Banyak orang menyangka bahwa penulisan sejarah Batak baru dimulai pada abad ke-20. Hal ini dapat dimaklumi karena buku-buku yang beredar di tengah-tengah masyarakat ditulis oleh pakar-pakar sejarah yang terperangkap dalam misi dan pemahaman sekitar zaman Belanda dan peran-perannya dalam masyarakat Batak.
Namun, bila kita cermati dengan sungguh-sungguh, penulisan sejarah Batak sebenarnya telah lama dilakukan setidaknya sejak berabad-abad yang lalu oleh para sultan dan cendikiawannya, jauh sebelum buku-buku versi Belanda mendominasi perpustakaan-perpustakaan nasional.
Naskah-naskah sejarah Batak tersebut merupakan kunci utama dalam mengungkap apa yang disebut dengan misteri dan legenda-legenda dalam buku modern sekarang ini. ‘Misteri dan legenda’ tersebut muncul akibat dari persepsi sempit yang banyak dianut oleh para pakar modern yang malah dianggap sebagai buku pegangan.
Gejala yang paling lucu dari penulisan sejarah tersebut adalah dengan mengganggap buku pegangan tersebut sebagai acuan mutlak dan mulai mengembangkannya dengan ‘teori-teori’ yang sepertinya masuk akal dengan berbagai hipotesa dari zaman-zaman yang paling langka. Sepertinya ada kesengajaan untuk melompati dan melangkahi zaman pertengahan, saat zaman sebelumnya langsung dihubungkan dengan zaman sekarang. Yang sudah barang tentu menghasilkan sebuah kesimpulan yang sangat keliru.
Contoh utama dari pemahaman itu, terdapat dalam pemahaman tokoh Raja Uti, Jonggi Manoar dan lain sebagainya yang malah menimbulkan bias yang sangat jauh, sampai-sampai malah memperkaburkan sejarah tersebut.
Hilangnya peran kosakata Barus dan beberapa negeri lainnya dalam pembahasan sejarah Batak modern ini, telah menciptakan gap-gap dan lobang-lobang yang menganga dalam penulisan sejarah sehingga sejarah Batak menjadi eksis tanpa bentuk.
Peran kesultanan Barus-baik individu lingkar elit maupun masyarakat cendikiawan di dalamnya- dalam penulisan sejarah yang selama ini diendapkan, sebenarnya sangat signifikan dalam membantu memahami sejarah kuno Batak tanpa hipotesa-hipotesa yang kelihan benar tapi sangat ngawur.
Beberapa naskah yang berhasil dikumpulkan saat masih berkuasanya kesultanan-kesultanan di Barus adalah:
Asal Turunan Raja Barus
Naskah ini sekarang berada di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 162. Dalam katalog van Ronkel naskah ini bernomor Bat. Gen. 162.
Naskah ini menguraikan keturunan, pemukiman dan hukum-hukum raja-raja Barus. Dengan beberapa kekecualian, kumpulan naskah itu mengenai pemukiman dan sejarah keluarga raja-raja Barus di Hulu.
Bagian awal menceritakan perkembangan dan mobilitas orang Batak marga Pohan dan Pardosi, daerah-daerah yang mereka buka dan bangun, peperangan dan perebutan wilayah dengan marga lain dan lain sebagainya.
Semuanya dijilid menjadi satu buku unkuran folio dengan sampul karton. Bagian-bagiannya kebanyakan ditulis dengan tinta, dengan huruf Arab Melayu atau yang sering juga disebut dengan tulisan Jawi.
Di naskah ini juga didapat sejarah Negeri Rambe, hubungan diplomasi dan perdagangan antara Aceh dan Tanah Batak, antara Kesultanan Barus dan orang-orang Toba, Dairi, Pusuk Buhit, Bakkara, Lintong, Tukka, marga Pasaribu dan Naipospos. Naskah ini sendiri dimulai dengan sebuah pembukaan “Inilah hikayat cerita Barus permulaannya Batak datang dari Toba dari suku Pohan seperti tersebut di bawah ini.”
Dari penjelasan mengenai Negeri Rambe, didapat sebuah pemahaman mengapa marga Pohan dan Pardosi yang menjadi pembuka dan raja di tempat tersebut, menjadi sangat sedikit jumlahnya.
Hal yang penting adalah tercatatnya sejarah keluarga raja-raja Hulu di Barus, silsilah dan tarombonya, dan beberapa aturan dan perundang-undangan dalam kesultanan yang sangat berguna dalam kelangsungan eksistensi pemerintahan saat itu.
Juga terdapat fasl-fasal mengenai adat istiadat dan tatakrama dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam pengangkatan raja dan para pejabat negara seperti penghulu, kebiasaan dalam pemakaman dan lain sebagainya seperti perjanjian-perjanjian kenegaraan dan adat.
Selain yang bersangkutan dengan raja-raja hulu, naskah ini juga mencatat sejarah dinasti yang memerintah di hilir.
Hikayat Cerita
Naskah yang berisi sejarah dan perjalanan Raja Hulu dan alasan-alasan utama dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya dalam mengambil keputusan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya yang bersangkutan dengan tata kelola pemerintahan.
Sejarah Tuanku Batu Badan
Naskah ini dimiliki oleh Zainal Arifin Pasariburaja yang kemudian dibahas oleh Jane Drakard, berisi mengenai segala sesuatu tentang Kesultanan Barus Hilir yang sering juga disebut orang sebagai Negeri Fansur.
Naskah ini juag menjadi pusat data dan dokumentasi ibukota kesultanan Barus Hilir yang sekarang ini sudah mulai menghilang dari permukaan bumi, baik yang disebabkan oleh alam maupun tangan-tangan manusia. Juga terdapat sejarahawal terbentuknya pemerintahan Raja Berempat atau Raja Na Opat di Negeri Silindung.
Di dalamnya terdapat banyak sejarah mengenai hubungan pertalian adat dan budaya antara Barus dan Minang dan bahkan beberapa raja-raja hilir memerintah sampai ke negeri Tarusan di Tanah Minang seperti Sultan Main Alam Pasaribu mengikuti jejak leluhurnya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.
Hikayat Keturunan Raja di Kuria Ilir
Ditulis di Barus pada tanggal 26 Februari 1896 oleh Sultan Alam Syah untuk kepentingan Belanda. Naskah ini pernah dikutip oleh K.A. James dalam sebuah bukunya di tahun 1902.
Hikayat Raja Tuktung
Naskah ini disimpan dalam koleksi di Perpustakaan Universitas Leiden dengan nomor Co. Or 3205 pt. B. Naskah ini merupakan kunci penting dalam penelusuran beberapa sejarah Batak Toba, khususnya Negeri Rambe. Kemasyhuran Raja Tuktung dari Tukka tidak saja di seantero Kesultanan Barus tapi juga di hampir seluruh tanah Batak. Nama Raja Tuktung banyak dikutip di beberapa naskah maupun pustaha-pustaha kuno Batak namun secara tidak lengkap.
Panjangnya 42 halaman berisi syair-syair indah menggunakan Arab Melayu alias Jawi. Naskah ini sangat jelas dalam menjelaskan kronologi sejarah permulaan Barus dan hubunganya dengan Tanah Batak pada umumnya serta hubungan erat keduanya dengan Aceh. Juga terdapat dokumentasi insiden peperangan antara Aceh dan Barus yang berakibat kepada kematian Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.
0 komentar:
Posting Komentar