IKATAN KONTRAK pemerintah Indonesia dan pemerintah Jepang, terkait PT Inalum, akan berakhir lima tahun lagi (2013). Tapi, perusahaan pengolahan timah itu, yang juga mengoperasikan dua pembangkit listrik dengan kapasitas 603 MW, yaitu PLTA Sigura-gura dan Tangga, tidak otomatis jadi miilk Indonesia.
Direktur Umum dan SDM PT Inalum, Ir. H. Nasril Kamaruddin, MBA mengatakan hal itu kepada pers di Medan, belum lama ini. Nasril merasa perlu menjelaskan karena adanya anggapan di masyarakat, seolah-olah Inalum akan otomatis jadi milik negara.
Keberadaan perusahaan patungan Indonesia dan Jepang itu jadi sorotan karena Sumut dan daerah lainnya terus mengalami krisis energi listrik. Inalum adalah penghasil listrik yang cukup besar, namun hampir semuanya dipakai untuk keperluan sendiri. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan itu selalu dinyatakan rugi.
Inalum, selain mengoperasikan PLTA Sigura-gura dan Tangga atau disebut juga Asahan 2 dengan kapasitas desain 603 MW, juga memproduksi aluminium (ingot) dari pabrik di Kuala Tanjung, Kabupaten Batubara dengan kapasitas desain 225 ribu ton, walau produksi sudah mencapai 250 ribu ton per tahun.
“Kapasitas produksi listrik yang besar itu memang telah menjadi sasaran banyak pihak termasuk pemerintah untuk menjawab krisis listrik yang terjadi dewasa ini,” kata sebuah sumber.
Akan tetapi, lanjut Nasril dalam suatu pernyataan tertulisnya, proyek PLTA Sigura-gura dan Tangga serta pabrik peleburan aluminium adalah proyek satu paket dalam lingkup Asahan Project.
“Energi listrik yang dihasilkan oleh kedua PLTA tersebut disalurkan untuk keperluan proses peleburan aluminium di Kuala Tanjung,” kata Nasril seperti dikutip oleh harian Wapada.
Dalam penjelasan lisannya ia menegaskan, boleh-boleh saja kalau ada yang ingin mengambil alih PLTA Asahan 2 setelah 2013 . Hal itu memang mungkin untuk dilakukan. Tapi jangan lupa, berdasarkan perjanjian induk,pemerintah punya kewajiban menyuplai tenaga listrik ke pabrik atau smelter timah di Kuala Tanjung.
Pengambilalihan Inalum oleh pemerintah, katanya, tentu menjadi harapan semua rakyat Indonesia. Tetapi untuk merealisasikannya harus sesuai perjanjian. Menurut Nasril, dana pemerintah yang ada di Inalum sudah cukup untuk keperluan menguasai perusahaan itu.
Selalu dikatakan merugi
Utang-utang perusahaan yang sahamnya 60 persen dimiliki Jepang dan 40 persen Indonesia secara bisnis pada tahun 2010 sudah bisa lunas dibayar, katanya. Akan tetapi, Nasril tidak bersedia menyebutkan berapa dana pemerintah maupun besarnya utang perusahaan tersebut.
Inalum bertahun-tahun secara bisnis tetap meraih keuntungan, tetapi selalu dikatakan rugi, karena pendapatan dalam dolar tetapi dibayar dengan mata uang yen sehingga terjadi perbedaan kurs.
Selama tahun fiskal 2007 Inalum kembali meraih keuntungan sebesar 124 juta dolar AS dan perusahaan juga telah membayar pajak sejak tahun fiskal 2006 sebesar Rp563 miliar, kata Nasril.
0 komentar:
Posting Komentar