Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Tech News

Relasi Antropologi dan Karya Misis Gereja di Tanah Batak

Written By napitupulusipakko on Kamis, Februari 19, 2009 | Kamis, Februari 19, 2009

I. Pendahuluan

Masyarakat Batak memiliki enam suku yang berdiam di bagian Utara pulau Sumatra. Keenam suku ini memiliki adat, bahasa dan sistem religi masing-masing. Setiap suku dapat dikatakan otonom dalam budayanya masing-masing. Namun demikian, kesatuan yang universal atas suku-suku ini dapat terjalin dalam sistem kekerabatan dalam marga. Marga sangat berperan untuk memersatukan perbedaan yang ada. Dalam Paper ini akan dibahas relasi antara antropologi dan karya misi Gereja di tanah Batak. Bagaimana gambaran budaya batak secara keseluruhan serta bagaimana Gereja memasuki nilai-nilai budaya yang telah ada, inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam paper ini.

II. Deskripsi (pemahaman akan situasi masyarakat dan Budaya Batak)

Secara antropologis, kita dapat melihat bahwa orang Batak terdiri dari enam suku. Suku itu adalah Batak toba, Simalungun, Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi. Semua suku ini memiliki sistem kelompok yang biasa disebut kekerabatan dalam marga. Marga merupakan identitas setiap pribadi yang membuatnya menjadi satu-kesatuan dalam keluarga. Baik itu keluarga dekat maupun keluarga yang jauh (dalam arti famili). Dengan marga orang dapat memposisikan dirinya dalam adat. Dalam hal ini konsekuensinya yakni setiap orang harus mengetahui dengan baik marganya.

Sebelum kekristenan masuk ke daerah Batak, setiap suku memiliki kepercayaan terhadap nenek-moyang dan yang masih eksis hingga sekarang adalah Parmalim (kepercayaan suku Batak toba). Sesudah kekristenan masuk, orang Batak mayoritas menganut agama Kristen baik itu Protestan maupun Katolik. Sedangkan agama Islam hanya berkembang bagian Selatan Tapanuli (Mandailing).

III. Pandangan Umum Antrpologis Tentang Kemanusiaan Dengan Nilai-Nilai Yang Dimiliki

3.1. Sistem Geanologi

Salah satu sumber yang berpengaruh dalam kehidupan orang Batak adalah sistem geanologi. Sistem ini biasanya dilihat dalam perkawinan. Dari perkawinan, orang Batak menurunkan marganya sesuai dengan garis genealogis dari ayah. Geneaologi berasal dari bahasa Yunani yakni Genos (family) dan logos yaitu (ilmu/teori). Geneaologi artinya asal-usul atau daftar keturunan nenek moyang atau sejarah keluarga. Dengan marga pula orang Batak menyadari dirinya bersaudara satu sama lain.[1]

3.2. Sistem Hukum secara umum

Dalam budaya Batak maupun dalam tata peradatannya diatur dalam suatu hukum yaitu Dalihan Na Tolu[2]. Pengertian Dalihan Na Tolu secara hurufiah adalah satuan tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Biasanya masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah Dalihan Na Tolu paopat sihal-sihal dimaknai sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk menyejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal . Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.

Dalihan Na Tolu adalah falsafah hidup orang Batak yang menunjukkan keterikatan hubungan internal dari ketiga posisi kekerabatan orang Batak dalam bermasyarakat yakni mendoakan setiap orang agar senantiasa “Horas-Horas”: Somba marhula-hula, elek mar Boru, jala Manat mar Dongan Tubu.

Somba marhula-hula artinya senantiasa tunduk dan hormat kepada hula-hula agar horas-horas sedangkan elek mar-Boru senantiasa mengasihi agar mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan. Manat mar-Dongan Tubu artinya agar berhati-hati menjaga ikatan persaudaraan supaya terhindar dari malapetaka atau kutukan dari saudara semarga. Setiap orang Batak adalah Raja. Raja disini tidak ada kaitannya dengan kerajaan, hanya secara umum dipakai dalam acara adat dan kehidupan sehari-hari orang Batak.

Dalam ikatan Dalihan Na Tolu lazim digambarkan dengan bentuk segitiga sama sisi, masing-masing disebut juga: Rajani Hula-Hula, Raja ni Boru, dan Raja ni Dongan Tubu. Laki-laki Batak di dalam bermasyarakat pasti pernah menduduki ketiga posisi Dalihan Na Tolu ini, menjadi hula-hula, boru, atau dongan tubu tergantung pada situasi dan kondisinya saat itu.[3] Berdasarkan Dalihan Na Tolu, kekerabatan orang Batak dibagi dalam tiga bagian yaitu; Hula-Hula (kerabat marga pihak isteri), Dongan Tubu (marga kita, dari garis ayah, kakek dan anak laki), Boru (kerabat perempuan dari ayah, saudara perempuan kita beserta marga suaminya).

