Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Tech News

Raja Tonggo Tua Sinambela : RAJA SISINGAMANGARAJA 12 ITU BUKAN PEMBUNUH !

Written By napitupulusipakko on Jumat, April 17, 2009 | Jumat, April 17, 2009


1_642587605s4

MEDAN (KATAKAMI) 16 February 2009, Unjuk rasa pembentukan Provinsi Tapanuli Utara (Protap), Selasa (3/2) yang berakhir ricuh hingga menewaskan Ketua DPRDSU Azis Angkat, disesalkan semua pihak.

Terutama keturunan Pahlawan Sisingamangaraja XII, Ir Tonggo Tua Sinambela. Tonggo Tua Sinambela, sebagai cicit Raja Sisingamangaraja 12.

Raja Tonggo Tua menyesalkan unjuk rasa itu juga menyesalkan pemakaian logo atau lambang Sisingamangaraja XII.

Logo ini dipakai para pengunjuk rasa seperti pada jaket almamater Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) dan properti lain.

Raja Tonggo Tua Sinambela, Cicit Kandung Raja Sisingamangaraja 12

Raja Tonggo Tua Sinambela, Cicit Kandung Raja Sisingamangaraja 12

Pemakaian logo saat unjuk rasa, menurut Raja Tonggo Tua Sinambela, secara tidak langsung menyebutkan Sisingamangaraja seorang “pembunuh”.

“Padahal Sisingamangaraja bukan seorang pembunuh. Ia pernah menjadi DPO bukan karena membunuh,” ujar Thomson, salah seorang anggota Forum Sisingamangraja XII.

Tonggo, mengakui dalam penggunaan logo Sisingamangaraja XII, adalah hak siapa setiap warga negara apalagi Sisingamangaraja XII merupakan milik semua publik sehingga dapat dengan bebas menggunakannya.

Namun sebagai keturunan Sisingamangaraja, dirinya sempat kesal apalagi pemakaian logo untuk berbuat anarki.

Tonggo, cucu Raja Karel Buntal, anak ke empat dari 7 bersaudara Raja Sisingamangraja XII ini menilai gambar dua pedang berbentuk silang ditempel di jaket almamater menjadikan semua etnik Batak jadi anarki, padahal tidak.

“Untuk itu kami menolak stigmatisasi kultural terhadap etnik Batak melalui insiden itu,” tegas Tonggo.

Tonggo yang merupakan Ketua Forum Sisingamangaraja XII ini dalam pertemuan di Jalan SM Raja kemarin selain menyesalkan pemakaian logo juga meminta agar insiden itu harus diproses hingga tuntas.

Sekretaris Forum Sisingamangaraja XII, Ir Mangarimpun Parhusip, mengatakan pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan wacana lama, namun sering terjadi selisih paham dan tujuan dari Protap tidak sesuai lagi.

Meski begitu, lanjutnya, pembentukan Protap harus dilanjutkan dengan mengembalikan tujuan awalnya, yakni menjadikan masyarakat Tapanuli lebih sejahtera karena selama ini pembangunan di Tapanuli masih jauh dari harapan padahal daerah itu kaya sumber daya alam.

“Proses pemekaran di Sumut harus dalam perspektif percepatan pembangunan lokal untuk kepentingan nasional, namun jangan juga dipaksa secara anarki seperti ini,” sesal Mangarimpun.

(Sumber : http://manduamastapanulibarat.wordpress.com





Jumat, April 17, 2009 | 0 komentar

Raja Sisingamangaraja XII Punya 3 Jenis Stempel

Written By napitupulusipakko on Kamis, April 16, 2009 | Kamis, April 16, 2009


DIKUTIP DARI WWW.KOMPAS.COM
Tanggal 17 Juni 1975, tepat pada tahun ke-58 wafatnya pahlawan nasional Raja Bakara Sisingamangaraja XII, warga Tapanuli di Jakarta telah memperingatinya di Taman Pahlawan Kalibata. Acara kemudian dilanjutkan di Istora Senayan, dimana bendera asli yang digunakan Sisingamangaraja XII bergerilya selama 30 tahun melawan penjajah Belanda, ikut ditampilkan. Sisingamangaraja XII gugur oleh ekspedisi Christoffel di daerah Dairi, Sumut bersama Patuan Anggi, Patuan Nagari dan Boru Lopi.


Jumat, 28 November 2008 | 07:47 WIB

MEDAN, JUMAT–Sisingamangaraja XII memiliki tiga jenis stempel berbeda yang diketahui dari cap yang dibubuhkan pada surat-suratnya yang ditujukan kepada pemerintah Belanda maupun Zending Kristen I.L Nomensen.

Profesor. Dr. Uli Kozok MA dari University of Hawaii, Minoa, USA, di Medan, Kamis, mengatakan, stempel yang digunakan Sisingamangaraja XII sama-sama berasal dari abad ke- XIX dengan rentang waktu 10 sampai 20 tahun antara satu stempel dengan stempel lainnya.


“Ini sekaligus membuktikan bahwa Sisingamangaraja XII telah melakukan tiga kali percobaan dalam pembuatan stempel untuk berhubungan dengan pihak lain. Stempel yang ketiga bentuknya lebih baik dan sempurna dari dua stempel sebelumnya,” katanya dalam ceramah ilmiahnya di Universitas Negeri Medan mengupas tentang misteri surat-surat Sisingamangaraja XII.

Ia mengatakan, ada empat surat Sisingamangaraja XII yang saat ini sedang ditelitinya, tiga surat ditujukan kepada Zending Kristen I.L Nomensen dan satu surat ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda.

I.L Nomensen sendiri sebenarnya sangat tidak suka terhadap Sisingamangaraja XII karena sangat menentang kehadirannya di tanah Batak.

Bahkan, I.L Nomensen pernah mengatakan bahwa musuh abadi pemerintah Belanda dan Zending Kristen adalah Sisingamngaraja XII. Nomensen pula yang memanggil tentara Belanda agar masuk ketanah Batak dengan menggunakan pasukan yang terdiri dari orang-orang Jawa, Manado dan Maluku. “Saat ini keempat surat-surat asli Sisingamangaraja XII tersebut masih tersimpan dengan cukup baik di Wuppertal Jerman,”katanya.

Yang uniknya, kata dia, stempel dan surat-surat Sisingamangaraja XII tersebut bukan menggunakan aksara Batak asli tetapi sudah menggunakan campuran aksara Batak Mandailing Angkola, Arab Melayu dan huruf Kawi.

Lebih jauh ia mengatakan, Sisingamangaraja XII sendiri sebenarnya tidak mengenal huruf, untuk itu ia menggunakan dua orang juru tulis dalam persoalan surat-menyurat yakni Heman Silaban dan Manse Simorangkir.

Kedua juru tulisnya tersebut merupakan alumni Zending I.L Nomensen yang kemudian berbelok arah memihak Sisingamangaraja karena tidak lulus dalam ujian untuk menjadi guru.

Sementara Sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr. Phill Ichwan Azhari, mengatakan, sedikitnya ada lima misteri yang masih perlu diteliti lebih jauh tentang Sisingamangraja XII, baik tentang hidupnya, surat-suratnya maupun agamanya.

Bahkan tentang kematiannya juga masih menjadi misteri. Kalau benar Sisingamangaraja XII di tembak mati oleh serdadu Belanda yang bernama Christopel, kenapa dia tidak naik pangkat seperti layaknya pasukan-pasukan Belanda lainnya yang berhasil mematahkan perlawanan-perlawanan para pahlawan lainnya dari daerah lain.

“Begitu juga dengan surat-suratnya yang sudah berusia lebih dari 100 tahun, tetapi kita tidak mengetahui apa sebenarnya isinya, ” katanya.(ANT)





Kamis, April 16, 2009 | 1 komentar

Kisah Perjuangan Raja Sisingamangaraja 12 Yang Gugur Bersama 3 Orang Anak Kandungnya Di Medan Perang

Written By napitupulusipakko on Rabu, April 15, 2009 | Rabu, April 15, 2009

Raja Sisingamangaraja XII

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Si Singamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.

Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings� Besluit Tahun 1876″ yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, Raja Si Singamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda.

Kalau Belanda mulai menguasai Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Si Singamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi.

Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :

1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

Terlihat dari peristiwa ini, Raja Si Singamangaraja XII lah yang dengan semangat tinggi, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Raja Si Singamangaraja XII bukan anti agama dan di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dengan suku-suku lainnya.

Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Si Singamangaraja XII.

Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, markas besar Raja Si Singamangaraja XII di Tangga Batu dan Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihambat. Belanda merobah taktik, pada babak berikutnya ia menyerbu ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Raja Si Singamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.

Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Raja Si Singamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Raja Si Singamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda.

Namun Belanda tetap merasa penguasaan tanah Batak berjalan lamban.Untuk mempercepat rencana kolonialisasi ini, Belanda menambah pasukan besar yang didatangkan dari Batavia (Jakarta sekarang) yang mendarat di Pantai Sibolga.

Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.

Raja Si Singamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Pasukan Raja Si Singamangaraja XII juga dikerahkan berupa kekuatan laut dari Danau Toba yang menyertakan pasukan sebanyak 800 orang dengan menggunakan 20 solu bolon. Pertempuran besar pun terjadi.

Inilah Makam Raja Sisingamangaraja XII (bagian tengah), di sisi kiri dan kanannya adalah Makam dari Raja Patuan Anggi dan Raja Patuan Nagari, kedua putera Raja Sisingamangaraja XII yang gugur bersama sang ayah di medan perang

*****

Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Raja Si Singamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih.

Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Si Singamangaraja XII. Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Raja Si Singamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda.

Raja Si Singamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.

Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Raja Si Singamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal.

Oleh pasukan Raja Si Singamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki Si Gurbak Ulu Na Birong.

Tetapi pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang.

Tetapi Raja Si Singamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Raja Si Singamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap.

Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Si Singamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.

Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil menguasai Aceh sehingga pada tahun 1890 pasukan khusus Marsose yang tadinya ditempatkan di Aceh, dikerahkan untuk menyerang Raja Si Singamangaraja XII di daerah Parlilitan.

Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi.

Raja Si Singamangaraja XII melanjutkan peperangan secara berpindah-pindah di daerah Parlilitan selama kurang lebih 22 tahun, disetiap persinggahaannya Beliau selalu memberikan pembinaan pertanian, adat istiadat (hukum) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga menimbulkan kesetiaan dan dukungan rakyat untuk berjuang.

Walaupun banyak di antara penduduk yang mendapat siksaan dan pukulan dengan rotan dan bahkan sampai terbunuh, karena tidak mau bekerja-sama dengan Belanda. Termasuk untuk menunjukkan tempat pasukan dan Raja Si Singamangaraja XII berada.

Pasukan Raja Si Singamangaraja XII di Dairi ini merupakan gabungan dari suku Batak dan suku Aceh.

Pasukan ini dipimpin oleh putranya Patuan Nagari.

Panglima-panglima dari suku Batak Toba antara lain, Manase Simorangkir dari Silindung, Rior Purba dari Bakara, Aman Tobok Sinaga dari Uruk Sangkalan dan Ama Ransap Tinambunan dari Peabalane.

Dari suku Aceh antara lain Teuku Sagala, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Ben,Teuku Mat Sabang, Teuku Nyak Umar, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris.

Sedang dari rakyat Parlilitan antara lain: Pulambak Berutu, Tepi Meha, Cangkan Meha, Pak Botik Meha, Pak Nungkun Tinambunan, Nangkih Tinambunan, Pak Leto Mungkur, Pak Kuso Sihotang, Tarluga Sihombing dan Koras Tamba.

Pasukan Raja Si Singamangaraja XII ini dilatih di suatu gua yang bernama Gua Batu Loting dan Liang Ramba di Simaninggir.

Gua ini berupa liang yang terjadi secara alamiah dengan air sungai di bawah tanah. Tinggi gua sekitar 20 meter dan mempunyai cabang-cabang yang bertingkat-tingkat.

Sirkulasi udara di dalam gua cukup baik karena terbuka ke tiga arah, dua sebagai akses keluar masuk dan satu menuju ke arah air terjun. Jarak dari pintu masuk ke air terjun didalam gua lebih dari 250 meter.

Dengan demikian, di dalam gua ini dimungkinkan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari bagi seluruh pasukan yang dilatih tanpa harus keluar dari gua.

Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan Raja Si Singamangaraja XII sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain.

Namun Raja Si Singamangaraja XII menolak tawaran tersebut.

Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya diketahui oleh serdadu Belanda.

Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak.

Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.

Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Raja Si Singamangaraja XII.

Pertahanan Raja Si Singamangaraja XII diserang dari tiga jurusan.

Cicit Kandung Raja Sisingamangaraja XII, Ir Raja Tonggo Tua Sinambela (Putera dari Alm Raja Patuan Sori Sinambela & Alm Maria Magdalena Boru Pasaribu)

Cicit Kandung Raja Sisingamangaraja XII, Ir Raja Tonggo Tua Sinambela (Putera dari Alm Raja Patuan Sori Sinambela & Alm Maria Magdalena Boru Pasaribu)

Tetapi Raja Si Singamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Kaum wanita dan anak-anak diungsikan secara berkelompok-kelompok, namun kemudian mereka tertangkap oleh Belanda.
Tanggal 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Raja Si Singamangaraja XII oleh pasukan Marsose Belanda pimpinan Kapten Christoffel.

Raja Si Singamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian.

Raja Si Singamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.

Dalam peristiwa ini juga turut gugur banyak pengikut dan beberapa panglimanya termasuk yang berasal dari Aceh, karena mereka juga berprinsip pantang menyerah.

Pengikut-pengikutnya yang lain berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Raja Si Singamangaraja XII yang masih hidup dihina dan dinista, dan kemudian ditawan di internering Pearaja Tarutung. Semua mereka merupakan korban perjuangan.

Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Raja Si Singamangaraja XII sendiri.

Walaupun Raja Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Raja Si Singamangaraja XII sendiri.

Jenazah Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa dan dikuburkan Belanda di tangsi Tarutung.

Pada Tahun 1953, Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dimakamkan kembali di Makam Pahlawan Nasional Soposurung Balige yang dibangun oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga.

Raja Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.






Rabu, April 15, 2009 | 0 komentar

CERITA 3 : PIRO Vs PIR

Written By napitupulusipakko on Selasa, April 14, 2009 | Selasa, April 14, 2009

Ada seorang Mandailing (bukan Batak, Mandailing adalah suku lain di daerah Selatan Sumut) merantau ke Jakarta, karena tidak berhasil mendapat kerja kantoran akhirnya si Mandailing ini berwirasta alias berjualan apa saja di pasar Manggarai, hari ini jualan sayur, besok jualan barang bekas, pokoknya apa saja yang memberikan untung.

Suatu hari si Mandailing ini berjualan pepaya, tengah hari datang seorang pembeli, kebetulan seorang Jawa pembantu rumah tangga yang baru datang di Jakarta, bahasa Indonesia-nya belum lancar. Sesuai instruksi majikan, si Jawa mencoba merasakan apakah pepaya yang dijual sudah masak atau belum. Dengan halus si Mandailing memperingati : “zangan keras-keras mas, supaya tidak penyok” (dengan logat Mandailing tentunya yang mirip dengan logat Batak). Setelah yakin bahwa pepaya yang mau dibeli sudah matang, si Jawa bertanya: “piro siji?”, si Mandailing heran dan tidak mengerti dan dia menjawab: “tidak keras mas ... lunak kok, coba lagi” (pir -dari piro- dalam bahasa Mandailing artinya keras).

“Ya ..... piro siji?”, si Jawa bertanya lagi, mulai keheranan.
“Tidak keras mas .... coba lagi”, si Mandailing menjelaskan lagi dengan nada mulai meninggi.
“Lha iya ...... piro?”, si Jawa bertanya lagi, tambah heran.

Misunderstanding terus berlanjut, si Mandailing makin marah dan si Jawa makin heran. Akhirnya si Mandailing bilang : “sudah kubilan lunak ... keras (pir) kau bilang .... lihat ini .....”, si Mandailing menonjok pepayanya sampai hancur.

“Dasar zawa .... sekarang kau mau apa?!”, tantang si Mandailing. Si Jawa kita terpaksa lari terbirit-birit.





Selasa, April 14, 2009 | 0 komentar

Mengapa Orang Batak Temperamental?

Written By napitupulusipakko on Senin, April 13, 2009 | Senin, April 13, 2009






Orang Medan, lebih khusus lagi orang Batak, kerap dianggap sebagai pribadi yang temperamental. Emosinya mudah naik, belum lagi nada bicara dan volume suaranya yang tinggi dan sangat terus terang. Perlukah dikendalikan?

“Kalau tidak berpikir panjang, saya bisa naik pitam saat bicara dengan keluarga suami saya,” ujar Lita, wanita Jawa yang menikah dengan pria Batak. Bagi Lita, bicara dengan nada tinggi dan volume keras, serta blak-blakan merupakan hal yang sama sekali ditentang dalam ajaran keluarganya.

“Kadang saya terpancing mau marah karena menganggap mereka tidak sopan kalau bicara. Tapi terus ingat lagi, oh ya mereka orang Batak. Habis, suami saya karakternya sudah seperti orang Jawa sih,” tambah Lita yang bertemu suaminya saat kuliah di Yogya itu.
Tapi jangan salah kira dulu. Nada tinggi belum bisa dijadikan patokan bahwa orang Medan atau orang Batak temperamental, kata sosiolog sekaligus antropolog dari Universitas Negeri Medan, Prof. DR. Bungaran Antonius Simanjuntak.

Nada tinggi yang biasa keluar dari mulut orang Medan biasa dijumpai pada orang Batak dari pegunungan, seperti daerah Samosir. “Karena di sana wilayah perkampungannya jauh-jauh, di daerah pegunungan pula. Sehingga mereka harus berteriak-teriak untuk memanggil. Tapi hatinya belum tentu keras, sehingga tidak terpancing emosinya. Apalagi yang sudah terdidik,” tutur Prof. Bungaran.

Atas dasar itulah hipotesa yang mengatakan orang Medan atau orang Batak itu temperamental baginya tidak benar. Hal senada juga dikatakan Dra. Mustika Tarigan. Dosen Psikologi Perkembangan di Fakultas Psikologi Universitas Medan Area. Nada tinggi memang menjadi karakter orang Medan, tapi nada tinggi tidak otomatis menjadi indikasi temperamental.

“Karakter mereka memang ekspresif. Dan cara mengekspresikannya sendiri lebih ekstrem, jadi terkesan emosional. Tapi tidak semuanya temperamental,” katanya. Ia maklum bagi orang dari daerah lain karakter seperti itu terkesan berlebihan.

Marah Itu Perlu
Temperamental merupakan keadaan yang terkait dengan emosi. Contohnya orang yang mengendarai mobil lalu mengumpat, “Kurang ajar!” setelah diserobot secara tiba-tiba oleh tukang becak, merupakan luapan dari emosi dalam bentuk marah.

“Ungkapan marah itu diperlukan, karena manusia bukanlah superman yang bisa mengemas diri semanis mungkin saat marah. Yang perlu diingat adalah, boleh marah tapi lihat ketupatnya,” tambah Mustika. Ketupat yang dia maksudkan adalah keadaan, waktu dan tempat. Perlu diperhatikan juga obyek kemarahan, kadar kemarahan, serta tujuan dari amarahnya itu sendiri.

Misalnya, orangtua yang marah kepada anaknya mempunyai tujuan baik, supaya anaknya menjadi baik. “Tapi ada juga yang untuk show off, menunjukkan bahwa dirinya punya power atau kekuasaan. Nah, itu tidak benar,” terangnya.

Nada Tinggi
Nada tinggi yang diidentikkan dengan cara bicara orang Medan tidak selalu bisa disamakan dengan kemarahan, walaupun perasaan marah orang Medan lebih banyak diekspresikan dengan nada tinggi dan bahasa tubuh yang terlihat jelas.

Di satu sisi nada tinggi yang ekspresif itu bisa membuat lega, enak, dan puas orang yang mengekspresikannya karena ’sampah’ yang berada dalam dirinya keluar. Tapi, seperti diakui oleh Dra. Mustika, dampaknya bisa membuat orang lain tersinggung dan tidak bisa menerima ekspresi amarah yang terlontar itu.

Belum lagi adrenalin orang yang bersangkutan juga akan naik. Apa akibatnya? “Ia akan cepat lelah. Makanya, orang yang marah itu akan capek karena energinya terkuras. Itu sebabnya untuk mendinginkan diperlukan minuman,” ucapnya.

Di masyarakat lain bisa jadi kemarahan tetap diekspresikan dengan nada lembut atau malah diam lalu meninggalkan orang yang membuatnya marah tadi. Menurut Dra. Mustika, “Diam atau escape sebentar dari amarah merupakan cara mengontrol amarah, dan baru dicetuskan kemudian bila situasinya bagus. Kita bisa bilang, ’saya kok jadi marah ya dengan sikap kamu’. Bukan dengan kata-kata, ‘kamu membuat saya marah’. Karena kalau begitu, kita menyalahkan orang lain.”

Perlu Dikendalikan
Bagaimana pun menekan amarah itu tidak bagus, kata Dra. Mustika, sedangkan yang benar adalah mengontrol atau mengendalikannya. Ia mengakui bahwa untuk mengontrol atau mengendalikannya tidak mudah, butuh waktu mempelajarinya.

“Apa boleh buat, kita harus mengelola emosi. Caranya bisa dengan banyak bergaul atau meminta feedback atau umpan balik dari orang lain. Lalu juga harus menyadari bahwa permasalahan tidak akan selesai dengan luapan emosi,” tutur perempuan yang juga bergerak di LSM Pusat Kajian Perlindungan Anak ini.

Mengapa orang Batak yang tinggal di Pulau Jawa misalnya bisa tidak seemosional yang di Medan? Jangan lupa faktor lingkungan yang turut mempengaruhi emosi.

“Komunitas atau lingkungan akan berpengaruh terhadap diri seseorang. Maka orang Medan yang telah banyak bergaul dengan masyarakat heterogen, emosinya juga lebih terkontrol.
Tapi siapa pun kita, jika mau marah sebaiknya pertimbangkan dulu baik buruknya supaya tidak membuat orang lain maupun diri sendiri sakit.

Sumber : (Diana Yunita Sari) Harian Kompas




Senin, April 13, 2009 | 1 komentar

Misteri Surat-Surat Raja Sisingamangaraja 12

Written By napitupulusipakko on Minggu, April 12, 2009 | Minggu, April 12, 2009

MEDAN, KAMIS - Misteri surat-surat Sisingamaraja XII hingga kini belum banyak terkuak isinya. Dokumen surat ini hanya sebagian kecil saja yang sudah diulas isinya. Sebagian dari isi suratnya berhasil diterjemahkan.

Di salah satu suratnya Sisingamaraja tertulis, “Saya Tuan Sisingamangaraja yang memerintah di Bakkara.Surat ini memakai stempel berhuruf Arab dan Mandailing,” tutur peneliti University of Hawaii Amerika Serikat Uli (Ulrich) Kozok dalam acara ceramah ilmiah Surat-surat Sisingamaraja XII di Universitas Negeri Medan (Unimed), Kamis (27/11).

Dari penelitian Uli, surat-surat Sisingamaraja XII tidak ditulis langsung oleh Sisingamangaraja, melainkan disalin oleh dua juru tulisnya yakni Herman Silaban dan Manase Simorangkir . Begitupun dengan stempel atau cap surat. Menurutnya stempel surat Sisingamaraja dibuat oleh orang dekat nya dan dikerjakan di Batak.

Pemakaian aksara Arab dan Mandailing terjadi lantaran pengaruh kolonial ketika itu. Pemerintah kolonial, katanya, melarang penyebaran Kristen ke Silindung, Tapanuli Utara. Sebelum masuk ke daerah itu, misionaris Jerman Ingwer Ludwig Nommensen berada di Sipirok selama dua tahun.

Aksara Mandailing ini, banyak digunakan oleh zending dalam surat menyuratnya ataupun dalam laporan tahunannya yang beraksara Batak. Huruf Arab berada di bagian pinggir stempel melingkari stempel. Adapun huruf mandailing dipakai di bagian dalam stempel.

Stempel dalam surat ini tidak mengindikasikan Sisingamaraja beragama Islam. Penggunaan huruf Arab lantaran kedekatan Sisingamaraja dengan Kerajaan Aceh yang saat itu sudah fasih berbahasa dan menulis Arab. Sisingamaraja memeluk agama asli Batak. Agama yang saya maksud bukan Parmalim karena, ini (Parmalim) merupakan organisasi yang religius yang belakangan terbentuk setelah ada sinkretisme Islam dan Kristen, tuturnya.

Sebagian besar naskah asli surat-surat Sisingamaraja kini masih tersimpan di Belanda dan Jerman. Dari catatan Uli, salah satu tempat yang menyimpan naskah surat ini berada di Berlin Jerman. Di tempat ini ada sekitar 50 naskah asli. Namun kini, masyarakat bisa mengaksesnya secara digital di Museum Negeri Sumatera Utara di Medan.

DIKUTIP DARI WWW.KOMPAS.COM





Minggu, April 12, 2009 | 0 komentar

MANGASIK TOBA (Sumatera Utara)

Written By napitupulusipakko on Sabtu, April 11, 2009 | Sabtu, April 11, 2009


Bahan Bahan :

2 kg ikan gabus/mas cuci bersih, ambil insangnya biarkan utuh
4 batang sereh dimemarkan
100 gram bawang batak (lokio), bersihkan dimemarkan
2 sendok teh asam jawa, dilarutkan dalam 500cc air
BUMBU HALUS :
100 gram cabai merah
15 cm kunyit
15 cm jahe
10 butir kemiri
2 sendok teh andaliman ( sejenis daun )
Garam secukupnya
10 butir bawang merah
8 siung bawang putih

CARA MEMASAK :
Campur ikan bersama bumbu yang sudah dihaluskan sampau rata,
kemudian masukkan kedalam panci berturut turut, ikan yang sudah dibumbui,
serai, bawang batak, air asam jawa.
Setelah itu jerangkan diatas api sambil sesekali diaduk, masak sampai
matang dan airnya mengering, angkat.

Sumber : www.selera-kita.nl




Sabtu, April 11, 2009 | 0 komentar

Keturunan Langsung Raja Sisingamangaraja 12

Written By napitupulusipakko on Jumat, April 10, 2009 | Jumat, April 10, 2009

Keturunan Langsung Raja Sisingamangaraja 12 Mengatakan Bahwa Tradisi Batu Mengalami Pergeseran Fungsi Dan Nilai Di Batak Toba


19 Juli 2008 (KATAKAMI) Tradisi batu yang pernah berkembang di Batak Toba mengalami pergeseran fungsi dan nilai. Sebagian masyarakat masih melakukan ritual budaya terkait dengan batu untuk mengatasi persoalan hidupnya. Ratusan tahun silam tradisi batu ini berkembang sebagai bagian dari budaya Toba.


Sekarang sudah tidak ada lagi orang membuat batu untuk keperluan tradisi. Namun batu kuno peninggalan sejarah masih dijaga untuk kepentingan lain, salah satunya, tutur cicit dari Sisingamangaraja ke-12 Raja Tonggo Tua Sinambela, Kamis (17/7/2008), di akhir acara Save The Tao.

Tonggo mengatakan tradisi batu yang masih tersisa di Batak Toba salah satunya ada di daerah Sagala, Kabupaten Samosir. Di daerah itu warga masih melakukan ritual di Batu Hobon yang dinilai sebagai batu peninggalan Raja Uti (cucu pertama Raja Batak-Red).

Raja Uti pernah menyimpan sesuatu di batu ini yang kini belum pernah diketahui isinya.

Masyarakat tidak pernah bisa membukanya. Masyarakat masih melakukan ritual dengan meminta pertolongan pada Batu Hobonatas persoalan yang dihadapinya. Raja Uti juga disebut sebagai perantara berkah bagi orang Batak.

Ritual batu juga masih berkembang ada di Bakkara, Kecamatan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Di tempat itu ada batu terkenal yang bernama Siungkap-ungkapon. Batu yang berbentuk mirip sumur itu pada Si Singamangaraja menjalankan pemerintahan tradisional.

Sekarang masyarakat masih memberikan sesembahan di batu itu. Mereka berharap keberuntungan kepada batu itu dengan doa-doa, katanya. Tonggo mengakui adanya pergeseran menganggap batu zaman sekarang. Contohnya, kata Tonggo, batu Siungkap-ungkapon dipakai untuk berperang. Batu itu bisa menghancurkan kekuatan lawan secara magis.

Banyak Mati

Dia mengatakan banyak tradisi batu yang sudah lama mati. Kini tidak ada lagi orang Batak yang membuat sarkofagus (wadah kubur dari batu) secara kreatif. Tradisi mengolah batu untuk kepentingan sehari-hari tidak berkembang lagi. “Padahal di Danau Toba banyak menyimpan aneka batu bagus, ” katanya.

Peneliti Balai Arkeologi Medan Taufikurrahman Setiawan mengatakan secara umum batu kuno bernilai sejarah masih terjaga baik. Sejumlah daerah yang masih menyimpan batu kuno bersejarah dengan baik di antaranya ada di Sialagan dan Simanindo, Kecamatan Simanindo, Samosir.
Di Sialagan batu tempat persidangan raja masih bisa dilihat bentuk aslinya. Wisatawan bisa menikmati dengan baik tempat ini. Tidak jauh dari tempat ini, aneka kursi batu yang juga tempat persidangan juga masih terjaga. Penduduk sekitar hafal cerita sejarah tempat itu.

Senada dengan Tonggo, tradisi batu mengalami pergeseran besar kawasan Danau Toba. Masyarakat, tutur Taufikurrahman, memandangnya sebagai benda bernilai wisata.

Berbeda dengan Nias, tradisi batu masih berkembang kental. Ada pembuatan batu seperti daro-daro (meja batu) di Nias Selatan. Mandegnya tradisi batu, katanya, salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan agama. (kcm)

Jumat, April 10, 2009 | 0 komentar

Teman seperjalanan

Written By napitupulusipakko on Kamis, April 09, 2009 | Kamis, April 09, 2009

Seorang laki-laki gembira sekali waktu mau duduk di pesawat. Yang duduk di sampingnya seorang gadis yang manis, ada teman ngobrol nich, pikirnya. Tapi setelah beberapa lama ternyata si gadis kerjanya baca mulu. Untuk memecah es… si laki-laki nanya: “Mau ujian nich… kok baca terus…” “Bukan.. saya lagi penelitian,” jawab si gadis.

“Penelitian mengenai apa?” tanya si laki-laki lagi.

“Mengenai hubungan etnis dengan bentuk alat vital laki-laki…” jawab si gadis dengan tenangnya.

Dengan penasaran si laki-laki bertanya kembali, “Apakah sudah ada hasilnya?”

“Sudah sih… Menurut hasil penelitian saya ternyata kepunyaan laki-laki Bali bentuknya paling bagus… mungkin ada hubungannya dengan kepandaian mereka dalam memahat.” kemudian si gadis sebentar terdiam. “Kepunyaan laki-laki Batak… paling besar… mungkin terpengaruh oleh kebiasaan mereka bicara selalu keras sehingga darah lebih cepat mengalir ke daerah itu.” lanjutnya membuat si laki-laki makin penasaran.

“Punya laki-laki Sunda paling panjang… mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan mereka memakai sarung.” si gadis seperti sampai pada kesimpulan pembicarannya. “Eh, ngomong-ngomong kita belum kenalan nih…” “Oh iya…” si gadis sedikit tersenyum. “Nama saya Lisa.. kalau mas siapa?” “Ehmmm… nama saya… I GEDE CECEP SITUMORANG.”



Kamis, April 09, 2009 | 1 komentar

Lima Bagian Etnis Batak

Written By napitupulusipakko on Rabu, April 08, 2009 | Rabu, April 08, 2009

Wilayah Tanah Batak atau “Tano Batak” ialah daerah hunian sekeliling Danau Toba, Sumatera Utara. Seandainya tidak mengikuti
pembagian daerah oleh Belanda (politik devide et impera) seperti sekarang, Tanah Batak konon masih sampai di Aceh Selatan dan
Aceh Tenggara.

Dalam buku Aneka Ragam Budaya Batak (Seri Dolok Pusuk Buhit-10) terbitan Yayasan Binabudaya Nusantara Taotoba Nusabudaya disebutkan,
sub etnis Batak bukan hanya lima, akan tetapi sesungguhnya ada sebelas.

Lima yang sering disebut adalah:

  1. Batak Toba (Tapanuli) mendiami Kabupaten Toba, Samosir, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah menggunakan bahasa Batak Toba.
  2. Batak Simalungun mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan menggunakan bahasa Batak Simalungun.
  3. Batak Karo mendiami Kabupaten Karo, Langkat, dan sebagian Aceh dan menggunakan bahasa Batak Karo.
  4. Batak Mandailing mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi dan menggunakan Bahasa Batak Mandailing.
  5. Batak Pakpak mendiami Kabupaten Dairi dan Aceh Selatan dan menggunakan Bahasa Pakpak.
Sumber: Suara Pembaruan,



Rabu, April 08, 2009 | 0 komentar

Cerita Orang Batak Ttg kondisi Negra

Written By napitupulusipakko on Selasa, April 07, 2009 | Selasa, April 07, 2009

Gara-gara BBM NAEK!

Tambah banyak SIHOTANG

Karena PANDAPOTAN terus MANURUNG!

SAGALA Mahal

TAMBUNAN kehidupan berat sekali

SIAMANJORANG miskin dan kaya makin BARASA

Tipislah HARAHAP


Rakyat miskin sudah PANGARIBUAN

Anak-anak nangis MARPAUNG-PAUNG

Otak sudah SITOMPUL

Tapi masih diminta Sabar SITORUS!


Keadaan makin GINTING

Kepala pusing ber BUTAR-BUTAR

Rambut nyaris POLTAK

Sementara ada orang yang SIBARANI TAMBUNAN Minyak

Belum lagi orang masih banyak SIDEBANG hutan

Penyelundupan marak tak lewat PANGGABEAN


Apa karena keSILABAN Pemimpin Kita?

Sehingga berani SIMORANGKIR janjinya?

Tapi jangan SEMBIRING Menuduh?

Mungkin karena kurang HUTAGAOL?

Atau karena tekanan si HUTABARAT?


Oleh karena itu

Kita jangan saling SILALAHI satu satu sama lain

Saling berNAINGGOLAN sesama anak bangsa

Atau saling berOLOAN-OLOAN antar Kita!

Atau berSITANGGANG dengan sesama

Saudara!

Kita harus SIADARI

Bangsa ini ada di pinggir TOBING

POHAN-POHAN banyak ditebangin

Membuat hutan-hutan Kita GIRSANG

BATUBARA Kita diambilin…

PULUNGAN Trilyun ilang dilaut.

Kita butuh pemimpin yang Punya fikiran SIREGAR !

Kita harus PARAPAT Barisan !

Kita harus SIAGIAN!


Karena itu

Kita harus PANJAITAN Doa

Minta PARLINDUNGAN Tuhan

Agar selamat dan hidup ARITONANG


Jangan Kita SIAHAAN-SIAHAAN kesempatan

Kita harus ber SITINJAK dari sekarang!!!

Jangan hiraukan kata-kata SITUMORANG-SITUMORANG!

Kita harus jadi bangsa yang TOGAR

Kita harus jadi bangsa yang SIBARANI !

SIMANGUNSONG masa depan

KABAN???

BUTEET DAH !!

Jadi KeSITOMPULANnya

HORAS BAH (Tidak Ada BeRAS makan gaBAH!)

S usah B ensin Y aa J alan K aki ….!




Selasa, April 07, 2009 | 0 komentar

Peran Perempuan Batak Sebagai Lokomotif Perubahan

Written By napitupulusipakko on Senin, April 06, 2009 | Senin, April 06, 2009


abarIndonesia - Sosok seorang perempuan Batak, boru Simangunsong menempuh jarak 25 Km dari Huta Gala-gala menuju kota Balige hanya untuk menjual “sapalatik karupuk” (satu plastik kerupuk) buatan sendiri terbuat dari gadong sirio.

Peran perempuan dalam sejarah Indonesia telah mendapat tempat yang layak. Untuk mengenang perempuan-perempuan tersebut, telah ditetapkan 21 April sebagai hari Kartini, tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Semuanya untuk menghormati perempuan.

Perempuan berasal dari kata puan, yang berarti mulia, yang harus dihormati. Itu sebabnya konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Convention on The Elimitationof all Froms of Distriminination Agarnst Womwn (CEDAM) melalui undang-undang nomor 7 tahun 1984.

Adalah deklarasi internasional yang berkaitan dengan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan (Kompas, 26/2/01). Perempuan harus dihormati. Sebab, perempuan ialah lokomotif perubahan. Sejak dulu sudah terpatri pada perempuan Indonesia. Contonya, siapa tidak kenal Kartini, perempuan pejuang emansipasi, meninggal saat melahirkan anak pertama. Dewi Sartika, pelopor masalah pendidikan. Lalu, Martha Cristina Tiahahu adalah anak Paulus Tiahahu, seorang kapitan yang juga pembantu Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) sebagai ciri khasnya. Di Sumatera Barat ada Siti Roehana Koeddoes, pendiri koran perempuan pertama, bernama Soenting Melajoe (1912-1921). Ada juga Maria Maramis 1019 mendirikan organisasi Kecintan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) mendirikan sekolah-sekolah di Selawesi, Kalimatan, Sumatera, Jawa. Tidak ketinggalan dari tanah Batak, Lopian putri Sisingamangara XII wafat saat membantu ayahnya melawan penjajah. Lopian meninggal karena membela perjuangan Raja Si Singamangaraja XII, tanggal 17 Juni 1907. Lopian, srikandi sejati, meninggal diberondong peluru di kaki gunung Sitopangan.

Itu jaman dulu. Sekarang apakah ada perempuan Batak yang hebat? Ada banyak perempuan Batak yang hebat seperti Miranda Goeltom, Elvira Rosa Nasution atau Rosiana Silalahi, Dewi Lestari Simangunsong (Dee). Mereka adalah perempuan tangguh di bidangnya. Miranda dikenal perempuan Batak pertama menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Elvira, perenang tangguh. Rosianna Silalahi, Pemimpin Redaksi salah satu televisi swasta yang sukses. Dan masih perempuan Batak yang tidak pernah diekpos. Tetapi kita tidak bisa menutup mata terhadap perempuan Batak atas perjuangan mereka sebagai tulang punggung keluarga. Berjuang untuk sesuap nasi. Di Huta Galagala, Balige, seorang inang (ibu) perempuan Batak harus berjalan kaki sepanjang 25 km untuk menjual kerupuk.

Ini adalah kenyataan yang memiris hati. Perempuan yang ulet dan tahan banting. Bekerja untuk membantu suami mencari kebutuhan sehari-hari. Ibu sembilan anak tersebut harus membiayai studi anaknya tiga orang yang sedang sekolah. Sementara biaya studi anaknya sebesar Rp. 270 ribu per bulan tidak bisa menutupi biaya tersebut dari pendapatannya.

Di Tanjung Priok, Raida Tampubolon, menjadi kuli panggul, pekerjaan yang biasa dilakoni laki-laki. Berat badannya hanya 40 kilogram, namun terbiasa manuhuk (memundak) barang hingga 70 kilogram. Sesuatu yang luar biasa. Perempuan 41 tahun asal Sidikalang ini, bekerja sebagai kuli panggul dengan penghasilan Rp 30 ribu sehari. Sebab tidak ada pilihan lain. Raida tinggal di tanah garapan Tanah Merah Plumpang, Jakarta Utara. Di gubuk itulah dia tinggal bersama lima anaknya dan suaminya, Gani Hutagaol, yang bekerja sebagai sopir tembak Metromini.

Di kawasan Terminal Bus Pulo Gadung, Jakarta Timur, ada banyak inang-inang Batak berprofesi sebagai penukar uang. Lumayan menguntungkan saat memasuki Ramadan (puasa) dan menyambut Idul Fitri. Biasanya, uang Rp 50.000 ditukar uang pecahan menjadi Rp 45.000. Begitu juga dengan uang Rp 100.000 ditukar uang pecahan ribuan, lima ribuan maupun puluhan ribuan menjadi Rp 90.000. Dan berlangsung hingga menjelang Idul Fitri. Meski di awal hingga pertengahan puasa harga penukaran uang seperti hari biasa yaitu mengambil keuntungan 10 persen. Biasanya H-7 menjelang Idul Fitri keuntungan mereka meningkat. Bukan hanya, Boru Simangunsung, Raida, inang-inang penukar uang pecahan, boru Batak yang bekerja seperti itu. Masih banyak kuli panggul dan parrengge-rengge, misalnya, di pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Tiap hari banyak perempuan Batak, tukang pinggul, parrengge-renggre (pedagang), pengumpul sayuran bekas untuk dijual kembali. Benar-benar boru Batak bukan perempuan biasa.


Lokomotif Perubahan

Membaca kisah di atas, para perempuan di jaman sebelum merdeka, perempuan bukan melulu di balik layar. Mereka adalah lokomotif perubahan. Para perempuan menggugah nasibnya sendiri. Perempuan Batak, dalam konteks daerah mempunyai banyak prestasi dalam membangun Bona Pasogit lewat berjuang untuk kemajuan daerahnya. Salah satuanya dalah demo inang-inang dalam menutup PT Indorayan di Sosor Ladang, Porsea.

Kemajuan perempuan Batak akan menjadi salah indikator kemajuan Bona Pasogit. Selama ini perempauan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, sedang laki-laki terlalu banyak marnonang (berceita) di Lapo. Perempuan yang mengambil peran yang banyak. Perempuan adalah lokomotif perubahan, menggugah nasib lewat anak-anak mereka. Sebab anak lebih banyak dipengaruhi oleh perempuan. Itu sebabnya kemajuan salah satu bangsa ditentukan peran dari perempuan itu sendiri. Maka tak berlebihan jika dalam politik kuota keterwakilan perempuan disediakan 30%. Ini akan menjadi pondasi politik Indonesia. Menempatkan perempuan sebagai aset bukan lagi objek. Maka ada pameo mengatakan, mendidik satu orang laki-laki mendidik satu individu, mendidik satu orang perempuan mendidik satu generasi.

Konon Chairil Anwar, Pujangga 45 itu, banyak menulis puisi tentang perempuan, sebagai bakti dan kenangannya terhadap perempuan. Puisinya diinspirasi dari pengalamannya melihat daya juang perempauan. Misalnya, puisinya berjudul “Nisan” ditulis tahun 1943. Puisi ini dibuat untuk mengenang neneknya. Demikian pula Pramoedya Ananta Toer dalam karya-karyanya pun konsisten menggambarkan perjuangan perempuan dalam melawan kekuasaan kolonialisme dan feodalisme yang menjadi penyebab ketertindasan ekonomi, sosial, politik, dan kemanusiaan.

Meskipun Budaya Batak menganut Patrilinear, mengikuti garis keturunan laki-laki. Namun ada perumpamaan yang melawan anggapan perempuan tidak mendapat ruang pada kesamaan hak. “Tinallik randorung, sai bontar gotana, dos do anak dohot boru” (sama anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama). Perumpamaan tadi diteguhkan perumpamaan yang lain "Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru" yang berarti kedudukan anak perempuan dan laki-laki adalah sama. Maka, perempuan Batak majulah terus, jangan goyah. Tunjukkan peranmu sebagai lokomotif. Lokomotif yang mampu mendorong dan menarik gerbong-gerbong yang macet.***

*)Penulis adalah wartawan media budaya Batak, dan pemerhati masalah Bona Pasogit.

Oleh : Hotman Jonathan Lumbangaol



Senin, April 06, 2009 | 0 komentar

Peninggalan Kehidupan Orang Batak

Written By napitupulusipakko on Minggu, April 05, 2009 | Minggu, April 05, 2009


Menyusuri jalan lingkar dalam Pulau Samosir dan jalan lintas Sumatera di kawasan Tapanuli, ratusan bangunan tambak, makam keluarga Batak, berserak di pinggir jalan. Aneka ragam desain bermunculan seolah bersaing menjadi yang paling indah.

Bentuk makam itu beraneka ragam, dari tugu dengan patung-patungnya, kapal, pagoda, miniatur gereja, hingga vila. Banyak yang tampak sangat megah dan unik, bahkan bisa menjadi penanda (landmark) sebuah kawasan.

Bangunan-bangunan dari semen indah dan megah itu baru muncul pada paruh abad ke-20. Sebelumnya, makam asli keluarga Batak cukup ditandai dengan pohon (hariara) yang kebanyakan berupa pohon beringin. Makam sendiri berupa tanah yang ditinggikan atau peti batu yang digeletakkan di dataran. Orang bahkan banyak yang sudah lupa bahwa istilah makam Batak yang asli adalah tambak. Banyak orang menyebut makam Batak kini sebagai tugu karena saking banyaknya makam yang berbentuk tugu.

Menurut Amudi Pasaribu dalam tulisannya berjudul ”Pembangunan Tugu Dipandang dari Segi Sosial-Ekonomi”, pembangunan tugu makam secara besar-besaran mulai terjadi pada dasawarsa 1955-1965 di bona pasogit (kampung halaman orang Batak). Para perantau menjadi penyumbang terbesar pembangunan tugu.

Beringin besar

Meskipun demikian, pohon-pohon beringin besar masih bisa ditemukan di banyak kawasan di Humbang Hasundutan. Hampir bisa dipastikan, pohon beringin di Humbang Hasundutan adalah tambak keluarga.

W Silaban (66), warga Desa Dolok Marbu, Kecamatan Lintong Nihuta, Humbang Hasundutan, mengatakan, makam keluarga Silaban yang berada persis di samping rumahnya berisi ratusan jenazah. Makam dengan pohon beringin yang sangat besar itu dipagar seluas sekitar 6 x 6 meter.

Umur tambak keluarga itu juga ratusan tahun. ”Saya saja sudah Silaban nomor sembilan, tambak itu ada sejak Silaban nomor satu,” tutur dia.

Warga percaya, jika pohon semakin besar dan rindang dengan cabang yang banyak, keturunan keluarga itu dipercaya berhasil di masyarakat. ”Jika pohon justru mati atau tak banyak berdaun, keluarga besar itu pun tak banyak berguna di masyarakat,” tutur Marandut Manulang (42), warga Doloksanggul, Humbang Hasundutan.

Sri Hartini, dalam disertasinya yang berjudul ”Kajian Bentuk dan Makna Tambak pada Masyarakat Batak Toba” membagi makam keluarga Batak Toba dalam tiga tipe. Pertama, tambak dari tanah yang ditinggikan yang biasanya ditanami pohon kosmis (biasanya pohon beringin) atau ditancapi tanduk kerbau.

Tambak kedua adalah makam dari batu alam utuh berbentuk segi empat panjang yang disebut batu sada, parholian, atau sarkofagus. Tambak model ini merupakan peninggalan tradisi megalit sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Hanya kaum bangsawan yang diduga mampu membuat kubur batu mengingat butuh banyak tenaga untuk memindahkan dan membuatnya.

Dan, tambak ketiga adalah tambak dari semen atau campuran pasir, bata, dan semen yang disebut Sri Hartini sebagai tambak modern. Berdasarkan penelitiannya di wilayah bona pasogit, Sri membagi tambak modern menjadi 13 kelompok berdasarkan bentuk bangunan. ”Orang Batak sangat adaptif dalam membuat bentuk bangunan,” tutur Sri.

Tiga model pemakaman itu bisa dilihat sekaligus salah satunya di Huta (Kampung) Sialagan di Pulau Samosir. Kampung kecil milik keluarga Sialagan itu juga menjadi daerah tujuan wisata Pulau Samosir.

Di sudut kampung tumbuh sebuah pohon beringin besar. Di bawah pohon terdapat sarkofagus batu dan tambak semen persegi berisi tulang belulang marga Sialagan. Ratusan orang dikubur dalam tambak itu. ”Umurnya kira-kira 600 tahun,” kata Wesley Guntur Sialagan (60), generasi ke-19 marga Sialagan.

Wesley meyakini tradisi pemakaman Batak sangat erat dengan tradisi Hindu. Saat melakukan penggalian untuk membangun pagar tembok batu di dalam kampung itu, pensiunan pegawai bank pemerintah itu menemukan abu dalam pinggan pasu (piring) porselen. Penemuan abu yang ia duga sebagai abu jenazah leluhurnya itu menunjukkan bahwa ada tradisi pembakaran mayat seperti tradisi Hindu Bali. ”Ini memang dugaan yang butuh pembuktian,” kata Wesley. Abu leluhurnya itu kini ia makamkan dalam tambak di Sialagan.

Keputusan untuk memasukkan anggota keluarga yang meninggal dalam tambak biasanya dilakukan dengan rapat adat.

Ada dua jenis pemakaman adat Batak. Pertama, penguburan langsung ke tanah sesaat setelah kematian, terutama bagi orang yang mati muda.

Yang kedua adalah penguburan jenazah ke tanah, yang dilanjutkan penguburan tulang belulang beberapa tahun kemudian setelah proses pembusukan terjadi. Proses pemakaman kedua ini disebut mangokal holi.

Mangongkal holi ini butuh dana besar. Hotber Sialagan (52), keturunan marga Sialagan nomor 16, hingga kini masih mengumpulkan dana untuk mangongkal holi kedua orangtuanya yang meninggal 10 tahun lalu.

Kini banyak warga Batak menyatukan proses pembusukan dan pemakaman tulang dalam satu tambak. Bagian bawah tambak menjadi makam tempat pembusukan, bagian atas tempat disemayamkan tulang-tulang.

