Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Tech News

Written By napitupulusipakko on Rabu, April 01, 2009 | Rabu, April 01, 2009

3. Adat na Niadathon
Adat na Niadathon yaitu tingkatan pelaksanaan tata upacara adat yang sudah dipengaruhi kebudayaan dan peradaban yang telah menjadi kebiasaan dan kelaziman baru. Melalui kebiasaan pelaksanaan adat pada species 2 yaitu Adat na Taradat terjadilah pergeseran-pergeseran nilai dan perobahan pelaku adat untuk menyikapi pelaksanaan upacara adat inti, melainkan memunculkan “adat baru” melawan dan menindas tata laksana upacara adat inti. Bentuk-bentuk kegiatan upacara adat yang baru pun muncul antara lain upacara adat wisuda, babtisan anak, lepas sidi, perayaan ulang tahun, peresmian perusahaan, dan lain-lain, yang sebenarnya jenis upacara adat di atas tidak dijumpai pada upacara adat Batak Toba khususnya pada adat inti.

Pada upacara adat dalam species Adat na Niadathon ini sangat dipengaruhi oleh unsur keagamaan. Di sini keterbukaan pintu adaptasi terhadap budaya dan kebiasaan dari luar atau pengaruh era globalisasi telah digunakan untuk merongrong dan menjajah adat inti atau adat asli yang selalu dilaksanakan etnis Batak Toba yang lama kelamaan menjadi memudar dan kabur, dan mungkin pada suatu saat akan tidak jelas dan pada akhirnya akan lenyap.

4. Adat na Soadat
Spesies adat berikut ini secara harafiah Adat na Soadat adalah adat yang bukan adat, karena tata laksana upacara adat disini tidak lagi berdasarkan struktur dan sistematika yang lazim dilaksanakan oleh etnis Batak Toba. Upacara yang dilaksanakan adalah sekedar “ngumpul” dalam bentuk resepsi, baik dalam upacara perkawinan, kematian dan lain-lain.

Struktur kekerabatan Dalihan Natolu yaitu hula-hula (pihak pengambilan boru), dongan tubu (saudara semarga), dan boru (pihak yang mengambil isteri) tidak lagi difungsikan, demikian juga halnya simbol-simbol dan media yang digunakan dalam upacara adat seperti dengke (ikan), boras (beras), ulos, jambar (daging yang dibagi-bagikan sesuai dengan kedudukan (status) kekerabatan (affina) seseorang pada upacara adat) dan lain-lain semua disingkirkan. Dalam penolakan upacara adat dalam spesies Adat na Soadat ini umpama Batak Toba menyebutkan :

Mumpat taluktuk, sega gadu-gadu
Nunga muba adat naung buruk ala ro adat naimbaru,

(Tercabut patok, rusak pembatas sawah, adat yang lama telah berobah karena sudah datang adat yang baru).

Ungkapan ini sebenarnya berkonotasi yang tidak baik karena patok adalah petunjuk yang ditetapkan dan dimufakati justru dicabut, maka ketetapan boleh dilanggar, hal ini akan menimbulkan ketegangan dan perpercahan. Pembatas sawah yang dianalogikan sebagai aturan dan batas-batas tindakan dan perilaku dengan dasar nilai-nilai adat sudah rusak akan menimbulkan kekhaosan, pertentangan dan perpercahan.

Kelompok yang menolak upacara adat ini adalah sebahagian dari kelompok agama Kristen sekte kharismatik dan juga kelompok agama Kristen Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) dan mungkin individu-individu pada gereja suku yang menolak pelaksanaan upacara adat. Menurut kelompok ini upacara adat berasal dari leluhur yang masih hidup dalam penyembahan berhala pada masa kegelapan sebelum agama Kristen masuk ke daerah Batak Toba. Oleh karena itu upacara adat tidak hanya sebagai aktivitas sosial yang berdiri sendiri tetapi terkait dengan segala ide, gagasan, paradigma, norma kuasa roh kegelapan yang ada di belakangnya dengan demikian upacara adat sangat bertentangan dengan hukum dan Firman Tuhan (H J Silalahi, 2004).

Kelompok Kharismatik yang menolak upacara adat perkembangannya sangat pesat termasuk di Indonesia. Menurut Pdt Burju Purba dalam waktu relatif singkat sejak tahun 1960 sampai sekarang sudah memiliki anggota lebih kurang 500 juta jiwa di dunia. Menurut penelitian David Berret, umat Kristiani di dunia saat ini terdiri dari gerakan Kharismatik 44 %, Katolik 33 % dan selebihnya 22 % di luar Katolik dan Kharismatik (SIB, 7 Maret 2004). Perkembangan jumlah jemaat Kharismatik akan terus bertambah diprediksi tidak lama lagi hanya 2 (dua) komunitas kristen di dunia ini yaitu komunitas sekte Kharismatik dengan persentase lebih besar dan sekte Katolik dalam persentase yang lebih kecil. Dengan demikian apabila sekte Kharismatik konsisten menolak upacara adat, maka dalam hitungan tahun upacara adat Batak Toba tidak lagi sekedar bergeser tetapi akan tamatlah riwayatnya.

Penutup
“Seandainya” ada sisi negatif dari pelaksanaan upacara adat tetapi masih lebih banyak sisi positifnya. Oleh karena itulah masih banyak (mayoritas) etnis Batak Toba melaksanakan upacara adat. Adat yang dilaksanakan pada saat sekarang adalah berlandaskan kepada ajaran agama yang diterangi oleh Firman Tuhan. Dengan demikian adat merupakan media perwujudnyataan “kasih” seperti yang diajarkan oleh Tuhan Allah. Sesudah agama Kristen dianut mayoritas etnis Batak Toba fungsi adat sebagai mengatur kehidupan manusia untuk menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan, dikonotasikan dalam istilah hadameon (kedamaian), bukan menciptakan ketegangan dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu seluruh komponen khususnya etnis Batak Toba berkewajiban melestarikan adat Batak Toba itu.

Kepada saudara-saudara dari kelompok sekte Kharismatik dan kelompok-kelompok lainnya yang menolak upacara adat Batak Toba perlu disadari bahwa manusia adalah mahluk sosial yang hidup saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Lebih-lebih satu rumpun keluarga yang masuk dalam sistem kekerabatan. Manusia hidup di tengah-tengah kemajemukan suku, agama, ras dan adat. Supaya hidup berdampingan rukun dan damai tidak mungkin dipaksakan suatu norma aturan dan hukum yang digariskan dengan satu sudut pandang satu agama untuk itu perlu tenggang rasa dan saling menghargai, menghindarkan kekhaosan perpecahan dan konflik.

Penulis : Drs. Brisman Silaban MSi.
(Pengamat Sosial Budaya, Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan/t)

Sumber : Harian SIB

0 komentar: