhana yang tidak ada di tiga situs di Sumatera di atas.
Pada tahun 2009, sebuah penelitian dan ekskavasi awal yang dilakukan oleh Balai Arkeologi (BALAR) Medan menemukan tiga bukit kerang yang mirip di tiga lokasi di Kawal tersebut, selain di sungai Kawal diatas juga ditemukan sebuah bukit kerang lebih kecil terletak di kebun penduduk berhampiran kebun sawit milik swasta, sedangkan situs ketiga, yang agak lebih kecil lagi, terletak dalam areal kebun milik penduduk yang lokasinya berhampiran dengan lokasi situs kedua.
Kesimpulan sementara dari penemuan ini adalah bahwa di Pulau Bintan pernah hidup manusia zaman prasejarah yang mirip di sumatera. Manusia prasejarah inilah yang diperkirakan menghasilkan bukit kerang karena mereka tinggal di sekitar pantai dan muara sungai pada rumah-rumah bertonggak (rumah panggung). Hidup mereka berkelompok dengan mengumpulan bahan makanan berupa kerang (moluska) dalam berbagai jenis yang mudah ditemukan disekitar tempat tinggal mereka.Sisa-sisa kulit kerang yang mereka buang selama bertahun-tahun dan bahkan ribuan tahun itulah yang akhirnya menumpuk dan lambat laun menjelma menjadi sebuah bukit yang tingginya sekitar empat meter.
Hasil analisa arkeologis dan hasil pengukuran usia (carbon dating atau analisa carbon) terhadap sampel bukit kerang dan sisa-sisa arang yang diambil dari kaki bukit bagian luar situs ini menghasilkan angka periodesasi 1.680 BP (Before Present = sebelum sekarang). Bila dikonversikan kedalam angka tahun sejarah maka sama dengan tahun 333 Masehi, atau sama dengan abad ke-3 Masehi. Sebuah angka tahun yang masuk dalam babakan prasejarah dalam periode Mesolitikum di Indonesia.
Kesimpulan dari Tim BALAR Medan tersebut adalah adanya terkaitan antara hasil kerja tangan-tangan manusia pendukung budaya Bacsonian yang berkembang sejak dari Semenanjung Asia, Malaysia, Utara Sumatera, dan Pulau Bintan. Bahkan bisa jadi mereka adalah nenek moyang ras melayu lama.
Pemerintah Provinsi Kepulaun Riau umumnya dan Pemerintah Kabupaten Bintan khususnya seyogyanya agar dapat memberikan perhatian khusus kepada situs-situs bukit kerang yang ada di Kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan ini. Karena keberadaan situs ini sangat penting untuk mengetahui jejak manusia prasejarah dan mengevaluasi ulang sejarah melayu di negeri ini. Salam.
Sumber. Dinas pariwisata dan Kebudayaan Kab. Bintan dan lain-lain
0 komentar:
Posting Komentar