Bagi orang Batak tak ada tambak yang menakutkan. Leluhur yang jasadnya masuk ke tambak adalah orang-orang yang justru jiwanya akan membantu mereka yang hidup.

Tambak menjadi representasi sebuah marga atau keluarga besar. ”Orang bisa membangun tambak sendiri jika ia mampu,” kata Hotber. (WSI)

Sumber kompas



Minggu, April 05, 2009 | 0 komentar

Sejarah Batak Permulaan Generasi Pertama Manusia

Written By napitupulusipakko on Sabtu, April 04, 2009 | Sabtu, April 04, 2009

Tersebutlah dalam kitab-kitab suci bangsa Timur Tengah bahwa Adam, yang dianggap sebagai manusia pertama dan Nabi pertama, mulai mengembangkan generasinya bersama Siti Hawa, Nenek Moyang Manusia yang ditemukan kembali setelah didamparkan di daerah India dari Surga.

Generasi berikutnya mulai melahirkan beberapa kelompok Bangsa. Bangsa Semetik kemudian menurunkan Bangsa Arab dan Israel yang selalu berperang. Khabarnya perpecahan kedua bangsa ini dimulai sejak Nabi Ibrahim. Bangsa Syam yang kemudian dikenal sebagai ras Aryan, menurunkan Bangsa Yunani dan Roma yang menjadi cikal bakal Eropa (Hitler merupakan tokoh ras ini yang ingin memurnikan bangsa Aryan di samping Bangsa Braminik yang chauvinistik dan menjadi penguasa kasta tinggi di agama Hindu), Nordik, Patan, Kaukasian, Slavia, Persia (Iran) dan India Utara (semisal Punjabi, Kashmir dan Gujarat) berkulit putih serta bule-bule lain sebangsanya.

Bangsa Negroid menurunkan bangsa Afrika dan beberapa bangsa berkulit hitam lainnya di dunia seperti Bangsa Dravidian (India berkulit Hitam), Papua, Samoa, Aborigin di Autralia, Asmat dan bangsa lain yang hidup di kepulauan Polinesia, Samudera Pasifik.

Bangsa Tatar menurunkan Ras Mongoloid yang terdiri dari bangsa Mongol; Cina, Korea, Uzbek, Tazik, Kazakh, Kazan di Rusia, bangsa Nomad penghuni Kutub Utara dan Selatan bermata cipit, Hokkian yang menjadi Konglomerat dan Mafia di Indonesia serta Bangsa Maya, Suku Indian dan lain sebagainya yang menjadi penduduk asli benua Amerika dan yang kedua; Ras Austronesia, yang menyebar di Madagaskar, Afrika, Batak; Proto Malayan dan Neo Malayan; Melayu, Jawa dan lain-lain.

Penyebaran populasi manusia terjadi paska “Tsunami” pertama atau dikenal sebagai Banjir Bah di jaman Nabi Nuh AS. Di jaman ini pula ada sebuah komunitas manusia yang konon mempunyai tinggi badan 15-30 meter punah ditelan banjir karena kesombongannya. Peneliti antropologi Amerika di awal abad 20 menemukan kembali bangsa ini di pedalaman Afrika, namun lokasinya dirahasiakan oleh pihak militer yang tertarik untuk mengambil sampel komunitas ini untuk rekayasa gen tentara AS. Penelitian juga diarahkan untuk menghidupkan kembali Bangsa Dinosaurus, sejenis binatang purba, yang juga mati tenggelam karena tidak sempat dan tidak ‘muat’ dimasukkan di kapal Nabi Nuh.

3000-1000 SM (Sebelum masehi)

Bangsa Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok Bangsa Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur, Mizoram. Tiga yang terakhir ini sekarang berwarga negara India. Adat istiadat mereka dan aksesoris pakaian yang dimiliki sampai sekarang masih mirp dengan pakaian Batak, misalnya pernik dan warna ulos.

Sifat dominan dari ras ini adalah kebiasaan hidup dalam Splendid Isolation di lembah lembah sungai dan di puncak-puncak pegunungan. Mereka sangat jarang membuat kontak bersifat permanen dengan pendatang yang berasal dari komunitas lainnya misalnya komunitas yang berada di tepi pantai, pesisir, yang saat itu banyak dipengaruhi oleh ideologi yang berbeda dengan mereka, misalnya Hinduisme (Yang disinyalir sebagai ajaran turunan dari agama Nabi Nuh AS), Zoroaster, Animisme gaya Yunani dan Romawi dan juga paham-paham baru seperti Buddha, Tao dan Shintoisme

Sifat tersebut masih membekas dan terus dipertahankan oleh orang-orang Batak hingga abad 19. Sampai saat ini, diperkirakan suku bangsa yang berasal dari ras ini masih mempertahankan kebiasaan ini, terutama Bangsa Tayal, bangsa pribumi di Taiwan, Orang-orang Bontoc dan batak Palawan penghuni pertama daerah Filipina.

1000 SM

Bangsa Mongol yang dikenal bengis dan mempunyai kemajuan teknologi yang lebih tinggi berkat hubungan mereka yang konsisten dengan berbagai bangsa mulai bergerak ke arah selatan. Di sana, keturunan mereka menyebut dirinya Bangsa Syan dan kemudian menciptakan komunitas Burma, Siam (Thai) dan Kamboja yang kemudian menjadi cikal-bakal negara.

Ras Proto Malayan mulai terdesak. Ketertutupan mereka menjadi bumerang karena teknologi mereka tidak up to date. Sebagian dari mereka kemudian mulai meninggalkan daerah-daerah tersebut, menempuh perjalanan untuk mencari daerah baru bahkan ke seberang lautan, di mana mereka akan menikmati hidup dalam ‘splendid isolation’ kembali.

Bangsa Bontoc bergerak ke daerah Filipina, Bangsa Toraja ke selatannya, Sulawesi. Di Filipina, Batak Palawan merupakan sebuah suku yang sampai sekarang menggunaka istilah Batak. Saudara mereka bangsa Tayal membuka daerah di kepulauan Formosa, yang kemudian, beberapa abad setelah itu, daerah mereka diserobot dan kedamaian hidup mereka terusak oleh orang-orang Cina nasionalis yang kemudian menamakannya Taiwan.

Yang lain, Bangsa Ranau terdampar di Lampung. Bangsa Karen tidak sempat mempersiapkan diri untuk migrasi, mereka tertinggal di hutan belantara Burma/Myanmar dan sampai sekarang masih melakukan pemberontakan atas dominasi Suku Burma atau Myamar yang memerintah.

Selebihnya, Bangsa Meo berhasil mempertahankan eksistensinya di Thailand. Bangsa Naga, Manipur, Mizo, Assamese mendirikan negara-negara bagian di India dan setiap tahun mereka harus berjuang dan berperang untuk mempertahankan identitas mereka dari supremasi bangsa Arya-Dravidian, yakni Bangsa India, yang mulai menduduki daerah tersebut karena over populasi.
Bangsa Batak sendiri, selain terdampar di Filipina, sebagian terdampat di kepulauan Andaman (sekarang merupakan bagian dari India) dan Andalas dalam tiga gelombang.

Yang pertama mendarat di Nias, Mentawai, Siberut dan sampai ke Pulau Enggano. Gelombang kedua terdampar di muara Sungai Simpang. Mereka kemudian bergerak memasuki pedalaman Pulau Andalas menyusuri sungai Simpang Kiri dan mulai mendirikan tempat di Kotacane. Komunitas ini berkembang dan membuat identitas sendiri yang bernama Batak Gayo. Mereka yang menyusuri Sungai Simpang Kanan membentuk Komunitas Batak Alas dan Pakpak. Batak Gayo dan Alas kemudian dimasukkan Belanda ke peta Aceh.

Mainstream dari Suku bangsa Batak mendarat di Muara Sungai Sorkam. Mereka kemudian bergerak ke pedalaman, perbukitan. Melewati Pakkat, Dolok Sanggul, dan dataran tinggi Tele mencapai Pantai Barat Danau Toba. Mereka kemudian mendirikan perkampungan pertama di Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong Mulana di seberang kota Pangururan yang sekarang. Mitos Pusuk Buhit pun tercipta.

Masih dalam budaya ‘splendid isolation’, di sini, Bangsa Batak dapat berkembang dengan damai sesuai dengan kodratnya. Komunitas ini kemudian terbagi dalam dua kubu. Pertama Tatea Bulan yang dianggap secara adat sebagai kubu tertua dan yang kedua; Kubu Isumbaon yang di dalam adat dianggap yang bungsu.

Sementara itu komunitas awal Bangsa Batak, jumlahnya sangat kecil, yang hijrah dan migrasi jauh sebelumnya, mulai menyadari kelemahan budayanya dan mengolah hasil-hasil hutan dan melakukan kontak dagang dengan Bangsa Arab, Yunani dan Romawi kuno melalui pelabuhan Barus. Di Mesir hasil produksi mereka, kapur Barus, digunakan sebagai bahan dasar pengawetan mumi, Raja-raja tuhan Fir’aun yang sudah meninggal. Tentunya di masa inilah hidup seorang pembawa agama yang dikenal sebagai Nabi Musa AS.

1000 SM – 1510 M

Komunitas Batak berkembang dan struktur masyarakat berfungsi. Persaingan dan Kerjasama menciptakan sebuah pemerintahan yang berkuasa mengatur dan menetapkan sistem adat.

Ratusan tahun sebelum lahirnya Nabi Isa Al Masih, Nabi Bangsa Israel di Tanah Palestina, Dinasti Sori Mangaraja telah berkuasa dan menciptakan tatanan bangsa yang maju selama 90 generasi di Sianjur Sagala Limbong Mulana.

Dinasti tersebut bersama menteri-menterinya yang sebagian besar adalah Datu, Magician, mengatur pemerintahan atas seluruh Bangsa Batak, di daerah tersebut, dalam sebuah pemerintahan berbentuk Teokrasi.

Dinasti Sorimangaraja terdiri dari orang-orang bermarga Sagala cabang Tatea Bulan. Mereka sangat disegani oleh Bangsa Batak di bagian selatan yang keturunan dari Tatea Bulan.

Dengan bertambahnya penduduk, maka berkurang pula lahan yang digunakan untuk pertanian, yang menjadi sumber makanan untuk mempertahankan regenerasi. Maka perpindahan terpaksa dilakukan untuk mencari lokasi baru. Alasan lain dari perpindahan tersebut adalah karena para tenaga medis kerajaan gagal membasmi penyakit menular yang sudah menjangkiti penduduk sampai menjadi epidemik yang parah.

Perpindahan diarahkan ke segala arah, sebagain membuka pemukiman baru di daerah hutan belukar di arah selatan yang kemudian bernama Rao, sekarang di Sumatera Barat. Beberapa kelompok di antaranya turun ke arah timur, menetap dan membuka tanah, sekarang dikenal sebagai Tanjung Morawa, daerah di pinggir Kota Medan.

450 M

Daerah Toba telah diolah dan dikelola secara luas oleh rakyat kerajaan tersebut. Mereka yang dominan terutama dari kubu Isumbaon, kelompok marga Si Bagot Ni Pohan, leluhur Annisa Pohan, menantu SBY, Presiden pilihan langsung pertama RI. Di daerah ini bermukim juga kaum Tatea Bulan yang membentuk kelompok minoritas terutama dari marga Lubis.

Sebagian dari Lubis terdesak ke luar Toba dan merantau ke selatan. Sebagain lagi menetap di Toba dan Uluan hingga kini. Keturunannya di Medan mendirikan banyak lembaga sosial terutama Pesantren Modern Darul Arafah di Pinggiran Kota Medan.

Di daerah Selatan kelompok marga Lubis harus bertarung melawan orang-orang Minang. Kalah. Perantauan berhenti dan mendirikan tanah Pekantan Dolok di Mandailing yang dikelilingi benteng pertahanan.

Mereka kemudian berhadapan dengan bangsa Lubu, Bangsa berkulit Hitam ras Dravidian yang terusir dari India, melalui Kepulauan Andaman berkelana sampai daerah muara Sungai Batang Toru. Bangsa Lobu tersingkir dan kemudian menetap di hutan-hutan sekitar Muara Sipongi. Bila di India Bangsa Arya meletakkan mereka sebagai bangsa terhina, ‘untouchable’; haram dilihat dan disentuh, maka nasib sama hampir menimpa mereka di sini. Saudara Bangsa Lubu, Bangsa Tamil migrasi beberapa abad kemudian, dari India Selatan, membonceng perusahaan-perusahaan Eropa dan membentuk Kampung Keling di Kerajaan Melayu Deli, Medan.

600-1200

Komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari Dinasti Batak, Dinasti Sori Mangaraja di pusat. Mereka mendirikan kerajaan Nagur. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur di tangan orang Batak Gayo mendirikan kerajaan Islam Aceh.

Simalungun merupsakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan marga tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak; Pohon Karet.

Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi bajak laut di Lautan Cina Selatan.

Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.

Di daerah pesisir Barat, Barus, kota maritim yang bertambah pesat yang sekarang masuk di Kerajaan Batak mulai didatangi pelaut-pelaut baru, terutama Cina, Pedagang Gujarat, Persia dan Arab. Pelaut-pelaut Romawi Kuno dan Yunani Kuno sudah digantikan oleh keturunan mereka pelaut-pelaut Eropa yang lebih canggih, dididikan Arab Spanyol. Islam mulai diterima sebagai kepercayaan resmi oleh sebagian elemen pedagang Bangsa Batak yang mengimpor bahan perhiasan dan alat-alat teknologi lainnya serta mengekpor ‘Kemenyan’ komoditas satu-satunya tanah Batak yang sangat diminati dunia.

Islam mulai dikenal dan diterima sebagai agama resmi orang-orang Batak di pesisir; khusunya Singkil dan Barus.

850 M

Kelompok Marga Harahap dari Kubu Tatea Bulan, bekas populasi Habinsaran bermigrasi massal ke arah Timur. Menetap di aliran sungai Kualu dan Barumun di Padang Lawas. Kelompok ini sangat hobbi berkuda sebagai kendaraan bermigrasi.

Karena ini, dalam jangka waktu yang singkat, sekitar dua tahun, mereka sudah menguasai hampir leuruh daerah Padang Lawas antara sungai Asahan dan Rokan. Sebuah daerah padang rumput yang justru sangat baik untuk mengembangbiakkan kuda-kuda mereka.

Sebagain dari kelompok marga ini, melalui Sipirok, menduduki daerah Angkola dan di sini tradisi mengembala dan menunggang kuda hilang, mereka kembali menjadi komunitas agraris. Sementara di Padang Lawas mereka menjadi penguasa feodalistik dan mulai emmeprkenalkan perdagangan budak ke Tanah Batak Selatan.

900 M

Marga Nasution mulai tebentuk di Mandailing. Beberapa ratus tahun sebelumnya, sejak tahun-tahun pertama masyarakat Batak di sini, disinyalir saat itu zaman Nabi Sulaiman di Timur Tengah (Buku Ompu Parlindungan), perbauran penduduk dengan pendatang sudah menjadi tradisi di beberapa tempat, khusunya yang di tepi pantai.

Penduduk dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu (dikenal dengan sebutan Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan terutama elemen-elemen bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah sebelum berlayar berdagang menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan penuh toleransi dengan bangsa Batak.

Para pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat Dalihan Natolu agar dapat mempersunting wanita-wanita setempat setelah puluhan tahun di tengah laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba, seorang yang disegani saat itu, menyatukan mereka; campuran penduduk peribumi dan pendatang tersebut, membentuk marga Nasution.

Sementara itu perebutan kekuasaan terjadi di Pusat Pemerintahan Kerajaan batak, martua Raja Doli dari Siangjur Sagala Limbong Mulana dengan pasukannya merebut wilayah Lottung di Samosir Timur. Percampuran keduanya membentuk kelompok Marga Lottung Si Sia Marina, yang terdiri atas; Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang, Aritonang dan Siregar.

1050 M

Karena minimnya peralatan medis, epidemik melanda daerah Lottung kembali. Masyarakat Lottung Si Sia Marina berhamburan ke luar dari wilayah tersebut menuju daerah yang “sehat”. Akibatnya, kelompok Marga Siregar terpecah dua menjadi Siregar Sigumpar dan Siregar Muara, keduanya bermukin di Toba.

1293 – 1339 M

Penetrasi orang-orang Hindu yang berkolaborasi dengan Bangsa Jawa mendirikan Kerajaan Silo, di Simalungun, dengan Raja Pertama Indra Warman dengan pasukan yang berasal dari Singosari. Pusat Pemerintah Agama ini berkedudukan di Dolok Sinumbah. Kerak direbut oleh orang-orang Batak dan di atasnya menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan Simalungun dengan identitas yang mulai terpisah dengan Batak. Kerajaan Silo ini terdiri dari dua level masyarakat; Para Elit yang terdiri dari kaum Priayi Jawa dan Masyarakat yang terdiri dari kelompok Marga Siregar Silo.

1331 – 1364

Di Nusantara, Kerajaan Majapahit timbul menjadi sebuah Negara Superpower. Sebelumnya, Sebagain Eropa Barat dan Timur sampai ke Kazan Rusia, Asia Tengah dan Afrika Utara dan tentunya Timur Tengah didominasi Kekuatan Arab yang juga menguasasi Samudera India, Atlantik dan sebagain Samudera Pasifik.. Kekuatan Persia-Mongol tampak di India, Pakistan, Banglades dan sebagian China dan Indo-Cina serta beberapa kepulauan Nusantara, mereka tidak kuat di laut. China menguasasi sebagian Samudera Pasifik khususnya laut China Selatan. Sementara itu di pedalaman Eropa manusia masih hidup dalam pengaruh Yunani dan Romawi yang Animis, mereka kemudian menjadi perompak dan pembajak laut. Di daerah nusantara kaum Hokkian menguasasi jaringan ‘garong’ perompak yang terkadang lebih kuat dari kerajaan-kerajaan kecil melayu. Para pembajak laut Eropa sesekali diboncengi kaum Fundamentalis Yahudi dan pendatang baru; kaum trinitas Gereja barat yang berseberangan dengan Gereja timur yang unitarian dan menaruh dendam kesumat atas kejayaan Arab.

1339

Pasukan ampibi Kerajaan Majapahit melakukan penetrasi di muara Sungai Asahan. Dimulailah upaya invasi terhadap Kerajaan Silo. Raja Indrawarman tewas dalam penyerbuan tersebut. Kerajaan Silo berantakan, keturunan raja bersembunyi di Haranggaol.

Pasukan Mojopahit di bawah komando Perdana Menteri Gajah Mada, mengamuk dan menghancurkan beberapa kerajaan lain; Kerajaan Haru/Wampu serta Kesahbandaran Tamiang (sekarang Aceh Tamiang) yang saat itu merupakan wilayah kedulatan Samudra Pasai.

Pasukan Samudra Pasai, di bawah komando Panglima Mula Setia, turun ke lokasi dan berhasil menyergap tentara Majapahit di rawa-rawa sungai Tamiang. Gajah Mada bersma pengawal pribadinya melarikan diri ke Jawa meninggalkan tentaranya terkepung oleh pasukan musuh.

Para Keturunan Indrawarman kembali ke kerajaan dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Dolok Siolo dan Kerajaan Raya Kahean.

1339-1947.

Kerajaan Dolok Silo dan Raya Kahean berakulturasi menjadi kerajaan Batak/Simalungun, namun tetap berciri khas Hindu/Jawa absolut. Konon kerajaan ini mampu berdiri selama 600 tahun. Menjadi dinasti tertua di Kepulauan Indonesia di abad 20. Sekitar 250 tahun lebih tua dari Dinasti Mataram di Pulau Jawa.

Pada saat yang sama dua kerajaan lain muncul kepermukaan; Kerajaan Siantar dan Tanah Jawa. Raja di Kerajaan Siantar merupakan keturunan Indrawarman, sementara Pulau Jawa, dipimpin oleh Raja Marga Sinaga dari Samosir. Penamaan tanah Jawa untuk mengenang Indrawarman.

1350
Kelompok Marga Siregar bermigrasi ke Sipirok di Tanah Batak Selatan.
1416 – 1513
Pasukan Cina dibawah komando Laksamana Haji Sam Po Bo, Ceng Ho, dalam armada kapal induk mendarat di Muara Labuh di muara Sungai Batang Gadis. Salah satu misi mereka; mengejar para bandit Hokkian tercapai. Sebelum berangkat, pasukan Cengho yang berjumlah ribuah itu mendirikan industri pengolahan kayu dan sekaligus membuka pelabuhan Sing Kwang (Singkuang=Tanah Baru).

1416-1513
Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam mulai berdatangan ke Sing Kwang dan berasimilasi dengan penduduk khususnya kelompok marga Nasution. Para Tionghoa tersebut membeli Kayu Meranti dari pengusaha setempat dan mengirimkannya ke Cina daratan untuk bahan baku tiang istana, kuil dan tempat ibadah lainnya.

1450-1500
Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khsuusnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dab Sungai Karang.

Perubahan terjadi di konstalasi politik dunia. Para bajak laut Eropa mulai mencari target operasi baru di kepulauan Nusantara yang hilir mudik dilalui para pedagang-pedagang Internasional; Arab, Afrika, India, Gujarat, Punjabi, Yunnan dan tentunya kelompok bajak laut lokal; Hokkian.

1450-1818
Kelompok Marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas garam ke Tanah Batak di pantai timur. ‘Splendidi Isolation’ Bangsa batak mulai terkuak. Yang positif bisa masuk namun tidak yang negatif.

Mesjid pribumi pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap beberap kilometer sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan. Siapapun berhak membeli, tidak ada diskriminasi agama. Toleransi antara Islam dan Agama S.M.Raja berlangsung begitu erat dan hangat.

1508
Kerajaan Haru/Wampu yang berpopulasi orang-orang Batak Karo diinvasi oleh Kesultanan Aceh. Dalam perkembangan politik berikutnya para keturunan Raja Haru/Wampu mendirikan kerajaan baru yang menjadi cikal bakal Kesultanan Langkat.

1508-1523
Kesultanan Haru/Delitua tetap eksis di daerah pengairan sungai Deli namun kedulatannya berada dalam otoritas Kesultanan Aceh. Penduduknya merupakan Batak Karo yang sudah memeluk agama Islam. Setelah melemahnya dominasi Kesultanan Aceh, Kesultanan ini bertransformasi menjadi Kesultanan Deli.

Kelompok bajak laut Eropa setelah beberapa lama dikucilkan karena perangai ‘garongnya’ mulai memperkenalkan diri kepada kerajaan-kerajaan nusantara sebagai ‘pedagang damai’. Taktik ini diambil agar mereka dapat melakukan penetrasi ke wilayah kerajaan untuk pemetaan dan penentuan titik-titik serangan untuk ‘devide et impera’.

1510
Dinasti Sori Mangaraja, yang berpusat di Sianjur Limbong Mulana, dikudeta oleh Kelompok Marga Manullang. Kejayaan dinasti ini, setelah 90 generasi berturut-turut memerintah, lenyap. Dinasti ini sendiri terdiri dari Kelompok Marga Sagala dari kubu Tatea Bulan.

1516-1816
Di Daerah Batak Selatan, dengan populasi Tatea Bulan, Dinasti Sori Mangaraja meneruskan pengaruhnya di Si Pirok. Secara de jure diakui oleh masyarakat Marga Siregar, Harahap dan Lubis. Secara mayoritas masyarakat marga Nasution juga memberikan pengakuan sehingga Dinasti Sisingamagaraja yang memerintah tanah Batak seterusnya, berpusat di Bakkara, tidak mendapat pengakuan yang menyeluruh.

1513
Kesultanan Aceh merebut pelabuhan-pelaburan pantai barat Pulau Andalas, untuk dijadikan jalur baru perdagangan internasional ke Maluku via selat Sunda. Bajak laut Portugis menutup dan melakukan aksi bajing loncat di Selat Malaka. Portugis mulai membawa kebencian agama ke Nusantara; diskriminasi agama diterapkan dengan melarang pedagang Islam melalui Malaka. Cina Islam, Arab dan penduduk nusantara menjadi korban pelecehan gaya Eropa.

Pengaruh internasionalisasi pelabuhan di Andalas, penduduk lokal Batak di lokasi tersebut; Singkil, Pansur, Barus, Sorkam, Teluk Sibolga, Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen sudah menganutnya.

Kelompok Marga Tanjung di Pansur, marga Pohan di barus, Batu Bara di Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah.

1513-1818
Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Marga Hutagalung di Silindung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung.

Di Jerman, Kaum Protestan melepaskan diri dari hegemoni Gereja Katolik Roma.

1523
Orang-orang Eropa tidak sabar untuk menjarah Nusantara. Kesultanan Karo Muslim di Haru/Delitua dimusnahkan oleh kaum Portugis. Ratu Putri Hijau, yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan raja-raja Aceh, tewas. Sambil berzikir sang ratu diikat di mulut meriam lalu diledakkan. Kebrutalan perang diperkenalkan oleh bangsa Eropa.

1550-1884
Dinasti Sisingamagaraja (SM Raja) tampil sebagai otoritas tertinggi di Tanah Batak, menggantikan Dinasti Sori Mangaraja.

1581
Marga Rangkuti terbentuk. Terdiri dari orang-orang Jawa/Minang yang mengambil suaka politik di Mandailing akibat perubahan politik di Kerajaan Pagarruyung di Minagkabau.

1593-1601
Intelektual lokal mulai tampil ke permukaan. Abdulrauf Fansuri terkenal sebagai ulama dan intelektual di dalam ilmu fiqih, politik dan ilmu sosial lainnya.

Beberapa teorinya antara lain; Penghapusan perbedaan antara Kepala Negara dan Agama. Raja merupakan otoritas kerajaan dan juga agama. Dia mensyaratkan bahwa Raja yang akan memangku jabatan ini bukan turun temurun melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Teori ini kemudian diterima oleh Kesultanan Aceh dan jawa.

Aceh, dalam ekspansinya, menguasai Fansur dan menghancurkan kejayaan pelabuhan ini. Duaratus tahun setelah itu Dinasti Sori Mangaraja membangunnya kembali dan memberikan nama baru; Pelabuhan ‘Gosong’.

Eropa mulai bangkit melewati masa kegelapan. Ibarat bangsa kelaparan mereka berhamburan ke penjuru dunia untuk membangun negara-negaranya. Bangsa Inggris mulai membuat pertapakan pertama di Pelabuhan Tapian Na Uli di tepi teluk Sibolga. Titik ini sangat mendukung untuk pemenuhan logistik mereka untuk menjarah bagian-bagian lain di Nusantara. Ambisi jahat yang tidak bisa ditebak oleh penduduk lokal.

Budaya perbudakan mendapat eksploitasi yang parah oleh hadirnya pihak Eropa. Keramahan bangsa Batak di Batang Toru, Puli, Situmandi serta Sigeaon dimanipulasi, mereka kemudian diperdagangkan sebagai Budak.

Beberapa wilayah di Nusantara mulai ditundukkan dengan tipu muslihat Eropa. Perang antar kerajaan menjadi sangat intens; akibat Devide Et Impera. Belanda mulai memetakan target operasi mereka di tanah Batak setelah menguasai Jawa dan beberapa kerajaan kecil di Nusantara.

1790
Haji Hassan Nasution dengan Gelar Qadhi Malikul Adil menjadi orang Batak pertama yang naik haji di Mekkah.

1812 M
Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, menjadi orang pertama dari lingkungan kerajaan Dinasti Sisingamangaraja yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Informasi ini didapat dari sebuah catatan keluarga, bertuliskan Arab, komunitas Marga Sinambela keturunan Sisingamangaraja di Singkil. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

1816
Elemen mata-mata Belanda mulai menyusup ke Tanah batak dengan misi; memetakan daerah serta kekuatan dan menentukan titik-titik penembakan artileri di pusat-pusat kekuasaan tanah Batak.

Jenderal Muhammad Fakih Amiruddin Sinambela, Gelar Tuanku Rao, panglima Paderi, meluaskan pengaruhnya di Tanah Batak Selatan.

1816-1833
Islam berkembang pesat di Mandailing dengan pembangunan universitas, pusat-pusat perdagangan dan kebudayaan Islam.

1818
Panglima Fakih Sinambela berseteru dengan pamannya Sisingamangaraja X, Raja Dinasti Sisingamangaraja di daerah Batak Utara.

Elemen Eropa berhasil memetakan kekuatan Dinasti Sisingamaragaja. Salah satunya; Modigliani berhasil mencari info mengenai privasi Guru Somalaing, salah satu intelektual agama Parmalim, agama Batak saat itu.

Orang-orang Batak yang miskin dan putus asa dengan penyakit kolera dimanipulasi Belanda sebagai kekuatan anti-otoritas SM Raja. Beberapa kerajaan-kerajaan huta dihadiahi dengan pengakuan sehingga mejadi raja-raja boneka yang membangkang. Kredibilitas kedaulatan Sisingamangaraja di akar rumput menipis, dikempesi orang-orang Eropa.

Untuk kesekian kalianya epidemik penyakit menular menjangkiti penduduk. Elemen Eropa dan Belanda di pantai timur Sumatera memanfaatkan situasi.

1818-1820
Perseteruan Sisingamagaraja X dan Fakih Sinambela memuncak. Pasukan Fakih Sinambela dengan komando Jatengger Siregar berhadapan dengan pasukan Sisingamangaraja X di Bakkara setelah buntu dalam perundingan.

Markas Pusat di Siborong-borong dengan komando Panglima Fakih Sinambela memerintahkan pasukannya di Bakkara untuk menguburkan pamannya S.M Raja X di pemakaman kerajaan dengan pasukan kehormatan dan melindungi keturunannya.

Fakih Sinambela menolak tawaran pamannya menjadi Sultan di Tanah batak. Mereka mundur ke Selatan. Yang Mulia Sisingamangaraja XI naik tahta.

1820
Pembantu Fakih Sinambela, Tuanku Mansur Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan di pantai timur Sumatera.

1821 Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir Sumatera Barat seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Fakih Sinambela(Tuanku Rao) dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Fakih Sinambela gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasu kan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.

1823
Thomas Raffles, Jenderal Inggris, tertarik untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan di Sumatera. Idenya; Aceh yang Islam dan Minagkabau dipisah dengan Komunitas Batak Kristen. Tanah Batak harus, menurut istilah Ompu Parlindungan, “dikristenkan”; diterima atau tidak.

Kebijakan ini ditiru oleh Raffles dari Lord Moira, Gubernur Jenderal Inggris di Kalkutta yang berhasil melemahkan Kerajaan “Dehli” Islam di India; Burma yang Budda serta Thailand yang Buddha harus dipisah dengan bangsa Karen yang Kristen.

Untuk itu, pihak Inggris mengirimkan tim-tim pendeta kerajaan ke lokasi tersebut. Di Tapanuli saja ada diutus beberapa orang, sbb;

Pendeta Burton yang bertugas menguasasi bahasa Batak dan menerjemahkan Bibel ke Bahasa Batak, bertindak sebagai pemimpin misi.

Pendeta Ward, seorang dokter yang meneliti pengaruh penuakit menular, epidemik yang menjangkiti penduduk Batak.

Pendeta Evans, bertugas mendirikan sekolah-sekolah pro-Eropa.

Ketiganya merupakan tim ekspedisi dalam infiltrasi pasukan Inggris di Tanah batak yang akan berprofesi sebagai pendeta agar tidak terlalu mendapat penolakan di sebagian besar mayarakat Batak yang telah menganut agama Parmalim, agama S.M. Raja, di pusat-pusat kerajaan Batak.

1823-1824
Pertahanan benteng SM Raja di Humbang, yang ‘splendid isolation’ dan tertutup untuk pihak-pihak tidak resmi, sangat kuat dan tidak dapat disusupi, pelabuhan Barus bebas dari penyusup.. Tim tersebut hanya berhasil masuk melalui pantai Sibolga dan daerah Angkola yang mayoritas penduduknya muslim dan terbuka. Burton dan Ward berhasil memasuki Tanah Batak, melalui pelabuhan Sibolga tempat beberapa komunitas Inggris menetap berdagang, menyisir hutan belantara dan mencapai Lembah Silindung. Misi berhasil. Namun ketika akan menyusup ke Toba, pusat kehidupan sosial masyarakat batak, Ward memberikan instruksi untuk mundur. Epidemik Kolera masih mengganas di Toba dan Humbang. Burton dan Ward mundur ke Sibolga. Dari sini ‘character assasination’ terhadap panglima-panglima Padri dilancarkan.

Perseteruan antar penjajah untuk menguasai Tanah Batak muncul. Belanda menggantikan posisi Inggris di Tapanuli, sesuai ‘Traktat London’. Pendeta-pendeta Inggris diusir. Mereka yang sudah berhasil memasuki wilayah privasi para Panglima tersebut dituduh bersekongkol dengan Padri.

1830-1867
S.M Raja XI, setelah naik tahta mulai menata kehidupan rakyatnya. Di beberapa wilayah dilakukan pembangunan. Hubungan diplomasi luar negeri dengan Kesultanan Aceh dijalin kembali. Sang Raja mulai menyadari kehadiran elemen-elemn penyusup yang bermaksud untuk menguasai dan dan meniadakan Kedaulatan Bangsa Batak. Belanda yang meneruskan kebijakan Raffles tidak bisa menerima; Bangsa Batak malah melakukan kerjasama militer dengan Aceh.

Perkembangan pembangunan di bidang sosial dan pendidikan meningkat. Kerajaan mulai mengerjakan penulisan sejarah Batak dalam ‘Arsip Bakkar’ setebal 23 jilid. Total Satu setengah meter tebalnya. Sebagain besar mengenai undang-undang, tradisi dan kehidupan kerajaan. Sebuah usaha yang memberikan dampat baik terhadap kredibilitas otoritas raja dan kehidupan masyarakat namun sudah terlanjur terlambat. Elemen-elemen rakyat yang putus asa dengan epidemik kolera sudah banyak yang pro-Belanda.

1833
Tentara Belanda mulai mendaratkan pasukan ekspedisi dibawah Komando Mayor Eiler, di daerah Natal dan mengangkat rajanya menjadi raja boneka dengan gelar; Regent van Mandailing. Elemen-elemen padri Minang dibasmi.

1833-1834
Pasukan Kolonel Elout menguasai Angkola dan Sipirok. Sipirok menjadi batu loncatan untuk menggempur Toba. Peta-peta sasaran tembak sudah dikumpulkan sebelumnya oleh tim penyusup dan orang-oramg Eropa yang bergerak bebas di Tanah Batak

Kolonel Elout memerintahkan pendeta-pendeta tentara Belanda, yang menjadi bawahannya di pasukan tersebut, antara lain; Pendeta Verhoeven untuk mempersiapkan diri untuk meng-kristenkan penduduk asli Tanah Batak Utara. Verhoeven diwajibkan untuk bergaul dengan penduduk asli dan belajar Bahasa Batak.

Eliot melalui kakaknya, saudara perempuannya, di Boston, AS, meminta tambahan tim misi dari American Baptist Mission (ABM). Permintaan ini mendapat dukungan dana oleh Clipper Millionairs yang berpusat di Boston dengan kompensasi mereka dapat menguasai kegiatan ekspor dan impor di Tanah Batak yang sangat potensial saat itu.

Seperempat abad kemudian, Hamburg Millionairs mendanai pendeta-pendeta dari Barmen untuk mengkristenkan Tanah Batak, hasilnya sejak tahun 1880-1940, di belakangan “Reinische Missions Gesselschaft”, seluruh arus perdagangan ekspor dan impor di Tanah batak dimonopoli oleh “Hennemann Aktions Gessellschaft”. Diperkirakan, paska PD II total pengusaha-pengusaha nasionalpun tidak sanggup mendekati 10 persen dari volume perdagangan “Hennemen & Co,” dulu di Tanah Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

1833-1930
Masyarakat Mandailing menderita dengan pendudukan Belanda setelah beberapa usaha mempertahankan diri, gagal. Eksodus ke Malaysia dimulai. Komunitas-komunitas diaspora batak di luar negeri terbentuk. Di Malaysia, Mekkah, Jeddah dan lain sebagainya.

1834
ABM mengirimkan tiga orang pendeta ke Tanah Batak. Yakni; Pendeta Lyman, Munson, Ellys. Kolonel Elout menempatkan Ellys di Mandailing untuk mengkristenkan masyarakat muslim di sana. Lyman dan Munson melanjutkan jejak Burton dan Ward.

Lyman dan Munson memasuki toba dengan seorang penerjemah, Jamal Pasaribu. Di sana mereka disambut baik. Namun setelah insiden penembakan mati seorang wanita tua oleh Lyman, raja setempat, Raja Panggulamau menolak kehadiran mereka.

Penembakan wanita tua, yang kebetulan, namboru sang raja tidak dapat diterima oleh raja. Lyman dan Munson mendapat hukuman mati oleh pengadilan lokal.

1834-1838
Pemerintahan Militer Belanda di Tanah Batak Selatan didirikan secara permanen. Komplek markas Besar Belanda didirikan berikut taman perumahan para pemimpin militer.

1838-1884
Kekuatan militer Belanda bertambah kuat. Sumatera Barat dapat dikuasai. Mandailing, Angkola dan Sipirok menjadi “Direct Bestuurd Gebied”, Raja Gadumbang tidak jadi dijadikan Sultan oleh Pemerintah Penjajahan Belanda, akan tetapi dibohongi dan hanya diberikan gelar “Regent Voor Her Leven”.

Pemimpin-pemimpin masyarakat Batak Islam yang tidak mau tunduk dengan Belanda di berbagai daerah, dibasmi. Silindung masuk ke dalam “Residente Air Bangis tahun 1973 dan Toba, yang belum takluk, dimasukkan pada tahun 1881. Kerajaan-kerajaan lain yang berhubungan dengan Kerajaan Toba tidak dapat berbuat banyak untuk membantu. Hegemoni Eropa tidak dapat terbendung. Manusia di nusantara hanya menunggu waktu untuk menjadi mangsa Eropa. Kerajaan Batak terisolir dan melemah. Rakyat sudah banyak yang pro Belanda.

1843-1845
Perbatasan Tanah Batak yang aman hanya pelabuhan Singkil dan Barus serta perbatasan darat dengan Aceh. Sisingamangaraja XI mengikuti Pendidikan Militer di Indrapuri, Kesultanan Aceh.

1845-1847
Aceh mengirimkan satu balayon tentara di bawah komando Teuku Nangsa Sati ke Toba. Bersama Yang Mulia Sisingamangaraja XI, Teuku menyiapkan perencanaan strategi gerilya. Pasukan komando gerilya dibentuk. Pertahanan dengan menggelar pasukan sudah tidak memungkinkan. Siasat ini pada tahun 1873-1907 sangat membingungkan pihak imperialis Belanda.

1848
Putra Mahkota, Pangeran Parobatu, satau-satunya anak laki-laki Sisingamangaraja XI lahir.

1857-1861
Zending Calvinist Belanda dari “Gereja Petani Ermeloo/Holland” (GPE) dengan gencar melakukan misi di Tanah Batak Selatan. Mereka antara lain; Pendeta Van Asselt di Parausorat, Sipirok, pendeta Dammerboer di Hutarimbaru, Angkola, Pendeta Van Danen di Pangarutan, Angkola dan Pendeta Betz di Bungabondar, Sipirok.

Misi; gagal. Masyarakat Muslim Batak yang sudah tidak berdaya dalam penguasaan Belanda menolak untuk dikristenkan. Belanda, tidak habis akal, mempercayakan misi pengkristenan Batak Selatan dan Utara kepada pendeta-pendeta Jerman, “Reinische Missions Gesselschaft” (RMG), yang menganggunr di Batavia, sejak diusir keluar dari Kalimantan Selatan oelh Pangeran Hidayat.

Belanda menghubungkan pendeta Fabri, pemimpin RMG di Jerman dengan pendeta Witteveen, pemimpin dari GPE. GPE mengalah, mundur dari Tanah Batak Selatan, karena kahabisan dana. Dengan banjir dana dari perusahaan Hennemann & Co, RMG memulai upaya misi kembali agar secepatnya Belanda dapat menguasai Tanah Batak dan menghancurkan Aceh di ujung sana.

1861
Pada tanggal 7 Oktober 1861, di dalam rumah pendeta van Asselt diadakan rapat bersama oleh pendeta-pendeta Belanda yang sudah aktif di tanah Batak bersamam pendeta-pendeta Jerman yang baru datang. Rapat ditutup oleh pendeta Klammer hasilnya; Pimpinan pengkristenan tanah Batak sudah berpindah dari tangan Pendeta Belanda ke tangan Pendeta Jerman. Pendeta Belanda Dammerboer serta van Dalen tidak menyukai posisinya menjadi bawahan seorang “Moffen”, Jerman. Mereka berhenti menjadi pendeta.

1861-1907
Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak yang masih dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara frontal Belanda belum mampu karena dipihak lain dan di dalam negeri mereka banyak menghabiskan tenaga unutuk menumpas pemberontakan-pemberontakan, sementara itu, kerajaan-kerajaan pribumi tidak menyadari keunggulan mereka.

Belanda kemudian menerapkan Devide et Impera dari pantai timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya swapraja. Tanah Batak dipecah menjadi:

1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja.
2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja.
3. Daerah Batak, Singkil, gayo, dan Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam Aceh.

Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:

1. Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di tanah Karo, Dusun
2. Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.
3. Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.
4. Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.
5. Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung diberi pengakuan secara hukum.
6. Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim didirikan dengan kepemimpinan Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku Kota Pinang.
7. Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan, misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila dan lain sebagainya dengan tujuan untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama, wilayah dan kepentingan ekonomi.
8. Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga.
9. Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.

Pihak Gayo yang dimasukkan ke Aceh dan orang-orang Batak Karo serta Simalungun tidak dapat lagi membela perjuangan Dinasti Sisingamangaraja karena mereka menganggap dirinya masing-masing sudah berbeda kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check point, untuk mengisolir rakyat setiap kerajaan dan membatasi pelintas batas. Kekuatan ekonomi, praktis, dikuasi Belanda. Kekuatan Tanah Batak mencapai titik paling lemah.

1863
Pendeta Nomensen dari Sipirok memasuki Silindung. Pengkristenan Tanah Batak Utara dimulai dan dikerjakan dengan sangat sistematis. Target ke selatan Batak, daerah Batak Muslim, dikurangi. Dengan beking seorang raja, pontas Lumban Tobing, yang sudah pro Belanda, sebuah gereja pertama didirikan di Hutadaman, Silindung. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

1864-1866
Pangeran Parobatu, selama dua tahun, mengikuti Pendidikan Militer di XXV/Mukim, di Kesultanan Aceh. Setelah wisuda, pangeran juga membahwa oleh-oleh; Bantuan Pasukan Penempur dari Aceh, ke Bakkara.

1867
Penyakit Kolera menjangkiti lagi. Para tenaga medis Kerajaan gagal membendung epidemik ini. Yang Mulia Sisingamangaraja XI wafat karena kolera. Pangeran Parobatu naik tahta menjadi Sisingamangaraja XII dengan gelar Patuan Bosar.

Akibat epidemik ini, intensitas misi pengkristenan bertambah tinggi. Rakyat yang frustasi berduyun-duyun mendatangi Christian Community di Hutadame.

1867-1884
Sisingamangaraja XII selama 17 tahun memerintah di Bakkara. Menurut penulis sejarah pro Belanda, Sisingamangaraja memerintah dengan tangan besi, untuk mempertahankan Singgasana Batak Pagan Priest Kings yang sudah memerintah selama 12 generasi paska Dinasti Sori Mangaraja. Informasi ini tentunya untuk pengalihan perhatian orang-orang Batak di masa mendatang yang akan merasa kehilangan penguasa Batak yang mereka cintai.

Selanjutnya, para penulis itu menuduh Sisingamangaraja XII secara totaliter menentang Pemerintah Belanda, serta menentang infiltrasi dari Agama Kristen yang dibawa oleh pendeta-pendeta Jerman. Mereka menambahkan bahwa karena itulah orang-orang Batak yang sudah Kristen (dan lebih2 lagi yang sudah Islam) tentulah tidak mau mengakui seorang Batak Pagan Priest King.

Belanda, dengan dendam kesumat atas kewibawaan Sisingamangaraja XII, sengaja menanam bibit perpecahan dan pertikaian di masyarakat untuk dipanen oleh generasi Batak di masa mendatang. Paska Kemerdekaaan Indonesia, bibit itu melapuk dan tidak membuahkan hasil. Orang Batak hidup damai dalam toleransi beragama.

Raja Huta, Pontas Lumbantobing di Saitnihuta, Silindung, menjadi antipode dari Sisingamangaraja XII, maharaja di wilayah huta-huta Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).

Di tanah Batak Utara didirikan sekolah-sekolah dengan jumlah besar; Sekolah Dzending. Namun, demi misi imperialis, diskriminasi diterapkan. Anak-anak dari Sintua, tetua Gereja, mendapat prioritas masuk sekolah Zending. Untuk menjadi Sintua, seseorang harus membuktikan diri patuh terhadap Kristen. Orang-oranng tanah Batak Utara belomba-lomba menjadi Sintua. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).

Posisi Sisingamangaraja XII kehilangan legitimasi dan dukungan dari rakyatnya yang sudah Kristen karena sudah berlomba-lomba menjadi Sintua (idem).

Penduduk Dairi, Pakpak dan Simsim masih menjadi pengikut setia Sisingamangaraja XII. Dalam pertempuran dengan Belanda, Ibukota kerajaan yang sudah ditandai oleh tim penyusup sebelumnya menjadi sasaran empuk pasukan Belanda. Serangan-serangan artileri memaksa Sisingamangaraja XII, dengan pengawalan khusus dari rakyatnya orang-orang Gayo yang menjadi pasukan komando dari Aceh, pasukan yang diberikan Kesultanan Aceh, mengungsi di Dairi dan melancarkan serangan dari hutan belantara sana. (1884-1907). Sementara itu panglima-panglimanya yang masih setia, melakukan upaya defensif untuk menahan laju tentara Belanda.

1869
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pendeta Ellys di Mandailing menemukan beberapa hambatan-hambatan, serta penyebabnya, dalam misi pengkristenan. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

Aliran Baptist, merupakan kelompok yang sangat sedikit di dunia. Baptist melepaskan diri dari Gereja Roma Katolik, lebih dahulu daripada Protestan dengan Martin Luther-nya pada tahun 1517. Baptis mengkristenkan orang-orang dewasa dengan cara menyemplungkan diri, seluruh badan, di dalam sungai. Seperti halnya oleh Johannes Pembaptis sebelum Jesus.

Amerina Baptist Misson dan British Baptish Mission tidak mau lagi mendanai Pendeta di Mandailing yang berpenduduk Muslim dan taat beragama.

Menurut Parlindungan, Dinasti Romanov, di Rusia beragama. Kristen Ortodoks Katolik. Akan tetapi di Ukraina terdapat sedikit aliran Baptist keturunan Belanda yang disebut; Mennoniets, karena mereka adalah keturunan dari Menno Simons. Baptist, Doopsgezinden, di Negeri Belanda habis dibasmi oleh Protestan, di dalam periode 1568-1648.

Orang-orang Baptist Belanda melarikan diri ke Ukarina. Di sana, mereka dilindungi oleh Dinasti Romanov, karena kepandaian mereka di bidang pertanian dan peternakan.

Dinasti Romanov saat itu sedang asyik menanam pengaruh di Seluruh Asia, mulai dari Selat Dardanella, sampai ke Vladiwostok. Romanov kemudian mengatur kepergian Pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina ke Mandailing 1869-1918.

Gereja yang di Mandailing didirikan pada tahun 1838 dirombak dan diganti dengan Gereja model Basilyk Rusia, lengkap dengan atas yang berbentuk bawang , 1869. Misi pendeta Mennoniet inipun berakhir karena jatuhnya Tsar Rusia yang dibantai oleh kaum Komunis. Pendeta Iwan Tissanov, pendeta yang teakhir dari aliran ini kemudian pindah ke Bandung.

Keturunan pasukan Padri bermarga Lubis, Kalirancak Lubis dan Jamandatar Lubis, yang pernah merebut Toba dan menguasai Ibukota Bakkara, di bawah pimpinan Panglima Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, kemenakan S. M. Raja X, menjadi Kristen Protestan Luteran di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Salah satunya adalah Martinus Lubis pahlawan Medan 1947.

1870 M

Peta politik populasi Tanah Batak:

Di Tanah Batak Selatan; 90% Beragama Islam, 10% lagi terdiri dari Muslim Syiah, Kristen Protestan dan Baptist.

Di Tanah Batak Utara; 90% Beragama Monoteis Adat Sisingamangaraja (Parmalim atau Sipelebegu) dengan Sisingamangaraja sebagai Raja dan Pemimpin Agama dan Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan, Maha Pencipta serta Maha Agung) sebagai Tuhan.

Sementara 10 persen lagi; Muslim dan Protestan di Silindung.

1873

Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.

Kesabaran Sisingamagaraja XII sudah menipis, tindakan ofensif ditingkatkan. Pertempuran Tangga Batu II meletus. Sisingamangaraja XII terluka, kena tembak dan berdarah. Belanda mengumunkannya ke seluruh penjuru. Tujuannya, agar hormat dan kepercayaan orang-orang Batak terhadap raja mereka, SM Raja XII, goyang.

Di periode yang sama, dengan bala tentara yang lebih banyak, kebanyakan terdiri dari pasukan paksaan dari daerah-daerah jajahan lainnya; