Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Tech News

Situs Kota Batak di Pesisir Pulau Bintan, Kepulauan Riau

Written By napitupulusipakko on Rabu, September 03, 2014 | Rabu, September 03, 2014

Situs Kota Batak di Pesisir Pulau Bintan, Kepulauan Riau




Photo. Pintu Gerbang ke Situs “Kota Batak” Bukit Kerang, Bintan

Situs “Kota Batak” merupakan sebutan untuk bukit Kerang sekitar 500 meter dari tebing Sungai Kawal di kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Masyarakat setempat kadang juga menyebutnya “Benteng Batak” yang menurut mereka dibangun oleh nenek moyang mereka ratusan tahun yang lalu untuk berlindung dari serangan pembatak atau perompak atau orang jahat, yang selalu menjarah penduduk di daerah utara pantai Pulau Bintan.

Kosa kata “batak” yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menyebutkan bukit kerang tersebut tidak ada kaitannya dengan etnis Batak di Sumatera. Istilah “batak” terdapat pada kosa kata bahasa Melayu lama, yang maknanya sama dengan istilah pembatak yang dipergunakan dalam cerita teater tradisonal Makyong di Mantang Arang dan Kampung Keke Kijang, Kabupaten Bintan. Pembantak dalam cerita teater tradisonal tersebut diartikan sebagai orang jahat.

Keberadaan situs ini menurut arkeolog H.R. van Heekeren dan R, Sukmono, disinyalir adalah sisa peninggalan kebudayaan Bacson-Hoabin, salah satu cabang kebudayaan yang penting dalam zaman Mesolitikum di Indonesia; yang berkembang sejak 3000 tahun sebelum masehi. Karena situs yang mirip pernah ditemukan pada tahun 1907 di daerah Sungai Tamiang dekat Seruai. Kemudian pada tahun 1924 di daerah Batu Kenong, Aceh oleh JH Neuman. Selanjutnya, pada tahun 1927 di daerah Serdang Hilir Pantai Timur Sumatera.

Kemiripan situs-situs tersebut adalah adanyanya kemiripan tekstur tanah bukit kerang tersebut dengan bukit kerang yang ditemukan sebelumnya di Sungai Tamiang, Batu Kenong dan Serdang Hilir di daratan Sumatera. Bukit kerang ini diperkirakan merupakan timbunan sampah-sampah dapur dan sisa makanan masyarakat zaman dulu yang didominasi oleh kerang.

Kemudian kemiripan lainnya ditemukan berbagai artefak yang mirip yaitu ditemukan patahan mata kapak batu atau kapak pendek yang telah diasah atau diupam, alat cungkil atau spatula dari bahan tulang yang telah diasah salah satu ujungnya. Dan yang terpenting, pada situs Bukit Kerang Kawal Darat ini juga ditemukan pecahan gerabah yang dihiasi dengan pola yang sederhana yang tidak ada di tiga situs di Sumatera di atas.

Pada tahun 2009, sebuah penelitian dan ekskavasi awal yang dilakukan oleh Balai Arkeologi (BALAR) Medan menemukan tiga bukit kerang yang mirip di tiga lokasi di Kawal tersebut, selain di sungai Kawal diatas juga ditemukan sebuah bukit kerang lebih kecil terletak di kebun penduduk berhampiran kebun sawit milik swasta, sedangkan situs ketiga, yang agak lebih kecil lagi, terletak dalam areal kebun milik penduduk yang lokasinya berhampiran dengan lokasi situs kedua.

Kesimpulan sementara dari penemuan ini adalah bahwa di Pulau Bintan pernah hidup manusia zaman prasejarah yang mirip di sumatera. Manusia prasejarah inilah yang diperkirakan menghasilkan bukit kerang karena mereka tinggal di sekitar pantai dan muara sungai pada rumah-rumah bertonggak (rumah panggung). Hidup mereka berkelompok dengan mengumpulan bahan makanan berupa kerang (moluska) dalam berbagai jenis yang mudah ditemukan disekitar tempat tinggal mereka.Sisa-sisa kulit kerang yang mereka buang selama bertahun-tahun dan bahkan ribuan tahun itulah yang akhirnya menumpuk dan lambat laun menjelma menjadi sebuah bukit yang tingginya sekitar empat meter.

Hasil analisa arkeologis dan hasil pengukuran usia (carbon dating atau analisa carbon) terhadap sampel bukit kerang dan sisa-sisa arang yang diambil dari kaki bukit bagian luar situs ini menghasilkan angka periodesasi 1.680 BP (Before Present = sebelum sekarang). Bila dikonversikan kedalam angka tahun sejarah maka sama dengan tahun 333 Masehi, atau sama dengan abad ke-3 Masehi. Sebuah angka tahun yang masuk dalam babakan prasejarah dalam periode Mesolitikum di Indonesia.

Kesimpulan dari Tim BALAR Medan tersebut adalah adanya terkaitan antara hasil kerja tangan-tangan manusia pendukung budaya Bacsonian yang berkembang sejak dari Semenanjung Asia, Malaysia, Utara Sumatera, dan Pulau Bintan. Bahkan bisa jadi mereka adalah nenek moyang ras melayu lama.

Pemerintah Provinsi Kepulaun Riau umumnya dan Pemerintah Kabupaten Bintan khususnya seyogyanya agar dapat memberikan perhatian khusus kepada situs-situs bukit kerang yang ada di Kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan ini. Karena keberadaan situs ini sangat penting untuk mengetahui jejak manusia prasejarah dan mengevaluasi ulang sejarah melayu di negeri ini. Salam.

Sumber. Dinas pariwisata dan Kebudayaan Kab. Bintan dan lain-lain


Rabu, September 03, 2014 | 0 komentar

100 Tokoh Batak dari Si Raja batak hingga abad 19 bag 2

Written By napitupulusipakko on Selasa, September 02, 2014 | Selasa, September 02, 2014

100 Tokoh Batak dari Si Raja batak hingga abad 19 bag 2

51. Sultan Emas Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

52. Sultan Kesyari pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

53. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

54. Sultan Sailan Pardosi (1241 H)

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

55. Sultan Limba Tua Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

56. Sultan Main Alam Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

57. Sultan Perhimpunan Pasaribu

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

58. Sultan Limba Tua Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

59. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819

60. Haji Hassan Nasution

Seorang marga Nasution dengan gelar Qadhi Malikul Adil di Kerajaan Darussalam Minang menjadi orang Batak pertama di abad ke-18 yang naik haji di Mekkah pada tahun 1790

61. Raja Jangko Alam Tanjung Gelar Datuk Rajo Amat (1792-1806)

62. Sultan Ma’in Intan Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

63. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

64. Fakhruddin Harahap (1802)

Seorang marga Harahap yang berhasil memobilisasi masaa untuk mempertahankan Kesultanan Aru Barumun dari gempuran Aceh. Pada tahun 1802-1816, dia menjadi Raja dengan gelar Baginda Soripada di bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun.

65. Abdul Fatah Pagaran Sigatal: Modernis Suluk (Lahir 1809)

Nama kecilnya Abdul Fatah berasal dari Porlak Tele di Batahan yang masuk dalam wilayah Natal, Tanah Batak Selatan. Menurut riwayatnya beliau wafat pada tahun 1900 dalam usia 91 tahun. Oleh sebab itu tahun kelahirannya diperkirakan pada tahun 1809.

Bersama Lamri dan Barus, Natal merupakan pelabuhan kuno yang telah mendapat sentuhan peradaban Islam dengan nuansa budaya Batak. Selama hidupnya dia berkecimpung dalam mengembangkan organisasi-organisasi suluk yang banyak tumbuh di tanah Batak.

66. Abdul Hakim Datuk Naturihon Tanjung Gelar Rajo Amat I (1806-1841)

anak pertama dari Raja Jangko Alam.

67. Kadhi H. Ilyas Penyabungan: Sang Kadhi

Dilahirkan di Sabajior, Penyabungan pada 10 Rabiul Awal 1302 H. Ayahnya bernama H Sulayman.

Dia aktif mengembangkan Makbat Subulussalam sampai akhirnya penguasa Sukapiring memintanya menjadi Kadhi di Sukapiring, Kesultanan Deli. Masa hidupnya dihabiskan untuk membesarkan organisasi al-Jam’iyah al-Washliyah.

68. Syeikh Juneid Thola Rangkuti: Pengasas Philantrophy.

Lahir di Huta Dolok, Huta Na Male, Negeri Maga, Kotanopan. Pada saat itu Huta Dolok masih bernama Pagaran Singkam suatu wilayah yang terletak di kaki Gunung Sorik Marapi.

Sewaktu kecil ayahnya Thola Rangkuti memberinya nama Si Manonga karena lahir dengan kondisi yang sangat sulit.

Sekolah dasar di Maga dan dilanjutkan di Tanobatu yang selesai pada tahun 1906. Semangatnya untuk melanjutkan pendidikannya terinspirasi oleh H, Abdul Malik Lubis, seorang tokoh intelektual lokal di Maga.

Syeikh Juneid merupakan pelopor legiatan wakaf atau filantrofi di Tapanuli. Melalui serangkaian kegiatan dia berhasil mengumpulkan dana untuk mendirikan perguruan pendidikan di Huta Na Male. Di samping itu dia juga mendirikan beberapa lembaga sosial ekonomi dari hasil wakaf yang dikumpulkannya. Di antaranya adalah pasar wakaf di Huta Na Male.

Dengan gerakan wakaf ini, Huta Na Male dan Maga menjadi sebuah negeri dengan perputaran eknomi yang cukup mapan. Beberapa pengusaha lokal pun akhirnya muncul dan menyebar menguasasi ekonomi Tapanuli di berbagai tempat.

Syeikh Juneid dikhabarkan berhasil membangun industri lokal untuk memproduksi peralatan dan barang-barang sandang pangan buatan lokal. Dia sendiri banyak terlobat dalam produksi minyak nabati seperti minyak nilam dan produksi sepatu yang bahan bakunya diambil dari kebun wakaf yang menjadi modal ekonomi masyarakat di Tapanuli. Pembangunan sosial yang madani ini akhirnya diteruskan oleh para generasi penerusnya setelah dia meninggal pada 30 Maret 1948.

69. Muhammad Faqih Amiruddin alias Pongki alias Tuanku Rao

Dia merupakan kerabat Dinasti Sisingamangaraja dan menjadi orang pertama dari lingkungan kerajaan Dinasti Sisingamangaraja yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1812. Informasi ini didapat dari sebuah catatan keluarga, bertuliskan Arab, komunitas Marga Sinambela keturunan Sisingamangaraja di Singkil. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan). Dia meninggal pata tahun 1833.

70. Idris Nasution (wafat 1833)

Merupakan Gubernur daerah Toba pada kepemimpinan Fakih Amiruddin di Tanah Batak yang beribukota di Siborong-borong.

71. Tuanku Tambusai Harahap (w. 1863)

Pahlawan Indonesia dalam melawan penjajah Belanda

72. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841

Raja Si Singamangaraja X Ompu Tuan Nabolon mangkat karena dipenggal oleh Si Pokki Nangolngolan atau Tuanku Rao, yang dengan akal liciknya mengundang Raja Si Singamangaraja X untuk datang ke Butar. Pada pertemuan di Butar itulah si Pokki memenggal leher Raja Sisingamangaraja X. Kepala Raja ini terbang menghilang, terbang ke pangkuan ibundanya boru Situmorang. Oleh ibunya, secara diam-diam dikuburkannya di dalam batu besar yang ada di Lumban Raja, karena sebelumnya ia sudah berfirasat akan kejadian yang akan menimpa anaknya.

Adapun badan Raja Si Singamangaraja X yang terkapar di bukit parhorboan, tertimbun tanah karena tiba-tiba bukit itu runtuh. Raja si Onom Ompu dengan pengikut-pengikut yang mendampingi Raja Si Singamangaraja X pun melawan dan sebagian teman si Pokki itu mangkat. Tetapi karena pasukan si Pokki yang tadinya bersembunyi datang membantu si Pokki dan si Pokki menjadi lebih kuat, melarikan dirilah mereka ke Gunung Imun. Si Pokki terus menyerang Bakara dan banyak yang ditewaskannya baik yang dewasa maupun anak kecil.

Menurut pengakuan Pokki Nangolngolan (Tuanku Rao), dia adalah anak dari saudara perempuan Raja Sisingamangaraja X yang pergi ke Bonjol. Pokki Nangolngolan mengatakan bahwa dia sudah rindu pada tulangnya dan dia akan memberinya makan (manulangi) dan akan memberikan piso-piso (uang) sebagai persembahan. Karena kata-kata manis dari si Pokki inilah maka Raja Sisingamangaraja X pergi ke butar. Walaupun pada awalnya Ia mengatakan kenapa si Pokki tidak mendatanginya ke Bakara.
Karena tidak mendapatkan jenazah Raja Si Singamangaraja X, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke Bakara. Banyak penduduk yang dibunuh. Pasukannya membumihanguskan seluruh daerah yang dilaluinya dari Butar ke Bakara termasuk istana Lumban Pande di Bakara.

Isteri Raja Si Singamangaraja X yang pertama yaitu boru Situmorang dengan 2 orang anaknya yang masih kecil melarikan diri ke Lintong Harian Boho ke kampung orangtuanya Situmorang. Sedang isterinya yang kedua bermarga boru Nainggolan beserta anaknya Raja Mangalambung diculik si Pokki bersama anak-anak yang lain yang diduganya sebagai anak Raja Si Singamangaraja X. Mereka dibawa ke arah tenggara dalam perjalanan kembali ke Bonjol. Dalam perjalanannya di daerah Tapanuli Selatan sedang terjadi wabah penyakit menular (begu antuk) yang juga mengenai/menyerang pasukan Tuanku Rao sehingga kacau balau. Tawanannya tercecer di Tapanuli Selatan. Sebagian dari yang tercecer ini membuat perkampungan di daerah di Tapanuli Selatan ini.
73. Amir Hussin Hutagalung (Lahir 1819)

Merupakan panglima Faqih Amiruddin di Toba. Dia bergelar Tuanku Saman. Merupakan putera dari Khalifah Abdul Karim Hutagalung, pimpinan tarekat Naqsabandiyah di Silindung. Amir Hussin gugur pada tahun 1837 dalam sebuah upaya mempertahankan tanah air dari penjajah Belanda di Air Bangis.

74. Tuanku Asahan Alias Mansur Marpaung (1820)

Pada 1820, salah satu panglima Fakih Sinambela, Tuanku Mansur Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan di pantai timur Sumatera. Kesultanan ini masih berdiri hingga tahun 1947. Anak-anak mereka yang dikenal adalah Tuanku Sri Sultan Saibun Marpaung dan juga Dr. Mansur Marpaung, wali negara NST. Salah satu bawahan Mansur Marpaung adalah Zulkarnain Aritonang, pahlawan dalam perang Tanggabatu pada tahun 1818 mendirikan kerajaan Merbau. Keturunannya menjadi Raja-raja Merbau, Sumatera Timur hingga tahun 1947.

75. Pemasuk Lubis alias Tuanku Maga (w. 1820)

Merupakan menteri pendidikan pada era pemerintahan Fakih Amiruddin

76. Jagorga Harahap alias Tuanku Daulat (w. 1820)

Merupakan Gubernur Pahae Silindung dalam pemerintahan Fakih Amiruddin dan seorang saudagar sukses yang berpusat di Silindung.

77. Tuanku Sorik Marapi Nasution

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

78. Tuanku Mandailing Lubis

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

79. Tuanku Kotapinang Dasopang

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

80. Tuanku Patuan Soripada Siregar

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

81. Tuanku Ali Sakti Siregar

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

82. Tuanku Junjungan Daulay

Merupakan bagian dari panglima Fakih Amiruddin.

83. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

84. Syeikh Baleo Natal: Menginsafkan Para Raja (Lahir 1825)

Namanya Abdul Malik ayahnya bernama Abdullah dari Muara Mais. Dia dilahirnya pada tahun 1825.

Setelah kembali dari Mekkah, Yang Dipertuan Huta Siantar, Penyabungan meminta Syeikh Abdul Fattah untuk menjadi guru agama di kerajaannya. Namun Syeikh Abdul Fattah tidak dapat memenuhinya karena berbagai kesibukannya dan kemudian menunjuk Syeikh Abdul Malik yang baru kembali dari Mekkah untuk mengisi jabatan tersebut.

Syeikh Abdul Malik berusaha membangun masyakat di Huta Siantar. Karismanya membuantnya banyak di datangi para mahasiswa dari Huta Siantar dan Penyabungan. Dengan usahanya yang pelan tapi pasti beberapa keluarga raja-raja di wilayah tersebut akhirnya diajaknya untuk menghidupkan aktivitas dan kegiatan mesjid. Mula-mula hal tersebut ditentang dan akhirnya mendapat sambutan baik dari elit aristokrat tersebut.

Atas jasa-jasanya tersebut, Syeikh Abdul Malik yang masih sangat belia, dinikahkan dengan puteri Huta Siantar dan diapun menetap di sana. Untuk kedua kalinya, dia berangkat ke Mekkah kali ini beserta keluarganya melalui pelabuhan Natal yang saat itu merupakan pelabuhan internasional yang sangat ramai.

Sekembalinya ke Tanah Air, kharismanya semakin meluas sehingga namanya semakin dikenal dan menjadi acuan dalam argumentasi agama mulai dari Padang Sidempuan, Sipirok, Padang Lawas dan Dalu-dalu. Dengan pengalaman tersebut dia kemudian digelar Baleo Natal sebagai bagian dari usahanya mengajarkan Islam secara tadrij alias berangsur-angsur.

Hubungan mesra dengan penguasa atau raja-raja Huta Siantar bukan tanpa masalah. Berbagai masalah terjadi antara Umara dan Ulama tersebut. Namun hal itu dapat diatasinya dengan langkah-langkah yng tidak merusak kedua kelompok elit tersebut. Para raja semakin kagum dan takjub terhadapnya karena Syeikh juga mempunyai kemampuan dalam pengobatan.

85. Abdullah Salatar Hutagalung (1833)

Merupakan saudagar kaya di Sibolga. Dia merupakan tokoh transportasi laut yang menghubungkan Sibolga dengan Malaysia dan lain-lain

86. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871

Di masa pemerintahannya berhasil disusun Arsip Bakkara yang kemudian dicuri oleh seorang pendeta dari Jerman.

Belum lagi selesai penderitaan akibat serangan si Pokki terjadi pula musim kemarau yang berkepanjangan. Masyarakat Si Onom Ompu bersepakat menyampaikan hal ini kepada boru Situmorang dan memintanya kembali ke Bakara. Setelah boru Situmorang membawa kedua anaknya kembali, masyarakatpun meminta agar Ompu Sohahuaon mereka gondangi untuk turunnya hujan.
Acara margondangpun dipersiapkan dengan baik dan Ompu Sohahuaon yang masih kecil tampil dengan berpakaian ulos Batak. Boru Situmorang dan masyarakat si Onom Ompu kaget dan kagum, karena Ompu Sohahuaon yang masih kecil itu mampu meminta gondang dan mengucapkan tonggo-tonggo untuk turunya hujan. Merekapun mengelu-elukan dengan manortor. Haripun menjadi gelap karena mendung dan hujanpun turun dengan lebat. Ompu Sohahuaon terus manortor sampai berakhir gondang yang dipintanya. Kemudian diserahkan Piso Gaja Dompak kepadanya dan manortor kembali sambil menghunus Piso Gaja Dompak dengan sempurna dan disarungkan kembali. Ompu Sohahuaon dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XI dalam usia 10 tahun.

Pada masa pemerintahan Raja Si Singamangaraja XI disusun “Pustaha Harajaon (pustaka kerajaan)” archief Bakara yang ditulis dengan dawat/tinta cina diatas kertas Watermark ukuran folio buatan Itali dalam tulisan dan bahasa Batak. Pustaka ini dibuat atas bimbingan dari Ompu Sohahuaon sendiri. Pustaha harajaon ini terdiri atas 24 jilid, setiap jilidnya tebalnya sekitar 5 Cm yang isinya secara secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
* Jilid 1 s/d 3: Pemerintahan Tuan Sorimangaraja selama 90 turunan mulai dari Putri Tapi Donda Nauasan.
* Jilid 4 s/d 7: Pemerintahan kerajaan Singamangaraja SSM I s/d SSM IX.
* Jilid 8: Perihal Pedang Padri Tuanku Rao terhadap Tuan Nabolon SSM X
* Jilid 9: Perihal Pongkinangolngolan dan Datu Aman Tagor Simanullang.
* Jilid 11 s/d 12: Perihal Pendeta Pilgram, pembunuhan atas diri Pendeta Lyman dan Munson oleh Raja Panggalamei.
* Jilid 13-16: Periode pembangunan kembali ibu kota kerajaan Bakara dan daerah-daerah Toba tahun 1835-1845 atas pembumi hangusan perang bonjol.
* Jilid 17: Perihal Dr. Junghun, van der Tuuk yang datang menjumpai SSM XI dan perihal photonya.
* Jilid 18 s/d 24: Penobatan Ompu Sohahuaon menjadi SSM XI, pemerintahannya sampai tahun 1886 dan perihal penyakit menular yang dahsyat di tanah Batak.

Pada tahun 1884 Pustaha Harajaon ini ditemukan dari tumpukan rumah kerajaan yang dibakar oleh tentera Belanda. Dibawa ke Holland oleh Pendeta Pilgrams dan sekarang ada di Museum Perpustakaan Pemerintah Belanda di Leiden � Holland.
Pustaha Harajaon tidak diteruskan penulisannya oleh SSM XII sebab tidak ada kesempatan, karena semenjak awal pemerintahannya, Koloni Belanda telah melancarkan agresinya di tanah Batak dan sekitarnya, sehingga Ompu Pulobatu berperang selama 30 tahun sampai tewasnya dalam usia 59 tahun pada 17 juni 1907.

Raja Si Singamangaraja XI Ompu Sohahuaon menikah dengan boru Aritonang sebagai isteri pertama yang melahirkan Raja Parlopuk . Isteri kedua adalah boru Situmorang yang melahirkan Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Beda umur Raja Parlopuk dengan Patuan Bosar sangat jauh, ada sekitar 15 tahun.
Ketika Ompu Sohahuaon jatuh sakit, maka jalan pemerintahan dilaksanakan oleh Raja Parlopuk. Cukup lama Raja Parlopuk memegang tugas itu dan dilaksanakannya dengan baik. Tahun 1866 Ompu Sohahuaoan meninggal di Bakara dan dibangun makamnya oleh Raja Parlopuk dengan Si Onom Ompu di Lumban Raja. Makam inilah yang pertama ada di Bakara karena SSM I hingga SSM IX tidak diketahui meninggal di mana. Waktu Raja Si Singamangaraja XI meninggal, Patuan Bosar sedang merantau ke Aceh.

Makam ini dibongkar oleh Raja Si Singamangaraja XII karena Bakara diserang Belanda. Tulang belulang Raja Si Singamangaraja XI dibawanya ikut berjuang ke hutan, karena tidak ingin tengkorak orang-tuanya diambil oleh Belanda. Semasa perjuangan tulang-belulang ini di titipkan di huta Janji Dolok Sanggul lalu dipindahkan lagi ke Huta Paung. Setelah zaman kemerdekaan, kembali di pindahkan di rumah Soposurung.

Kira-kira 105 tahun kemudian, makam ini dibangun kembali oleh keluarga Raja Sisingamangaraja dan pada tahun 1975 tulang belulang Raja Sisingamangaraja XI dan istrerinya dimakamkan kembali ke makam semula di Bakara.
Raja Parlopuk terus melaksanakan pemerintahan Singamangaraja hingga tahun 1871, yaitu setelah dinobatkannya Patuan Bosar sebagai Raja Sisingamangaraja XII.

87. Raja Parang Tua Tanjung Gelar Datuk Amat II (1841-1853)

Sejak saat ini kekuasan Sorkam terbagi lima ke masing-masing anak Raja Parang Tua.

88. Syeikh Sulayman Al-Kholidy Hutapungkut:

Pengasas Organisasi Suluk Tanah Batak (Lahir 1842)

Lahir di Hutapungkut, Kotanopan pada atahun 1842. Ayahnya bernama Japagar, seorang tokoh pemuda yang mempunyai bebraap seni beladiri dan menetap di Sipirok sebagai insinyur yang menguasasi pengolahan logam, khusunya besi.

Dia merupakan mahasiswa Abdul Wahab Rokan serta beberapa ulama lainnya. Dia natara kolega mahasiswanya yang setingkat adalah Syeikh Ibrahim dari Kumpulan Lubuk Sikaping dan Syeikh Ismail dari Padang Sibusuk.

Setamat pendidikanya di menjadi tokoh pembaharu sosial di Padang Lawas dengan ajaran-ajaran tarekat yang dibawanya. Di Padang Lawas dia menjadi intelektual yang menjadi pusat tujuan belajar para pemudan dan tokoh setempat. Salah satu tokoh Padang Lawas yang berguru kepadanya adalah Syeikh Abdul Qadir yang sampa sekarang masih dikenal sebagai pahlawan dalam mengentaskan pendidikan di Padang Lawas.

Tempat kelahirannya Hutapungkut menjadi ramai dengan kunjungan para musafir yang ingin belajar dengannya. Rumahnya menjadi pusat studi dan riset yang menyangkut semua maslahat ummat.

Tak lama kemudian dia mendirikan mensjid di samping rumahnya yang membuat lembaga studi itu semacam perguruan yang menjadi pusat tarekat Naqsabandiyah di Tapanuli Selatan. Pendirian mesjid dan bangunan-bangunan tersebut dilakukan sendiri oleh Syeikh dengan para mahasiswanya dengan bahan baku dari huta-hutan sekita 15 kilometer dari rumahnya. Sehingga, berubahnya Hutapungkut menjadi kota mandiri dan pusat pendidikan di Tapanuli.

Beberapa alumni dari perguruan ini adalah Syeikh Basir dari Pekantan yang dikenal dengan Tuan Basir (Lihat; Pustaha Tumbaga Holing, Tampubolon) di kalangan masyarakat Batak Toba karena Syeikh Basir ini merupakan tokoh yang menjadi penyebar Islam, terutama tarekat atau suluk di seluruh pelosok dan pedalaman Tanah Batak Toba. Organisasi-organisasi suluk di huta-huta di Toba tersebut menjadi kekuatan penting dalam pengusiran penjajah Belanda.

Alumni lainnya adalah Syeikh Husein dari Hutagadang yang menjadi penerus kepemimpinan Naqsabandiyah di Tapanuli Selatan. Alumni lainnya diantaranya; Syeikh Hasyim Ranjau Batu, Syeikh Abdul Majid Tanjung Larangan Muara Sipongi, Syeikh Ismail Muara Sipngi, Syeikh Muhammad Saman Bukit Tinggi dan puteranya sendiri Syeikh Muhammad Baqi.

Salah seorang alumni Hutapungkut, Syeikh Abdul Hamid, menjadi imam dan pengajar di Mesjidilharam Mekkah, sebelum kembali ke Hutapungkut sebagai pemangku Khalifah Naqsabandiyah untuk daerah Tapanuli.

Syeikh Sulayman al-Kholidy sebagai peletak pondasi intelektualisme Tapanuli di Hutapungkut, meninggal 12 Oktober 1917.

89. Tuan Guru Ahmad Zein Barumun: Saudagar Yang Intelektual (Lahir 1846)

Dia merupakan anak dari aristokrat Kerajaan Aru Barumun dari Tanjung Kenegerian Paringgonan, Barumun. Dia dilahirkan di lembah Gunung Malea tepatnya di Pintu Padang Julu pada tahun 1846.

Sebagai anak seorang aristokrat, dia menjadi saudagar yang berkeliling dari satu onan ke onan yang lain di sepanjang Bukit Barisan. Di sela-sela kegiatan ekonominya tersebut, dia meyempatkan diri untuk mempelajari buku-buku ilmu pengetahuan secara otodidak.

Untuk mengembangkan kemampuannya dia merantau ke Tanjung Balai sebuah kota pelabuhan yang banyak ditempati ulama-ulama terkenal saat itu. Di sana dia bermukim dan belajar kepada tokoh-tokh intelektual sampai usia 23 tahun.

Dari Tanjung Balai, dia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menimba ilmu seperti halnya tokoh-tokoh Batak lainnya pada tahun 1869. Dengan kapal layar dia menuju pelabuhan Jeddah dan berguru di beberapa ulama terkenal di Mekkah di antaranya; seorang ulama Batak Syeikh Abdul Kadir bin Syabir yang keturunan Penyabungan, Syeikh Abdul Jabbar keturunan Mompang Mandailing dan Syeikh Abu Bakar Tambusai.

Selain ulama keturunan Batak tersebut, dia juga menimba ilmu dari ulama-ulama Nusantara yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Mukhtar Bogor, Syeikh Umar Sumbawa dan lain sebagainya.

Setelah dua belas tahun di Mekkah di kembali ke Tanah Air dengan mendirikan sebuah institusi pendidikan di Pintu Padang Julu pada tahun 1901. Dengan sistematisasi pendidikan yang digagasnya, dia dapat menelurkan berbagai sarjana dengan metode pendidikan Arab yang modern.

Di Pendidikan tersebut dia juga mengajarkat Tarekat Tahqin al-Zikri ala al-Naqsabandiyah. Dia kemudian meninggalkan Tarekat ini setelah membaca buku ‘Izhar al-Kazibin’ karya Ahmad Khatib Minangkabau.

Setelah 23 tahun di Pintu Padang dan menjadikannya pusat pendidikan intelektual dan cendikiawan Batak, dia kemudian kembali ke desa nenek moyangnya di Tanjung pada tahun 1924. Di Tanjung dia mendirikan pondok pesantren. Dengan kharisma yang dimilikinya dia berhasil mengembangkan Tanjung, Paringgonan, menjadi pusat studi Islam yang didatangi para mahasiswa dari seluruh penjuru Tanah Batak.

Selama hidupnya, dia terlibat dalam aktivitas-aktivitas perlawanan kepada kekuatan penjajah Belanda. Puncak kegembiraan dalam hidupnya nampak saat kemerdekaan Indonesia. Dia meninggal pada tanggal 10 Oktober 1950.

90. Syeikh Abdul Muthalib Lubis: Tokoh Spiritual Dari Manyabar (Lahir 1847)

Lahir di Manyabar pada tahun 1847 dan wafat pada tahun 1937. Dia berasal dari keluarga miskin yang menggantungkan kehidupan dari pertanian dan beternak kerbau.

Pada umur 12 tahun dia merantau ke Kesultanan Deli. Dan pada tahun 1864 dia berangkat ke Mekkah setelah mendapat bekal yang cukup dari hasil usaha di Medan pada umur 17 tahun bersama abangnya Abdul Latif Lubis.

Dia mengahabiskan waktunya untuk studi di Mekkah sampai tahun 1874. Setelah itu dia musafir dan belajar di Baitul Maqdis, Jerusalem, Palestina dan kembali ke Mekkah, tepatnya Jabal Qubeis untuk belajar Tarekat Naqsabandiyah sampai tingkat Alim.

Padda tahun 1923 dia kembali ke Tanah Air setelah sebelumnya tinggal di Kelang Malaysia dan pulang pergi ke Mekkah. Di Manyabar, dia menggeluti kegiatan sosial dengan membangun kehidupan sosial masyarakat di berbagai tempat di antaranta; Barbaran, Hutabargot, Mompang Jae, Laru, Tambangan, Simangambat, Bangkudu, Rao-rao sampai ke Siladang.

Kegiatan sosial ini sangat menyentuh langsung kepada permasalahan hidup sehari-hari masyarakat di berbagai tempat tersebut. Berbagai persoalan ditujuan kepadanya, mulai dari permasalaha rumah tangga, pekerjaan, kesulitan ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Dari kegiatan tersebut, dia berhasil membentuk masyarakat-masyarakat tersebut untuk berswadaya dalam pembangunan fasilitas uumum dan sosial serta agama sepeti mesjid, fasiltas suluk dan lain sebagainya.

Dalam sebuah kemarau yang sangat panjang, dia berinisiatif untuk mencari mata air dengan melakukan penggalian yang kemudian sangat berguna bagi warga setempat.

Salah satu keistimewaan beliau adalah hibinya melakukan long march yakni ritual berjalan kaki dari sebuah tempat ke tempat lain. Perjalanan itu pernah dilakukan ke Medan, kembali ke Petumbukan, Galang bahkan Pematang Siantar. Dalam perjalanan, mereka aktif menyapa masyarakat dan mencoba memecahkan dan meringankan masalah-masalah keseharian yang dialami penduduk yang dilaluinya. Berkat usahanya tersebut, berbagai masyarakat animisme di pedalaman-pedalamn tanah Batak banyak yang mengungkapkan niat mereka untuk memeluk Islam tanpa ajakan dan paksaan dari siapapun.

Di akhir hidupnya dia membuka sebuah forum diskusi dan pengajian di rumahnya yang selalu dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat dan mantan mahasiswanya dari berbagai penjuru antara lain Barbaran, Longat, Gunung Barani, Bunung Manaon, Adian Jior, Penyabungan dan lain-lain.

91. Raja Dusun Derak Alam Tanjung gelar Sultan Maharaja Lela (1853-1872).

92. Syeikh Abdul Hamid Hutapungkut: Sang Reformis (Lahir 1865)

Lahir pada tahun 1865 M, dan merupakan tokoh pembaharu. Sebagai intelektual dia banyak terlibat dalam pengembangn kultur dan budaya di Tapanuli Selatan. Dia merupakan tokoh yang berdiri untuk semua golongan dan tidak mau terlibat dalam ajaran tarekat Naqsabandiyah.

Pada tahun 1918, dia mengembangkan Islam di Pematang Siantar dan menjadi Qadhi di Timbang Galung. Selama dua tahun dia mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat Batak Simalungun, dia kembali ke tanah kelahirannya pada tahun 1920.

Di sana dia mendirikan perguruannya di sebuah mesjid yang dibangunnya dan memperkaya Hutapungkut sebagai kota dengan seribu perguran Islam. Slah satu alumninya adalah Lebay Kodis. Sambil menjadi cendikiawan di perguruan tersebut dia juga terlibat dalam kegiatan politik mengusri Belanda sampai akhirnya dia bergabung dengan Permi dan PSII.

93. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu

pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir).

Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus

94. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, Lahir 1871

95. Raja Muhammad Amin Tanjung gelar Sultan Hidayat (1872).

96. Syeikh Ja’far Hasan Tanjung: Sang Organisator (Lahir 1880).

Lahir di Remburan, Mandailing pada tahun 1880, anak kedua dari dua belas putera-puteri Syeikh Hasan Tanjung.

Sejak kecil dia merantau ke Kesultanan Deli, tepatnya Medan dan tinggal bersama pamannya yang menjadi pengusaha sukses yang bernama H. Hamid Panjang Mise dan mempunyai banyak gerai batik salah satu diantaranya di Kesawan No. 34 Medan.

Pada tahun 1904, dia diutus oleh pamannya tersebut untuk belajar ke Mekkah. Setelah beberapa tahun di sana dia melanjutkan studinya ke Bait al-Maqdis, Jerusalem, Palestina. Dari sana dia melanjutkan kelana pendidikannya ke Kairo.

Pada tahun 1912, dia kembali ke tanah air dan mengembangkan Islam dan pendidikan di Kesultanan Deli, tepatnya di Jalan Padang Bulan 190 Medan.

Dari pengalamannya tersebut dia diangkat menjadi Pemimpin di Maktab Islamiyah Tapanuli, Medan yang berdiri pada 9 Syakban 1336 H. Pimpinan setelah itu adalah H. Yahya, Syeikh Ahmad dan Syeikh M. Yunus berturut-turut.

Dalam perjalanan sejarahnya, rumahnya yang di Padang Bulan tersebut, diserahkannya kepada al-Jam’iyah al-Washliyah yang menjadi organisasi masyarakat muslim di Medan.

Sebagai tokoh masyarakat, dia menunjukkan sebauh kebiasaan baru yang tidak lazim saat itu, bahwa dia tidak mau menerima zakat yang menurutnya ada beberapa ashnaf yang lebih berhak menerimanya.

Sumbangsihnya dalam perjalanan karir politik adalah pendirian organisasi seperti al-Jam’iyah al-Washliyah di Medan.

97. Syeikh Muhammad Yunus Tapanuli: Sang Politikus (Lahir 1889)

Dia merupakan pendiri ‘Debating Club'; yang sangat terkenal. Kehidupannya banyak dibahas dalam biografi tokoh-tokoh yang menjadi pentolan melawan penjajah.

98. Syeik Muhammad Yunus Huraba:

Tokoh Pembangunan Sosial Sipirok.

Lahir pada tahun 1894 di Huraba, Mandailing. Setelah kuliah di Mekkah dia membangun Sipirok pada tahun 1865 melalui permintaan Namora Natoras setempat. Pembangunan masyarakat Islam di Sipirok dimulai dengan mendirikan mesjid raya serta beberapa bangunan lembaga pendidikan lainnya.

Dengan hadirnya Syeikh di Sipirok, dapat dipastikan bahwa struktur masyarakat Sipirok akhirnya dapat berkembang sesuai dengan masyarakat modern untuk level saat itu.

Sipirok menjadi pusat pendidikan Islam dan banyak ulama yang lahir dari tangannya. Diantaranya adalah Syeikh Syukur Labuo dari Parau Sorat dan anaknya sendiri yang bernama Tuan Syeikh Ahmad Disipirok.

99. H. Mahmud Fauzi Sidempuan (Lahir 1896)

Lahir di Padang Sidempuan pada tahun 1896 dari ayah bernama H. Muhammad Nuh dan Ibunya Hajjah Aisyah. Ibunya Hajjah Aisyah merupakan salah satu intelektual perempuan Batak yang mempunyai jama’at perempuan. Eksistensi Aisyah membuat orang-orang Batak mengenalnya dengan gelar Ompung Guru.

Dilahirkan dengan didikan sang ibu dengan nuansa agama membuatnya cenderung untuk menghayati pendidikan agama. Hal itu dilakukannya dengan berguru kepada Syeikh Abdul Hamid Hutapungkut yang menjadi satu-satunya tokoh Islam di sekitar kawasan tersebut.

Atas kehendaknya sendiri, dia berangkat ke Hutapungkut, center of excelent, dan belajar langsung dengan Syeikh Hutapungkut selama tiga tahun. Pada tahun 1910 dia berangkat ke Mekkah atas dorongan gurunya tersebut.

Ibunya, merupakan pendukung utama pendidikannya di Mekkah. Pada perang dunia pertama dia dikirimi uang sebesar dua puluh lima rupiah untuk biaya kehidupan sehari-hari di Mekkah. Namuan setelah PD I tersebut dia kembali ke Tanah Air pada tahun 1919.

Selama di Tanah Air dia menjadikan Batang Toru sebagai pusat pengembangan pendidikannya. Pada tahun 1926, atas kharisma dan kewibawaannya banyak warga Batak Toba dari pedalaman Tanah Batak yang datang mendengarkan ceramah agama yang diberikannya. Bahkan banyak diantaranya, khususnya dari Porsea dan Balige yang menetap dan mendirikan pemukiman di Batang Toru agar dapat menjadi bagian dari lembaga pendidikan tersebut.

Muhammad Fauzi juga terlibat dalam mengislamkan orang-orang Toba yang berduyun-duyun mendatangi rumah kediamannya untuk menyampaikan keinginan mereka memeluk agama ini.

Bagi para muallaf Toba yang datang dalam jumlah besar ini, Muhammad Fauzi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal sementara sebelum mereka kembali ke kampung halaman masing-masing.

Para Muallaf Toba tersebut, di zaman kemerdekaan banyak yang menjadi pegawai di kementrian agama di Republik Indonesia yang baru berdiri. Selain kegiatan dakwah dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, Muhammad Fauzi juga banyak menulis buku namun sekarang ini sudah banyak yang hilang. Di antaranya yang dapat dicatat adalah Buku ‘Menuju Mekkah-Madinah-Baitul Maqdis’.

Jabatan organisasi yang diembannya terakhir sebelum meninggal dunia adalah Rois Suriyah NU di Batang Toru. Selain itu dia juga banyak mewakafkan hartanya untuk jalan dakwah.

100. Syeikh Ismail Bin Abdul Wahab Harahap (Lahir 1897)

Nama lengkapnya, Assyahid Fi Sabilillah Syeikh Ismail bin Abdul Wahab Tanjung Balai. Dia dilahirkan di Kom Bilik, Bagan Asahan, pada tahun 1897 daeri seorang ayah bernama H. Abdul Wahab Harahap dan ibu bernama Sariaman. Ayahnya berasal dari Huta Imbaru, Padang Lawas, Tapanuli Selatan.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar dia melanjutkan pendidikan, khususnya, agama ke salah seorang ulama di Tanjung Balai, kepada al-Marhum Syeikh Hasyim Tua serta beberapa ulama lainnya. Tanjung Balai, selain kota pelabuhan yang sangat ramai, juga merupakan pusat pendidikan agama Islam di Kesultanan Asahan. Para mahasiswa dari berbagai negeri menjadikan Tanjung Balai sebagai tujuan pendidikan, seperti, Kerajaan Kotapinang, Kerajaan Pane dan lain sebagainya.

Pada tahun 1925, untuk melengkapi ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dia berangkat ke Mekkah, yang menjadi pusat pertemuan intelektual-intelektual Islam sedunia. Di sana dia mengembangkan kemampuannya selama lima tahun sambil menunaikan ibadah haji.

Tidak puas dengan standarisasi ilmu di Mekkah, dia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar di Kairo, Pada tahun 1930. Dia menamatkan berbagai jenjang di antaranya, Aliyah, Alimiyah, Syahadah Kulliah Syar’iyah dan Takhassus selama dua tahun.

Syahadah Aliyah saat itu setingkat dengan sarjana. Alimiyah setingkat dengan master. Syahadah Kulliah Syar’iyah merupakan pendidikan spesialisasi. Takhassus merupakan pendidikan tingkat Doktor sesuai dengan kurikulum Islam saat itu.

Pendidikan yang sangat lama itu tidak memjadi halangan baginya, walau dengan pengorbanan meninggalkan putrinya yang masih kecil, bernama Hindun, yang lahir sesaat sebelum dia berangkat di Mekkah.

Aktvitasnya tidak saja dicurahkan untuk penguasaan ilmu, dia juga aktif dalam politik untuk menentang kolonialisme. Berbagai kegiatan tersebut mengantarnya menjadi Ketua ‘Jamiatul Khoiriyah’, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Mesir.

Perjuangan melawan kolonialisme tersebut diperluas ke segenap puak Melayu yang berada dalam terkaman bangsa kolonial. Diapun terpilih menjadi Ketua Persatuan Indonesia Malaya selama tiga tahun. Selama kepemimpinannya dia berhasil membangun solidaritas dan nasionalisme di jiwa para pemuda Indonesia dan Malaysia yang belajar di Mesir.

Di Tanah Air, gaung nasionalisme tersebut semakin menjalar di kedua negara, sehingga nama Parpindom, akromin organisasi mereka tersebut, memberi harapan yang sangat jelas mengenai nasib bangsa yang terjajah itu.

Kesadaran politik di Indonesia dan Malaysia semakin berkembang pesat, saat beberapa tulisannya terbit di majalah-majalah di kedua negara. Majalah Dewan Islam, Medan Islam dan lain-lain, merupakan corong politik baginya yang menimbulkan kepercayaan diri bagi bangsa pribumu dengan nama samaran di koran; “Tampiras”.

Perjuangan selama tiga belas tahun di luar negeri, membuatnya terkenal saat pulang meninggalkan Port Said, Mesir ke Indonesia via Singapura, sebuah provinsi Malaya saat itu.

Jumat, 28 November 1936, dia kembali ke tanah air melalui Pelabuhan Teluk Nibung tepat pukul 15.45, dengan menumpang Kapal Kampar dari Bengkalis.

Kedatangannya, tanpa diduga-duga telah diketahui oleh masyarakat Tanjung Balai. Sehingga, secara spontan, masyarakat yang rindu dengan jiwa perjuangan tersebut menyambutnya di pelabuhan dengan lagu-lagu perjuangan, Tala’ah Badru Alaina.

Diapit oleh adiknya Zakaria Abdul Wahab Harahap yang menjemputnya di Bengkalis, dia mendekati satu persatu masyarakat yang menyambutnya dengan sebuah kehangatan akan harapan untuk membela harga diri bangsa dari kezaliman penjajah.

Dapat dipahami kedatangannya ke Tanah Air kemudian dipersulit oleh penjajah Belanda, sehingga beberapa persoalan dan kesulitan juga menyambutkan bersama sambutan hangat dan menggebu-gebu dari masyarakat untuk tokoh pergerakan nasional ini.

Namun, kewibaan dan kesabaran yang ditunjukkannya membuatnya dapat bertaham dan kemudian mendirikan sebuah institusi pendidikan dengan nama “Gubahan Islam”. Yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Tanjung Balai. Beberapa tokoh setempat berlomba-lomba menbantunya seperti H. Abdur Rahman Palahan dan H. Abdul Samad.

Beberapa kali insiden yang mengarah kepada kekacauan sosial diciptakan oleh intel-intel penjajah untuk membuat gap antara masyarakat dengan lembaga pendidikan tersebut. Namun setiap kali itu pula si Harahap ini berhasil mengatasinya dengan karisma yang terletak di pundaknya.

Pendidikan yang diterapkannya di perguruan tersebut semakin lama semakin meningkat. Beberapa tahap dan level pendidikan didirikan untuk memenuhi permintaan masyarakat. Level pendidikan umum, dewasa, dan juga pendidikan politik bagi aktivis-aktivis kemerdekaan.

Namun, sebagai seorang pemikir dan intelektual, kegiatannya tidak terpaku pada kegiatan ajar-mengajar. Dia juga terlibat dalam riset dan penelitian demi memajukan sistem sosial masyarakat di Tanjung Balai. Beberapa hasil riset dan pemikirannya tersebut tertuang dalam beberapa buku, antara lain “Burhan al-Makrifah”. Artikel-artikelnya dimuat di hampir semua koran-koran di berbagai kerajaan dan kesultanan, yang sekarang menyatu menjadi Sumatera Utara.

Beberapa kali Belanda mengeluarkan perintah rahasia untuk membungkamnya. Beberapa peraturan baginya dibuat khusus termasuk larangan untuk mengajar.

Paska kemerdekaan RI, nasionalisme di Tanjung Balai mencapai puncaknya. Dia diangkat menjadi Ketua Nasional Kabupaten Tanjung Balai, untuk menegaskan kemerdekaan RI dari belenggu kolonialisme Belanda.

Di Tebing Tinggi, dia menggalang solidaritas sesama ulama se Sumatera Timur pada tahun 1946 dan merumuskan beberapa fatwa untuk membantu ummat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ibadah yang mereka hadapi.

Maka tidak heran, rakyat di Sumater Timur sangat merindukan kehadirannya saat dengan lantang menunjukkan keberaniannya untuk menurunkan bendera Jepang di Kantor Gun Sei Bu di Tanjung Balai. Sesuatu yang menurut orang banyak sebagai tindakan yang sangat nekat untuk ukuran zaman penjajahan Jepang yang otoriter tersebut.

Di sela-sela tanggung jawab sosial yang diembannya, dia masih bersedia untuk diangkat menjadi Penanggung Jawab sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Nasional “Islam Merdeka” yang kemudian diubahnya menjadi Majalah “Jiwa Merdeka”.

Untuk mengisi kekosongan birokrasi dari kurangnya SDM Sumatera Timur saat itu, Gubernur Sumatera, Mr. T. M Hasan memintanya untuk menjadi Kepala Baitul Mal Jawatan Agama pada tahun 1946, yang berkedudukan di Pematang Siantar.

Paska kemerdekaan Indonesia, Belanda kembali lagi dalam sebuah agresi militer yang dikenal Agresi Belanda I pada tahun 1947. Dia yang menjadi target operasi Belanda akhirnya memutuskan untuk mengungsi ke Pulau Simardan. Enam hari setelah agresi tersebut dia menungunjungi rumahnya di Jalan Tapanuli, Lorong Sipirok, Tanjung Balai untuk mengambil perbekalan. Jam 10.00 pagi dia ditangkap oleh Belanda.

Dengan dakwan telah memprovokasi pemuda Indonesia untuk merdeka dia ditembak mati oleh Belanda pada hari Minggu 24 Agustus 1947 pukul 11.00. Dia tewas dalam umur 50 tahun dan dikuburkan di penjara Simardan.
Selasa, September 02, 2014 | 0 komentar

DAFTAR DINASTI DI TANAH BATAK


I. Dinasti Sagala (Sorimangaraja)

1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang
3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI
4. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M

Dinasti ini berdiri di pusat tanah Batak, Sianjur Sagala Limbong Mulana (SSLM) sejak berabad-abad sebelum masehi dan kemudian berkembang di tanah Batak selatan atau Mandailing, Angkola dan Natal.

Pada fase 1000 SM – 1510 M, dari ibukotanya di SSLM, dinasti Sorimangaraja memerintah selama 90 generasi dalam sebuah bentuk kerajaan teokrasi. Rajanya bergelar Datu Nabolon.

Dinasti ini pernah mengalami guncangan politik saat pihak komunitas Batak di Simalungun memisahkan diri pada tahun antara 600-1200 M dan mendirikan Kerajaan Nagur.

II. Dinasti Pasaribu (Hatorusan)

Dinasti ini didirikan oleh Raja Uti putra Tateabulan. Bila Dinasti Sorimangaraja berakhir di tanah Batak bagian selatan (Tapsel), maka Dinati Hatorusan ini berakhir di Barus, atau tanah Batak bagian barat.

Ibukotanya sendiri berada di kota-kota pesisir. Di antaranya Singkel, Fansul dan Barus. Raja Uti yang mendirikan kerajaannya di wilayah Limbong Sagala memerintahkan pemindahan kekuasaan ke wilayah fansur.

Sejarah regenerasi Raja Uti, mulai dari 1000 tahunan sebelum masehi sampai salah satu keturunanya yang bergelar Raja Uti VII di tahun 1500-an :

1. Datu Pejel gelar Raja Uti II
2. Ratu Pejel III
3. Borsak Maruhum.
4. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji
5. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.
6. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.

Selama pemerintahan Raja Uti VII, abad ke-16, pemerintahan kerajaan mulai goyah. Diduga bahwa, telah ada sebuah gerakan oposisi yang bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak tersebut berasal dari pedalaman Batak. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya bebeberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri.

Sang Raja VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang datu bermarga Sinambela dari pusat Batak. Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak tersebut. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuasaan. Kerajaan terpecah dalam kerajaan-kerajaan kecil. Mahkuta alias Manghuntal mendirikan Dinasti Sinambela (Sisingamangaraja) di Bakkara.

Sementara itu, komunitas Pasaribu di Barus, para keturunanan Raja Uti, meneruskan hegemoni Dinasti Pasaribu dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan di Barus Hilir. Ada pendapat sejarah yang mengatakan bahwa Sultan Ibrahimsyah Pasaribu adalah orang yang memberi kekuasaan kepada Manghuntal, Mahkuta, untuk mendirikan kerajaannya di Bakkara. Dengan demikian dialah yang bergelar Raja Uti VII tersebut (?).

Berikut adalah nama-nama Dinasti Hatorusan berikutnya:

1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan)
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu


III. Dinasti Pardosi (Pohan)

Dinasti yang memerintah di Barus Hulu yang mencakup beberapa daerah tanah Batak bagian barat termasuk Negeri Rambe (Pakkat). Didirikan oleh Raja Alang Pardosi dengan penahunan yang tidak jelas namun diyakini berdiri sejak awal-awal berdirinya kerajaan si Raja Batak di Tanah Batak, yakni lebih kurang tahun 1000 SM.

1. Raja Kesaktian (di Toba)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
7. Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
8. Raja Tua Pardosi
9. Raja Kadir Pardosi
10. Raja Mualif Pardosi
11. Sultan Marah Pangsu Pardosi
12. Sultan Marah Sifat Pardosi
13. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi
14. Tuanku Raja Kecil Pardosi
15. Sultan Daeng Pardosi
16. Sultan Marah Tulang Pardosi
17. Sultan Munawar Syah Pardosi
18. Sultan Marah Pangkat Pardosi
19. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi
20. Sultan Sailan Pardosi
21. Sultan Limba Tua Pardosi
22. Sultan Ma’in Intan Pardosi
23. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
24. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi

IV. Dinasti Sinambela (Sisingamangaraja)

SM Raja I adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela. Dinasti SM Raja adalah sebagai berikut:

1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907

Mahkuta menjadi raja pertama dengan gelar Sisingamangaraja I (SM Raja) pada tahun 1540 Masehi. Sebagai seorang bermarga Sinambela dari Toga Sumba, berbeda dengan Raja Uti yang Pasaribu dari Kubu Tatea Bulan, Mahkuta sebenarnya telah memulai sebuah dinasti baru yakni dinasti SM Raja yang memerintah Batak sampai SM Raja XII. Walaupun begitu, sebagai pendiri spiritual Batak, Raja Uti dan keturunanya, sampai abad ke-20, masih dimuliakan dan mendapat tempat terhormat dalam doa-doa. Bila Dinasti SM Raja mendapat kesulitan dalam urusan dalam negerinya, perwakilan dari keturunan Raja-raja Uti kerap dihadirkan untuk menjadi penengah.

Raja SM Raja XII, sebagai penghargaan terhadap usahanya mengusir si Bottar Mata, penjajah Belanda, dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia dengan keputusan Presiden RI No. 590 Tanggal 9 November 1961.


Selain itu masih ada dinasti-dinasti lain di tanah Sumatra Utara seperti
1. Dinasti Sinambela (Guru Patimpus di Medan),
2. Dinasti Nagur (Simalungun & Gayo),
3. Dinasti Batak (LINGGA),
4. Dinasti Marah Silu (GAYO) di Samudra Pasai,
5. Dinasti Huru Wampu / Dinasti Karo (Sibayak) dan
Selasa, September 02, 2014 | 0 komentar

SEJARAH BATAK DAN KERAJAAN YANG PERNAH ADA

SEJARAH BATAK DAN KERAJAAN YANG PERNAH ADA

Media Budaya kali ini akan membahas mengenai Sejarah Batak dan kerajaan-kerajaan berikut raja-raja yang pernah ada di dalamnya. Batak merupakan salah satu etnis unik di Indonesia, dan memiliki peranan penting dalam sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh kedaulatan dan kemerdekaannya. Tercatat bahwa Raja Sisingamangaraja XII merupakan salah satu tokoh sejarah yang berperan dalam masa perjuangan melawan kolonialisme Belanda di abad 19. Namun bila dipilah lebih detil, maka akan tercatat kerajaan-kerajaan awal terbentuknya kerajaan Batak.


I. Kerajaan Batak Tua
           Berdasarkan informasi data yang dapat dikumpulkan, baik yang berasal dari cerita rakyat, sejarahwan, kepustakaan dan riset; konon sekitar abad pertama Masehi telah berdiri Kerajaan Batak (Pa’ta) berkedudukan di Batahan (sekitar kota Natal sekarang). Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh pantai barat Sumatera, dahulu disebut pulau Andalas (Baca: Adda las) sampai ke bagian barat pulau Jawa yang dihuni oleh suku Badui.
     Sebutan/istilah Badui berasal dari bahasa Austronesia purba yang masih banyak dipergunakan oleh orang Batak sekarang, terdiri dari dua suku kata, Ba-niadui (nun jauh disana).
         Pada masa itu, bangsa Batak menganut suatu kepercayaan yang disebut Agama Malim; pimpinannya disebut Raja Malim, dibantu oleh para Nabi yang disebut Panurirang, dan para pengikutnya disebut Parmalim. Berkaitan dengan pemerintahan, Raja Malim bertindak sebagai penasehat dan disebut Paniroi/Sitiroi. (ahli ilmu bumi dari Iskandariah, bernama Claudius Ptolomeus, menyebutnya Satyroy).
        Kepala pemerintahan yang disebut Sirajai Jolma bertindak sebagai Pemangku adat/Penegak hukum (Executip). Terbetik berita, bahwa pada masa jayanya Kerajaan Batak telah menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lain seperti; Kerajaan Cola (India), Kerajaan Ming (Cina) dan telah memiliki semacam Perguruan Tinggi Parmalim di Gunungtua, dimana masih terdapat sisa-sisa peninggalannya hingga sekarang, antara lain:

    Candi Portibi,
    Biaro Bahal,
    Sitopaon (Sitopayan)
    Candi Bara
    Candi Pulo
    Candi Sipamutung
    Candi Tandihat I
    Candi Tandihat II
    Candi Sisangkilon
    Candi Manggis

      Candi-candi ini menandakan bahwa orang batak telah mengenal pendidikan dan telah memiliki beradaban yang maju.
       Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2 Masehi juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang di kenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan, dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Fir’aun sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.
peta
Peta kuno sumatra oleh Claudius Ptolomeus
      Raja dari Sriwijaya yang muncul kemudian dan berkuasa di pantai timur pulau Sumatra, tidak pernah mengganggu keberadaan Kerajaan Batak di bagian barat; kabarnya, karena mereka masih ada hubungan keluarga; sama sama keturunan keluarga Sailendra, yaitu keluarga yang datang dari pulau Sai lam=Sai lan=Ceylon.
*.Di daerah Sumatra bagian selatan, terdapat banyak nama/ istilah yang punya kesamaan dengan bahasa Batak (Karakteristik Batak), antara lain:

    Palembang = Palumbang    = luaskan/kembangkan
    Lampung     = Lampung(u)  = semakin kumpul/bersatu.
    Rajabasa      = Raja nabasa  = Raja yang budiman.
    Kubu             = Benteng pertahanan.
    Dihubu         = Ditaklukkan / di rebut.
    Sakai             = Sangkae baca: Sakkae)=1/4
    To lang bawang = Tulang bao (ejaan Batak) = Paman dari istri.

      Pada tahun 1024, Raja Rajendra Cola Dewa dari negeri Cola menyerbu negeri Batak, hal ini kabarnya disebabkan ketersinggungan Raja Cola Dewa I atas hubungan dagang antara Kerajaan Batak Tua dengan Kerajaan Ming pada waktu itu, dan pada tahun 1029 Kerajaan Batak Tua dapat ditaklukkan setelah berperang selama 5 tahun. Raja negeri Batak ditangkap, tetapi tidak dibunuh; negeri itu ditinggalkan begitu saja tanpa pemerintahan.

II. Kerajaan Barus
      Setelah jatuhnya Kerajaan Batak Tua (Batahan) sekitar tahun 1030, berbareng dengan munculnya kerajaan-kerajaan baru, pecahan dari Kerajaan Batak Tua, Raja Malim (Pimpinan agama Malim) dari Gunungtua, menobatkan menantunya menjadi raja, Sirajai Jolma (Kepala Pemerintahan) berkedudukan di Barus. Untuk menunjukkan bahwa dialah yang mulamula/pertama menjadi raja di Kerajaan Batak Barus, maka dinamakanlah Raja Mula.
         Barus di sebut sebagai kota tertua di Nusantara, karena mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya
          Raja Mula digantikan oleh anaknya, yaitu Raja Donia, kemudian Raja Donia digantikan oleh anaknya Raja Sorimangaraja Batak I (Sorimangaraja = Sri Maharaja). Raja Sorimangaraja Batak I digantikan oleh anaknya yang kedua bernama Nasiak Dibanua dan Nasiak Dibanua digantikan oleh anaknya, bergelar Sorimangaraja Batak II.
             Tradisi awal para Raja Batak Barus selalu mengambil isteri dari keluarga Raja Malim; kebiasaan ini bertujuan demi menjaga keserasian pemerintahan (Konstelasi politik); Raja Sorimangaraja Batak II memperisterikan putri Raja Malim juga, yang melahirkan lima orang putra baginya;

    Siraja Bahar
    Sinambeuk
    Si Pakpak
    Jonggolnitano
    Raja Mangisori yang juga disebut Nagaisori.

        Dari 5 orang putra Raja Sorimangaraja Batak II, hanya Sinambeuk yang mengambil isteri dari keluarga Raja Malim, yaitu saudara perempuan dari Raja Malim Mutiaraja. Dari perkawinannya itu, Sinambeuk memperoleh seorang putra yang dinamakan Si Raja Batak; dia inilah yang kelak dikemudian hari mendirikan perkampungan Sianjur Mulamula di tanah Toba.
         Pada masa pemerintahan Raja Sorimangaraja Batak II, orang Melayu Pagarruyung menyerbu Kerajaan Batak Barus; mereka dibantu oleh para saudagar Islam yang datang dari Gujarat ;perang itu memakan banyak korban. Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, Raja Sorimangaraja Batak II telah memperhitungkan, bahwa dia akan kalah perang, dengan cepat dialihkan kekuasaan pemerintahannya kepada Raja Malim Mutiaraja keponakannya itu (Paraman), dengan perjanjian setelah situasi sudah kondusif, kerajaan itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Mereka mengikat perjanjian itu dengan suatu ikhar tanda barang pusaka, yang mereka namakan

    "Tabutabu sitara pullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang," (Dari mana datangnya, harus kesitu juga kembalinya)

      Sejak peristiwa pengalihan kekuasaan itu, Raja Mutiaraja memegang dua tampuk kepemimpinan, yaitu: selaku pimpinan agama disebut Raja Malim dan selaku Kepala pemerintahan (Sirajai Jolma), disebut Raja Uti. Pada awalnya, gelaran Kepala pemerintahan itu disebut Raja Unte (baca: Utte), hal ini berkaitan dengan kebiasaan Raja Mutiaraja selaku pimpinan agama (Raja Malim) yang selalu mempergunakan Jeruk purut (Unte pangir) didalam upacara-upacara keagamaan. Disebut juga Mutiaraja itu dengan sebutan Raja Mangalambung yang arti harfiahnya, menyamping/dari samping, karena dia bukan dari ahli waris.
         Seirama dengan penggelaran itu, muncullah kebiasaan sesajenan yang membedakan pimpinan agama dengan Kepala pemerintahan; Jika seseorang ingin berhubungan dengan pimpinan agama Raja Malim, maka sesajenannya adalah kambing warna putih (Hambing sibontar), tetapi jika ingin berhubungan dengan Kepala pemerintahan Raja Uti, maka sesajenannya adalah kambing warna hitam (Hambing silintom).
         Perkiraan Sorimangaraja Batak II tentang perang itu menunjukkan kebenarannya; dan bersama anaknya Sinambeuk, mati terbunuh dalam perang. Pada zaman itu sudah menjadi kebiasaan, bahwa semua keturunan raja yang kalah perang harus dibunuh agar tidak muncul kerajaan baru yang akan balas dendam; maka demi keselamatan, setelah Raja Sorimangaraja Batak II terbunuh, para keluarga raja melarikan diri. Konon kabarnya, setelah beberapa generasi kemudian, terbetiklah berita, bahwa:

    Keturunan Si Raja Bahar bermukim di Desa Garo (Garo = Pisang) Karo.
    Keturunan Si Raja Batak, anak dari Sinambeuk, bermukim di Toba.
    Keturunan Si Raja Pakpak, bermukim di Dairi (Dai Ri).
    Keturunan Jonggol ni Tano yang memperanakkan Raja Pandudu dan Raja Mante (Mantela) bermukim di Aceh Pidie (apakah Pidie dari kata Pudi ? ).
    Keturunan Nagaisori (Raja Mangisori), bermukim di Daerah Singkil & Tapak Tuan.

          Dan perkembangan agama Islam di Barus sangat pesat. Orang Batak yang pertama masuk agama Islam di Barus adalah seorang guru pencak silat, bernama Guru Marnangkok; dan banyaklah orang Batak masuk memeluk agama Islam di Barus. Setelah penaklukan Kerajaan Barus, penguasa negeri itu dan para saudagar Islam negeri baru berbasis Islam yang mereka namakan Negeri Fansur, orang Batak meyebutnya Pansur.(baca: Paccur).

III. Kerajaan Pea Langge
             Pada masa jabatan Raja Malim/Raja Uti II, para nabi bersepakat untuk mendirikan kembali Negeri Batak disebelah utara Barus, yang mereka namakan Negeri Pea Langge ; penduduk setempat menyebut Raja Uti dengan sebutan Raja Uteh.
             Raja pun silih berganti ; Raja Malim/Raja Uti II digantikan oleh Raja Malim/Raja Uti III ; Raja Malim /Raja Uti III digantikan oleh Raja Malim /Raja Uti IV.
          Pada masa Raja Malim / Raja Uti IV, Raja Negeri Fansur yang mengalahkan Kerajaan Barus menyerbu Kerajaan Batak Pea Langge. Dan setelah Ompu Bada (Ompu Bada = Panglima Perang) mati terbunuh, maka takluklah negeri itu. Raja Malim/Raja Uti IV dan pengikutnya menyingkir ke suatu pulau di lautan Hindia, disebelah barat Pea Langge.; sesuai dengan bentuk pulaunya, dinamakanlah pulau itu, Pulo Munsung Babi. (Sekarang dinamakan Pulau Babi, Kecamatan Pulau Banyak).
        Sejak itu, raja Malim / Raja Uti IV dengan para penggantinya Raja Malim/Raja Uti V, VI dan Raja Malim/Raja Uti VII, disebutlah dengan sebutan Raja dari Pulau Munsung Babi.
* Nama Raja Uti II dan para  penggantinya, belum dapat diketahui (mohon info).


IV. Kerajaan Sianjurmulamula
       Sebagaimana telah disampaikan diatas,bahwa sebelum Sorimangaraja Batak II mati terbunuh, dia sempat mengalihkan kekuasaannya kepada Raja Malim Mutiaraja.
       Setelah Kerajaan Batak Barus jatuh ketangan musuhnya, didalam situasi yang serba semraut, Mutiaraja memerintahkan si Raja Batak keponakannya/berenya itu  ( berumur 19 tahun) agar melarikan diri kesuatu tempat yang ditunjukkannya dan merahasiakan bahwa dia adalah keturunan raja dari Barus ; dengan membawa seruas bambu yang berisikan dua gulungan surat (dokumen), terdiri dari;

    Pustaka Tombaga Holing yang berisikan ilmu kemiliteran,
    Pustaka Surat Agong yang berisikan ilmu Tata Negara.

      Dikemudian hari, para pencerita membuat pesan itu menjadi cerita mitos, maka muncullah mitologi si Raja Batak turun dari langit didalam seruas bambu.

    Madekdek sian langit, mapultak sian bulu

   Selanjutnya, berangkatlah si Raja Batak menuju tempat yang dimaksudkan oleh Mutiaraja pamannya itu; susah payahnya diperjalanan naik gunung turun lembah.
    Di suatu hari, dalam kondisi capek kelelahan, istirahatlah dia disuatu tempat, lalu duduk diatas sebongkah batu datar/batu ceper yang dinamakannya batu peristirahatan (Batu Pangulonan) akan tetapi dikemudian hari, dinamakanlah Batu Hobol, ada juga yang menyebut Batu Hobon. Setelah tenaganya pulih kembali, dilanjutkanlah perjalanan; ketika letih dan kehausan; tak disangka ditemukannya sebuah umbul air, lalu minumlah dia melepas dahaga, maka dinamakannyalah umbul air itu Aek sipaulak hosa loja yang berarti: umbul air pemulih tenaga.
    Sampailah ia ditempat yang dituju, yaitu sebuah Gua batu yang dipesankan oleh pamannya Mutiaraja (Raja Malim/ Raja Uti I); dan dinamakannyalah gua itu Liang Raja Uti. (Liang = Gua).
       (Batu pangulonan, Aek sipaulak hosa loja, Gua Raja Uti, maupun Pusuk Buhit, terletak di daerah Kabupaten Samosir sekarang).
img_1666
          Konon menurut berita, selang beberapa waktu setelah jatuhnya Barus, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, diam-diam dalam rahasia, dia bersama puterinya, datang dari Barus ke Toba mencari si Raja Batak keponakanya itu; mereka berjumpa dan bermalam di Gua batu/Liang Raja Uti selama dua malam. Dalam pertemuannya itu, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, mengamanahkan kepada Si Raja Batak untuk mempersiapkan berdirinya kembali kerajaan Batak.
images
Bendera Kerajaan Batak
(Dinasti Raja raja Batak Barus, Raja Malim/Raja Uti I s/d VII)
 Keterangan :
 Hitam     = Lambang kerahasiaan / Hahomion.
Putih  = Lambang Kesucian / Habadiaon.
Merah  = Lambang kekuatan / Hagogoon
Bintang kuning  = Lambang Kekuasaan tertinggi.
V. Kerajaan Bakkara.
        Sebelum   kita  cerita  tentang   kemunculan   kerajaan Batak di Bakkara, bahwa berdasarkan informasi data yang dapat dikumpulkan, Raja Manghuntal   lahir pada tahun 1520, dan dinobatkan menjadi Raja Sisingamangaraja I pada tahun 1550 oleh Raja Uti VII di Pulau Munsung Babi.
*. Dalam Sejarah umum, tercatat bahwa Portugis telah menaklukkan negeri Malaka pada tahun 1511, berarti, Raja Manghuntal (Sisingamangaraja I), belum lahir pada waktu itu.         
       Berdasarkan silsilah yang sudah baku dikalangan orang Batak Toba, Raja Manghuntal adalah generasi yang ketujuh dari Si Raja Batak; jika di hitung-hitung satu generasi adalah 25 (dua puluh lima ) tahun,  dalam arti sudah pantas punya anak, maka  Si Raja Batak  tentulah  sudah  lahir, 175 tahun lebih dahulu dari Raja Manghuntal, yaitu sekitar tahun 1345; dan jika Si Raja Batak berumur 19 tahun pada waktu menyingkir dari Barus, maka Si Raja Batak diperkirakan tiba di Toba sekitar tahun 1364.
      Sebagaimana telah disampaikan diatas (di bagian III) bahwa setelah Kerajaan Pea Langge jatuh ketangan musuhnya, Raja Malim/Raja Uti IV bersama para pengikut setianya, menyingkir ke Pulau Munsung Babi. Berita tentang raja-raja Batak yang bermukim di Pulau Munsung Babi (Pulau Babi) terbenam begitu lama tapi exsistensi keberadaannya masih terbesit di Toba.
     Perjanjian Sorimangaraja Batak II dengan Raja Malim Mutiaraja yang ditandai dengan barang pusaka

    Tabutabu sitarapullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang

     Lama sesudah itu, setelah beberapa generasi kemudian, sampailah berita kepada raja Manghuntal di Bakkara, bahwa Raja Malim/Raja Uti VII, ada bermukim di Pulau Munsung babi, maka disuatu waktu, berangkatlah raja Manghuntal kesana untuk membicarakan perjanjian yang dibuat oleh leluhurnya Sorimangaraja Batak II.
     Sehubungan dengan niatan itu, Raja Malim /Raja Uti VII, terlebih dahulu meneliti kemampuan Raja Manghuntal (test uji coba termasuk kesaktian). Setelah Raja Malim /Raja Uti VII meyakininya, maka sepakatlah untuk mengembalikan kekuasaan atas Kerajaan Batak kepada Raja Manghuntal (ahli waris), sesuai dengan perjanjian.
     Didalam acara penobatannya pihak Raja Uti disimbolkan, mulai dari Raja Uti I s/d Raja Uti VII, menyerahkan kembali kekuasaan atas kerajaan Batak sesuai perjanjian, dan sebagai tanda pengembalian, secara simbolik, diserahkanlah 7 (tujuh) macam barang pusaka, yaitu:

    Piso Solam Debata (Keris Batak) tanda pemegang kekuasaan kerajaan .
    Hujur siringis, siungkap mata mual (Tombak, pembuka mata air).
    Tumtuman sutora malam, Tali tali harajaon (Mahkota)
    Ulos Sandehuliman, siambat api (Kain/Ulos pemadam api permusuhan, bahwa tidak akan ada permusuhan antara Raja/Kepala pemerintahan dengan Raja Malim pimpinan agama).
    Lage silintong pinartaraoang omas, lapik panortoran ni Raja (Tikar permadani, alas tempat Raja menari).
     Tabu tabu sitarapullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang (perjanjian).
    Gajah sibontar, pangurupi di nadokdok (Gajah putih simbol tanggung  jawab).

      Pada Acara pelantikannya, disebutlah Raja Manghuntal dengan gelaran Sisingamangaraja I (pemula Dinasti Sisingamangaraja); dan setelah pengembalian itu, berakhirlah masa pemerintahan dinasti Raja Uti; maka, dengan demikian, terwujudlah apa yang dicita-citakan/ direncanakan oleh Si Raja Batak bersama Mutiaraja. Kerajaan Batak berdiri kembali dibawah pemerintahan dinasti Sisingamangaraja, berkedudukan di  Bakkara.
              
 Silsilah Raja – raja di Kerajaan Bakkara;

    Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
    Singamangaraja III, Raja Itubungna.
    Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
    Singamangaraja V, Raja Pallongos.
    Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk.
    Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut.
    Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal.
    Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan.
    Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon.
    Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon,
    Singamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu.
Selasa, September 02, 2014 | 0 komentar

Ikan Batak Ikan batak (Neolissochilus thienemanni)

Ikan Batak Ikan batak (Neolissochilus thienemanni)

DALAMNYA Danau Toba juga ternyata menjadi habitat spesies air yang unik, yaitu ikan batak. Di seluruh penjuru dunia, Anda hanya bisa menemukan ikan ini di Danau Toba.

Ikan batak (Neolissochilus thienemanni) memang hanya ada di tanah Batak, Sumatera Utara. Ikan endemik ini distribusi habitatnya di sungai-sungai kecil di daerah Tapanuli Utara dan Simalungun, terutama sungai kecil yang bermuara ke Danau Toba.

Ikan batak sekilas mirip sekali dengan ikan jurung, semah, kancra, ataupun ikan dari Marga Tor. Perbedaannya, pada ikan batak terdapat 10 baris pori-pori yang tidak teratur (masing-masing memiliki tubus atau titik yang keras) pada masing-masing sisi moncong dan di bawah mata serta alur dari bagian belakang sampai ke bibir bawah terputus di bagian tengah.

Ikan ini baru akan dikonsumsi jika ada upacara adat atau ”upa upa” atau jika ada orang yang hendak membelinya.
Ikan batak dan sejenisnya belum dapat dibudidayakan secara intensif karena pasokan benih masih mengandalkan hasil pemijahan di alam. Padahal, populasinya di alam menurun dan cenderung langka, sehingga dikhawatirkan punah. Masalah yang dihadapi dalam pembenihan untuk jenis-jenis ikan perairan umum adalah kesulitan mendapatkan induk yang matang kelamin dengan kualitas telur yang baik.
Padahal, tor soro memiliki beberapa keunggulan, di antaranya memiliki tekstur dan cita rasa daging yang enak, dapat dibudidayakan di lokasi beriklim dingin, mudah dibudidayakan, dapat dipelihara pada sistem budidaya air deras, memiliki umur induk produktif yang panjang, dan dapat beradaptasi pada lingkungan perairan budidaya seperti kolam, waduk dan perairan umum lainnya. Termasuk mempunyai arti penting dalam kearifan lokal dibeberapa daerah di Indonesia. Selain itu, ikan tor soro juga bernilai komersial tinggi, antara Rp 150.000 – 170.000/kilogram. Bahkan harganya bisa mencapai hingga Rp 1.200.000/kg
.

Saat ini, jangan berharap ikan batak dapat ditemukan di Danau Toba. Berdasarkan informasi nelayan dan penduduk di sekitar Danau Toba, ikan batak sudah sangat sulit ditemukan di. Bahkan, menurut mereka, sudah lama sekali nelayan tidak mendapatkan ikan ini. Ikan batak masih dapat ditangkap di sungai-sungai kecil yang bermuara di Danau Toba, itupun sudah semakin langka. (ftr)
Selasa, September 02, 2014 | 0 komentar

Makna Ulos Batak

Makna Ulos

Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera utara. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.

Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.

Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.

Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.

Daftar isi

    1 Arti Ulos
    2 Jenis, makna dan fungsi
        2.1 Ulos Antakantak
        2.2 Ulos Bintang Maratur
        2.3 Ulos Bolean
        2.4 Ulos Mangiring
        2.5 Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu
        2.6 Ulos Pinuncaan
        2.7 Ulos Ragi Hotang
        2.8 Ulos Ragi Huting
        2.9 Ulos Sibolang Rasta Pamontari
        2.10 Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar
        2.11 Ulos Sitolu Tuho
        2.12 Ulos Suri-suri Ganjang
        2.13 Ulos Simarinjam sisi
        2.14 Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan
        2.15 Ulos Tumtuman
        2.16 Ulos Tutur-Tutur
    3 Pranala luar

Arti Ulos

Mangulosi adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang batak. Dalam setiap kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita ulos selalu menjadi bagian adat yang selalu di ikut sertakan.

Menurut pemikiran moyang orang batak, salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang-orang batak dahulu memilih hidup di dataran yang tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin.

Demikian juga dengan huta/kampung yang ada di daerah tapanuli umumnya di kelilingi dengan pepohonan bambu. Dimana memiliki kegunaan bukan hanya sebagai pagar untuk menjaga serangan musuh saja, namun juga menahan terjangan angin yang dapat membuat tubuh menggigil kedinginan.

Ada 3 hal yang di yakini moyang orang batak yang memberi kehidupan bagi tubuh manusia, yaitu : Darah, Nafas dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat” menjadi suatu kebutuhan yang setiap saat di dambakan.

Ada 3 “sumber kehangatan” yang di yakini moyang orang batak yaitu : matahari, api dan ulos. Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api dapat di nyalakan setiap saat, namun tidak praktis untuk di gunakan menghangatkan tubuh, misalnya besarnya api harus di jaga setiap saat sehingga tidur pun terganggu. Namun tidak begitu halnya dengan Ulos yang sangat praktis digunakan di mana saja dan kapan saja.

Ulos pun menjadi barang yang penting dan di butuhkan semua orang kapan saja dan di mana saja. Hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di tengah-tengah masyarakat batak. Dibuatlah aturan penggunaan ulos yang di tuangkan dalam aturan adat, antara lain :

    Ulos hanya di berikan kepada kerabat yang di bawah kita. Misalnya Natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak).
    Ulos yang di berikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan di beri ulos. Misalnya Ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu laki-laki).

Sedangkan menurut penggunaanya antara lain :

    Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan ulos ragidup, sibolang, runjat, jobit dan lainnya.
    Sihadanghononhon (diletakan di bahu) di gunakan ulos Sirara, sumbat, bolean, mangiring dan lainnya.
    Sitalitalihononhon (pengikat kepala) di gunakan ulos tumtuman, mangiring, padang rusa dan lain-lain.

Saat ini kita tidak membutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh di saat tidur ataupun saat beraktifitas, karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju untuk memberi kehangatan bagi tubuh pada saat berada pada udara yang sangat dingin. Tetapi Ulos sudah menjadi perlambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam budaya batak.

Namun ini juga menjadi tantangan bagi budaya batak di masa depan, karena cara pandang dan penghargaan anak-anak muda masa depan sangat berbeda dengan para orang tua yang sempat merasakan berharganya nilai ulos dalam kekerabatan. Akankah anak-anak kita memandang ulos seperti memandang “kain pada umumnya”, bahkan lebih parahnya setelah kain tersebut di gunakan dalam acara adat yang melelahkan kemudian ulos tersebut tersimpan rapat dalam lemari saja.

Sangat berbeda “rasanya” dengan dengan menggunakan setelan jas yang modis dan ingin menggunakannya lagi dan lagi begitu setiap saat.

Jangan-jangan yang terbayang dalam pikiran mereka saat melihat ulos yang tergolek dalam lemari adalah acara adat yang melelahkan, njelimet adatnya, pusing karena gak tau bahasa batak, malu karena gak pinter martutur (menempatkan diri dalam pertalian darah atau keturunan).

Akan sangat banyak tantangan masa depan yang akan menghimpit “niat maradat” bagi generasi muda masa depan. Seperti masalah ke uangan, penggunaan waktu, perkembangan pola pikir praktis, berkurangnya “rajaparhata” (orang yang mengetahui adat dan dapat memandu kegiatan adat dari awal hingga akhir).
Jenis, makna dan fungsi
Ulos Antakantak

Ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor (menari).
Ulos Bintang Maratur

Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak Toba, beberapa diantaranya yakni:

    Kepada anak yang memasuki rumah baru. Memiliki rumah baru (milik Sendiri) adalah merupakan suatu kebanggaan terbesar bagi masyarakat Batak Toba. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru di anggap sebagai salah satu bentuk keberhasilan atau prestasi tersendiri yang tak ternilai harganya. Tingginya penghargaan kepada orang yang telah berhasil membangun dan memiliki rumah baru adalah karena keberhasilan tersebut di anggap merupakan suatu berkat dari Tuhan yang maha Esa yang di sertai dengan adanya usaha dan kerja keras yang bersangkutan di dalam menjalani kehidupan. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru adalah merupakan situasi yang sangat menggembirakan, oleh karena itu ulos ini akan diberikan kepada orang yang sedang berada dalam suasana bergembira. Orang batak yang tinggal dan menetap di berbagai puak/horja di sekitar Tapanuli telah memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda pula. Walaupun konsep dan pemahaman tentang adat itu secara umum adalah sama, namun pada hal-hal tertentu ada kalanya memiliki perbedaan dalam hal pemaknaan terhadap nilai dan konsep adat yang ada sejak turun-temurun. Oleh karena itu pemberian Ulos Bintang Maratur khusus di daerah Silindung di berikan kepada orang yang sedang bergembira dalam hal ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah baru.

    Secara khusus di daerah Toba Ulos ini diberikan waktu acara selamatan Hamil 7 Bulan yang diberikan oleh pihak hulahula kepada anaknya. Ulos ini juga di berikan kepada Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai Parompa (gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru lahir itu di iringi kelahiran anak yang selanjutnya, kemudian ulos ini juga di berikan untuk pahompu (cucu) yang baru mendapat babtisan di gereja dan juga bisa di pakai sebagai selendang.

Ulos Bolean

Ulos ini biasanya di pakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.
Ulos Mangiring

Ulos ini dipakai sebagai selendang, Talitali, juga Ulos ini di berikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan sekaligus sebagai Simbol besarnya keinginan agar si anak yang lahir baru kelak di iringi kelahiran anak yang seterusnya, Ulos ini juga dapat dipergunakan sebagai Parompa (alat gendong) untuk anak.
Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu

Ulos ini dipakai sebagai Talitali dan Selendang.
Ulos Pinuncaan

Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian di satukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos. Kegunaannya antara lain:

    Dipakai dalam berbagai keperluan acara-acara duka cita maupun suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai/ di sandang oleh Raja-raja Adat.
    Dipakai oleh Rakyat Biasa selama memenuhi beberapa pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat di pakai oleh suhut sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).
    Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran (kelompok istri dari golongan hulahula), ulos ini juga di pakai/dililit sebagai kain/hohophohop oleh keluarga hasuhuton (tuan rumah).
    Ulos ini juga berfungsi sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan. Ulos Passamot di berikan oleh Orang tua pengantin perempuan (Hulahula) kepada ke dua orang tua pengantin dari pihak laki-laki (pangoli). Sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat.

Ulos Ragi Hotang

Ulos ini di berikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang di sebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna bahwa orang tua pengantin perempuan telah menyetujui putrinya di persunting atau di peristri oleh laki-laki yang telah di sebut sebagai “Hela” (menantu). Pemberian ulos ini selalu di sertai dengan memberikan mandar Hela (Sarung Menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua. Dan sarung tersebut di pakai dan di bawa untuk kegiatan-kegiatan adat.
Ulos Ragi Huting

Ulos ini sekarang sudah Jarang di pakai, konon pada zaman dulu sebelum Indonesia merdeka, anak perempuan (gadis-gadis) memakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada (Hobahoba) yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang putri (gadis perawan) batak Toba yang ber-adat.
Ulos Sibolang Rasta Pamontari

Ulos ini di pakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada zaman sekarang, Ulos Sibolang bisa di katakan sebagai simbol duka cita, yang di pakai sebagai Ulos Saput (orang dewasa yang meninggal tapi belum punya cucu), dan di pakai juga sebagai Ulos Tujung untuk Janda dan Duda dengan kata lain kepada laki-laki yang ditinggal mati oleh istri dan kepada perempuan yang di tinggal mati oleh suaminya. Apabila pada peristiwa duka cita Ulos ini di pergunakan maka hal itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah sebagai keluarga dekat dari orang yang meninggal.
Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar

Secara umum ulos ini hanya berfungsi dan dipakai sebagai Selendang bagi para ibu-ibu sewaktu mengikuti pelaksanaan segala jenis acara adat-istiadat yang kehadirannya sebatas undangan biasa yang di sebut sebagai Panoropi (yang meramaikan) .
Ulos Sitolu Tuho

Ulos ini difungsikan atau di pakai sebagai ikat kepala atau selendang.
Ulos Suri-suri Ganjang

Ulos ini di pakai sebagai Hande-hande (selendang) pada waktu margondang (menari dengan alunanan musik Batak) dan juga di pergunakan oleh pihak Hulahula (orang tua dari pihak istri) untuk manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunannya) karena itu disebut juga Ulos gabegabe (berkat).
Ulos Simarinjam sisi

Dipakai dan di fungsikan sebagai kain, dan juga di lengkapi dengan Ulos Pinunca yang di sandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani (mendahului di depan). Yang memakai ulos ini adalah satu orang yang berada paling depan.
Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan

Pada zaman dahulu di pakai sebagai selimut bagi keluarga yang berasal dari golongan keluarga kaya, dan itu jugalah apabila nanti setelah tua dan meninggal akan di saput (di selimutkan, dibentangkan kepada jasad) dengan ulos yang pakai Ragi di tambah Ulos lainnya yang di sebut Ragi Pakko karena memang warnanya hitam seperti Pakko.
Ulos Tumtuman

Dipakai sebagai talitali yang bermotif dan di pakai oleh anak yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (tuan rumah).
Ulos Tutur-Tutur

Ulos ini dipakai sebagai talitali (ikat kepala) dan sebagai Handehande (selendang) yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya).
Pranala luar
Selasa, September 02, 2014 | 0 komentar

Lagu Sonak Malela

Written By napitupulusipakko on Senin, September 01, 2014 | Senin, September 01, 2014

RAJA SONAKMALELA

Molo ni ida ma i torop na i SONAKMALELA i/ale amang ai tung sude do di desa na wa lu di ingani tahe. Ai na martua ma i da oppu i oppu parsadaan i SONAKMALELA i di sude si bagot ni pohan i siappudan na tahe

Raja MANGUNSONG ma i anak na i anak siahaan i/ ale amang Raja MARPAUNG ma i sipaidua pinopparna tahe NAPITUPULU ma i dapaitolu di rajahon ma muse Raja PARDEDE i dung torop do tahe pomparan ni SONAKMALELA i. Reff: Raja panganju do SIMANGUNSONG i La ho manganju sude anggi na i Raja MARPAUNG torop pinoppar ni holan parpangkat na timbo-timbo i NAPITUPULU dohot PARDEDE i holan na borhat torop pinoppar ni tokke tu tokke sude pinoppar ni na adongan goar i

Adong ma sada to na ni oppu i di Sonakmalela i/ ale amang si naga baling na di balige i bona ni bittatar i. Tanda

tanda ma i molo marudan di ulaon na i/ manang pesta na i tanda gabe ma i da tanda horas tu pinoppar na i.

Adong ma sada na istimewa i di SONAKMALELA i/ ale amang Si boru muli manang anak mangoli dipesta na tahe. Sisada dudu do anak dohot boru boru na pe namboru marsitindihan i tona ni oppu i padan i sai na hot do tahe. Reff: Nang pe parboru SONAKMALELA i holan na burju do tu boru na i las songon ni do muse boru na i holan na barsa parhula

hula i ala ni i sai laku-laku do i anggo boru ni SONAKMALELA i maradu-adu sude anak ni halak lao mangalirik i Ai na martu, 2x ai na martua da ma i da 3x oppu i raja i oppu i SONAKMALELA i oppu i raja i oppu i SONAKMALELA i



Senin, September 01, 2014 | 0 komentar

Keturunan Raja Sipakko Napitupulu Imbau Jangan Golput




 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keturunan Raja Sipakko Napitupulu se-Dunia mengadakan acara temu kangen di Sipallat Porsea, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumatera Utara.

Dalam acara yang berlangsung dari hari Jumat (18/4/2014) sampai Sabtu (19/4/2014) itu, menyerukan agar dalam pemilihan Presiden 2014 serta pemilihan Bupati Tobasa 2015 dilakukan dengan bermartabat serta menjunjung asas keadilan untuk semua.

Ketua Umum Keturunan Raja Sipakko Napitupulu Anak Dohot Boruna se-Dunia, Paimin Napitupulu, mengatakan acara temu kangen yang dihadiri sekitar 3.000 anggota diharapkan dapat mempererat tali silaturahmi antar keturunan Raja Sipakko Napitupulu dan boru serta bere di seluruh dunia.

Selain itu, kegiatan ini akan menjadi media bagi Punguan Raja Sipakko Napitupulu untuk menunjukkan peran aktif dalam mensukseskan pelaksanaan pilpres dan pilbup Tobasa.

"Keturunan Raja Sipakko Napitupulu se-Dunia mengeluarkan imbauan agar keluarga besar dimana saja di seluruh dunia untuk menggunakan hak pilihnya dan jangan golput. Keluarga besar Raja Sipakko Napitupulu harus dewasa berpolitik menggunakan hak pilihnya," kata Paimin dalam keterangan persnya, Minggu (20/4/2014).

Menurut Paimin, sudah saatnya seluruh elemen masyarakat untuk menyadari pentingnya pelaksanaan pilpres dan pilbup Tobasa sebagai wahana mendapatkan pemimpin yang memiliki kredibilitas dan kemampuan.

"Keluarga besar Raja Sipakko Napitupulu berkomitmen kuat untuk mensukseskan pelaksanaan pilpres 2014 dan pilbup Tobasa 2015," tegasnya.

Selain mengeluarkan imbauan terkait pemilu, dalam acara tersebut keturunan Raja Sipakko Napitupulu se-Dunia juga melakukan napak tilas ke lokasi peninggalan Raja Sipakko Napitupulu, yakni Tugu Sejarah Ompu Raja Sipakko Napitupulu.

Para anggota yang mengikuti kegiatan tersebut selain berdomisili di Sumatera Utara, juga datang dari seluruh provinsi di Indonesia serta mereka yang tinggal di Jepang, Amerika Serikat, Prancis dan Malaysia.
Senin, September 01, 2014 | 0 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.

Manusia Batak

Pengunjung

Flag Counter

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *




Kunjungan Presiden RI

Event Sipakko

Daftar Blog Saya