3.3. Sistem sosial

Yang dimaksud dalam hal ini adalah sistem yang mengatur relasi dalam masyarakat yakni; relasi antar pribadi dengan pribadi lain maupun dalam suatu marga dengan marga lain[4]. Sistem sosial dalam masyarakat Batak diatur dalam norma-norma adat dan aturan (patik/uhum). Aturan adat sangat berpengaruh untuk kehidupan moral dalam relasinya dengan sesama, dengan Tuhan. Sitem sosial terjadi di kampung dan dalam marga. Kampung merupakan tempat untuk tinggal berbagai marga dan famili. Di dalam kampung biasanya dipimpin oleh pengetua adat atau dalam istilahnya raja huta (raja kampung). Sistem sosial sangat memengaruhi kedudukan seseorang dalam masyarakat. Seperti usia (kelahiran), jabatan, penduduk asli, dan perkawinan.[5]

Usia sangat memengaruhi kewajiban seseorang dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Usia itu terdiri dari anak-anak, anak muda (remaja), bapak-bapak/ ibu-ibu (yang sudah menikah tetapi belum tua), dan orang tua (yang sudah berumur tua). Dalam upacara adat biasanya dipimpin oleh orang tua (yang sudah berumur tua), merekalah yang biasanya pemegang keputusan dalam hal-hal adat, maupun dalam menyelesaikan masalah. Yang melaksanakan hal-hal yang berhubungan dengan keputusan tersebut adalah bapak-bapak muda (yang sudah menikah) dan anak muda (doli-doli). Anak-anak biasanya belum masuk dalam hitungan khususnya dalam hal peradatan.

IV. Nilai-nilai yang dimiliki orang Batak[6]
Pandangan orang Batak ada tiga sistem nilai budaya yang menjadi tujuan hidup secara turun-temurun yakni; kekayaan (hamoraon), banyak keturunan (hagabeon), dan kehormatan (hasangapon). Ketiga nilai ini sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari orang Batak;[7]

Pertama yakni; Hagabeon artinya banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang sangat tinggi. Konsep Hagabeon berakar, dari budaya bersaing pada jaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang besar.

Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut Saur matua bulung (seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat dibayangkan betapa besar pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.

Kedua yakni; hasangapon artinya kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-lebih pada orang Toba, pada jaman modern ini untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan. Ketiga yakni; hamoraon artinya kaya raya. Kekayaan adalah salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak untuk mencari harta benda yang banyak.[8]

V. Karya Misi Gereja dan Sejarahnya di Daerah Batak

Misi kekristenan pertama diawali di daerah Barus.[9] Barus, sebuah nama daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatera Utara. Tetapi, sejarah daerah ini sebenarnya sangat tua, setua ketika kapal-kapal asing beribu tahun sebelum Masehi singgah mencari kapur barus di sana. Dari Barus pula, agama Islam dan Kristen pertama-tama dikenalkan ke seluruh Nusantara.[10]
Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7. Makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, menguatkan adanya komunitas Muslim di daerah ini pada era itu.[11]

VI. Perjumpaan (pertemuan) Iman di daerah Batak dan kebudayaannya sebelum perjumpaan iman dengan orang Batak, mereka telah lebih dahulu memiliki kepercayaan kepada Mula Jadi Na Bolon yang diyakini sebagai Allah Pencipta[12] dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Pemujaan dilatarbelakangi oleh pandangan tentang ‘ugama dan ugari’. Ugama adalah hubungan manusia dengan kehidupan spiritual dan yang transenden, sedangkan ugari adalah hubungan manusia dengan kehidupan material, yang dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan adat. Tujuan penghayatan ajaran kepercayaan ugamo Batak adalah menuntun, membimbing hidup dan perikehidupan manusia di dunia dan memperoleh kehidupan abadi di akhirat yang disebut “Hangoluan ni tondi di Banua Ginjang”.[13]

Mula Jadi Nabolon memiliki tiga kuasa yaitu Hahomion (kebijaksanaan), habonaran (kesucian), dan hagogoan (kekuatan). Untuk menghormati ini diadakan upacara dengan sesajen. Melalui sesajen ini orang Batak percaya bahwa akan terjadi pertemuan antara banua atas dan banua toru (bawah). Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk memperoleh keselamatan manusia maupun tanaman dan ternaknya.[14]

6.1. Sejarah Singkat Misi kekristenan

Pada tahun 1825 pertama kalinya Misionaris bekerja di Tanah Batak, yaitu Pdt. Ward dan Pdt Burton yang diutus oleh Gereja Baptis Inggris. Tahun 1829, terjadi Perang Bonjol. Tuanku Rao menyerang bangsa Batak, dan pada 1834, Pdt Samuel Munson dan Pdt Henry Lyman diutus Bandan Zending Boston, Amerika Serikat menginjili di tanah Batak. Kedua Missionaris tsb mati martir di Lobu Pining (Tapanuli Utara). Pada tahun 1861, misionaris Protestan dari Rheinische missiongesellschaft mengawali pewartaan Injil di tanah Batak khususnya di bagian Tapanuli Utara. Pada tahun 1878 Katolik masuk dan mendirikan paroki di Medan. Dari sana para misionaris meneruskan misinya ke tanah Batak.[15] Hampir 90% orang Batak menjadi orang Kristen.

Menurut para ahli, agama Kristen diterima karena orang Batak melihat “etika” berdasarkan kepercayaan lama yang terkait dengan adat tidak bertentangan dengan kehidupan sebagai pemeluk agama Kristen. Mereka berpandangan bahwa untuk memperoleh hidup yang kekal adalah dengan menganut agama Kristen, sedang dengan menata sistem masyarakat sehari-hari adalah adat.[16]

VII. Relasi Antropologi Dengan Karya Misi Gereja Secara Khusus Katolik

7.1. Dari segi antropologi
7.1.1. Religiusitasnya

Batak tradisional mengenal seorang Allah Pencipta dari semesta alam. Nama Allah nasional Batak ini adalah Mulajadi Nabolon, artinya “Allah Pemula Alam semesta.” Rumusan nama ini dikatakan Ompu Raja Mulamula, Ompu Raja Mulana; Ibana do nampuna sude na tinompana; na ro sian si so marmula, ndang binoto nang unungna; na so olo mahua, na so tumanda mara. (“Empu Raja Mulamula, empu asal-muasal; Dia yang empunya segala ciptaan miliknya; yang berasal dari yang tanpa mula, akhirnya tak dinyana; yang tak jemah tua dan tak kenal bahaya”). Singkatnya: Mulajadi Nabolon adalah khalik semesta alam; Dialah Alfa dan Omega. Tentang paham ini, Batak tidak membutuhkan tambahan pemahaman.[17]

7.1.2. Nilai-nilai yang dikejar (misi orang Batak)

Orang Batak memiliki nilai budaya yang harus dikejar dalam kehidupan sehari-harinya yakni; hagabeon, hasangapon, dan hamoraon. Pengertian ketiga ini dapat dilihat dalam penjelasan di atas tentang nilai-nilai yang dimiliki orang Batak.

7.1.3. Norma-norma atau aturan adat

Norma-norma atau aturan adat dalam kehidupan dan interaksi orang Batak tercantum dalam falsafah Dalihan Na Tolu dalam tiga subjek yaitu: hula-hula, dongan tubu, dan boru. Ketiga ini disatukan dalam satu ungkapan “somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru”. Relasi dari ketiga ini tidak terpisahkan satu sama lain karena memiliki kesatuan yang kokoh sebagaimana dalam gambaran segitiga sama sisi. Untuk lebih jelasnya lihat penjelasan di atas mengenai sistem hukum seacara umum.

7.2. Dari segi karya misi Gereja

Gereja diutus untuk melaksanakan pemakluman kabar gembira keselamatan yang telah dibawa Yesus Kristus. Kerajaan Allah telah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil (Mrk 1. 15). Pewartaan kabar gembira mempunyai tujuan untuk memertemukan umat manusia dengan Kristus Sabda Allah yang menjadi manusia. Melalui Kristus kerajaan Allah menerobos masuk ke dalam dunia secara definitif dan tidak dapat ditarik kembali.[18]

Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Ia menjadi penebus seluruh umat manuia. Berkat Dialah kita melihat arti keselamatan yaitu diterima dengan penuh kasih oleh Allah, Abba kita, agar kita menjadi umat yang diubah sesuai dengan model Yesus Kristus. Inilah kabar Gembira bagi manusia yang harus diwartakan oleh Gereja yaitu keselamatan dalam Kristus. Keselamatan itu diwartakan kepada semua orang.[19]

VIII. Misi Gereja dalam Habatakon[20]

Kita mengetahui dengan jelas bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Mulajadi Nabolon dan Allah Tritunggal Mahakudus Kristen. Pertama adalah bahwa Allah orang Kristen adalah Allah yang Mahamurah dalam soal penebusan: Allah Bapa membiarkan Putra-Nya Yesus Kristus menjelma menjadi manusia untuk menebus dunia. Tidak ada ide penjelmaan dalam Habatakon. Tidak ada pula artikel iman bahwa Allah putra wafat dan bangkit. Ide kebangkitan sama sekali kosong dalam paham Batak, sehingga teologi penyelamatan Kristen jauh lebih kaya dari ide Allah dalam Habatakon.[21]

Karena ketiadaan ide penebusan ini, maka Batak menjadi sipelebegu, pemuja roh-roh, pemujaan Allah menjadi samar, kendati tidak pernah hilang. Kenyataan keimanan ini fatal, sebab menjerumuskan penganut agama Batak ke dalam agama begu (“roh-roh/ hantu”) dan kecemasan. Dimana-mana terdapat begu yang mengintip hidup manusia, ini dipahami karena tidak terdapat ide mengenai penebusan, pembebasan dan penyelamatan. Ide mengenai kebangkitan dan kebahagiaan surga adalah hampa.[22]


8.1. Letak relasi keduanya

Bagaimana kekristenan mencangkokkan dirinya di atas adat/aturan Batak ini? Kekristenan masuk dengan metode inkulturasi. Pertama ialah dengan melakukan prinsip bahwa keselamatan bukan lagi berasal dan berlandaskan patik/uhum atau peraturan-peraturan adat, melainkan pada cinta penebusan Allah dalam putra-Nya Yesus Kristus. Nasib manusia, di atas bumi dan akhirat samasekali tergantung kepada-Nya, yang membawa keselamatan jiawa-raga. Lewat wafat dan kebangkitan-Nya. Inilah pembebasan agung dari Yesus Kristus bahwa: Hamatean pandelean ni na so mar-Tuhan-i; hamatean parhitan lao manopot surgoi. (“ kematian putus asa bagi orang yang tak ber- Tuhan; kematianlah jembatan untuk mencapai surga”).[23]

Dengan prinsip ini terbukti bahwa Batak sipelebegu, mati digoda oleh begu numur dsb, menjadi agama ketakutan dan akhirnya agama keputusasaan (lungkas ni hosa), agama kedamaian (dame na sumurung), agama keceriaan (kabar gembira) agama pengharapan. Ai nungga talu hamatean di bahen Tuhan Jesus i, hangoluando dilean lao manopot surgo i. (maut sudah ditaklukkan oleh Tuhan yesus; dibawa-Nya kehidupan mewarisi surga). Inilah motif utama masuknya Batak menganut kekristenan.

Kedua ialah memilih titik-titik praktis inkulturasi. Terutama dalam biadang ritus penyucian, seperti pangurason, parpangiron, parpeleanon, diambil inti patinya menjadi misalnya, air kudus Katolik, pelean horbo bius ditingkatkan pada paham ekaristi, dsb. Selalu dengan “membabtis” paham Batak menjadi paham kristen, sehingga sungguh menjadi iman kristen sejati. Hal-hal yang netral, seperti gondang, tanpa kesulitan dapat diakomodasi, tentu setelah memolesnya sehingga tidak canggung bagi liturgi katolik yang anggun. Yang diinkulturasikan diambil dari segi yang serasi dan berpadanan dengan kekristenan.

Ketiga ialah pembentukan “citarasa katolik” (sensus catholicus) dalam keseluruhan corak hidup dan penghayatan di kalangan Batak. Sensus catholicus itu akan membuat saringan sendiri, mana yang tepat dan mana yang kurang tepat dalam inkulturasi. Disitulah yang akan terasa terungkap bahwa orang 100% katolik dan 100% Batak, sebab mengakar pada tradisi dan budayanya, dan sungguh menganut kekatolikan. Dalam tahapan ini, seorang akan sangat cinta iman dan Gereja-Nya, dan menganggapnya sebagai ungkapan diri yang penuh, sehingga ia tidak gampang bertukar agama. Disitu dia yakin bahwa apa yang dalam meraba-raba diupayakan kepada dan mendapat kepenuhannya dalam Gereja.[24]

IX. Refleksi Kritis dari Penulis

Refleksi ini akan diawali dari suatu pertanyan; mengapa orang Batak begitu getol dan melekat kepada adat Dalihan Na Tolu ini, seolah-olah mengingkarinya akan mendatangkan kiamat ke masyarakat? Dapat dikatakan karena adat Dalihan Na Tolu termasuk dalam artikel iman dan penentu hidup matinya eksistensinya Batak di atas bumi menurut artikel iman itu. Dalam artikel iman itu dikatakan Mulajadi Nabolon mencipta Allah Timurty, yakni Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan.

Diakui oleh hampir semua Batakologi bahwa, dengan mendasarkan Allah Trimurty, ditetapkan stelsel habatakon Dalihan Na Tolu. Ketiga pribadi yakni; Dewata Batara Guru, Soripada dan Manggala Bulan disebut “na tolu suhu, na tolu harajaon” (tiga suku dan tiga kerajaan). Di situlah diakui kehadiran dan fungsi-fungsi khas dari tiga puak, tiga kelompok, tiga tata kerajaan. Dalam Habatakon Dalihan Na Tolu, secara lebih mendasar diberlakukan pantun hangoluan, tois hamagoan (menjalankan aturan adat adalah kehidupan, mengabaikannya adalah kehilangan pegangan atau mati).[25]

9.1. Hubungan Dalihan Na Tolu dan Gereja
Apa hubungan dan manfaat dari Adat Dalihan Na Tolu dengan Gereja? Bagi seorang Batak tradisional, adat haBatakon Dalihan Na Tolu adalah sangat mendasar dan bersifat mutlak. Ia tidak dapat dianggap sebagai kebetulan atau sembarang adat yang dapat dikesampingkan begitu saja. Adat Dalihan Na Tolu, yakni Somba marhulahula, hormat mardongan tubu, jala elek marboru termasuk inti mutlak dari umpama pantun hangoluan, tois hamagoan. Karena itu, celakalah orang yang tidak mematuhi Adat Dalihan Na Tolu ini dalam melaksanakan perkawinannya, sebab akan terkutuk oleh Allah.

Misalnya yang kawin semarga harus diusir dari kampung agar kampung itu tidak binasa.
Mula jadi Na bolon yang menciptakan triade Dalihan Na Tolu memberikan harapan bagi Gereja untuk mempesiapkan hukum pernikahan bagi persyaratan perkawinan kekristenan. Menyusul persyaratan untuk pernikahan monogami. Dalam umpasa dikatakan: “si dangka ni arirang, arirang ni pulau batu; naso tupa sirng, naung ho saut di ahu; naso tupa marimbang, sai hot tondi dijabu.” (cabang mayang, mayang dari kampung pulo batu; tak jemah berpisah sekalipun kau jadi istriku; tak jemah berpoligami sebab atma tetap di rumah). Peribahasa ini bukan saja menegaskan bahwa ideal pernikahan adalah monogami, tetapi juga pernikahan yang lestari sampai mati.

Kendati dengan segala kecermatan, stelsel Dalihan Na Tolu, terutama paham triesa Dewata trimurti, yakni Batara guru, Soripada dan Mangala Bulan, dapat dijadikan “ bahan baku” untuk memahami misteri Allah Tritunggal, yakni Allah yang Esa dalam diri, Allah Tritunggal, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tetapi serentak harus ditegaskan dengan cermat: Dewata Trimurti adalah ciptaan Mulajadi Nabolon. Kekudusannya hanya lewat kepadatan sahala (numen, theion). Hubungan antara Dewata trimurti dengan Mulajadi Nabolon harus dipahami sebagai hubungan pencipta dengan ciptaan, sang Khalik dan khalikah.

9.2. Realitas Masyarakat Sekarang
Untuk sekarang ini, adat habatakon lebih dikenal oleh masyarakat Batak dan masyarakat luas lewat pernikahan. Dalam perkawinan ini orang Batak mengenal ciri Batak. Dalam perkawinan ini adat Batak Dalihan Na Tolu, yakni Hulahula, Boru dan Dongan Tubu harus dihadirkan dan difungsikan secara utuh. Memang adat Dalihan Na Tolu inilah poros dan tumpuan kehidupan adat habatakon. Jika seorang Batak tidak lagi melaksanakan adat Dalihan Na Tolu, maka itulah pertanda ia melangkah keluar dari lingkaran habatakon. Dengan kata lain, ia kehilangan jati dirinya sebagai orang Batak.

X. Penutup
Kita telah mendalami nilai-nilai budaya yang tercantum dalam habatakon dalam persfektif antopologi, dan bagaimana karya misi Gereja masuk ke dalamnya. Penulis menyimpulkan bahwa antropologi dan karya misi Gereja kiranya tidak dapat disangkal bahwa keterjalinan kedua kutub itu berjalan secara erat dan intim, sehingga sulit menarik garis lurus yang jelas kesimpulannya. Namun distingsi dapat dibuat lewat pendasaran inkulturasi sehingga keduanya tetap otonom di dalamnya.

0 komentar: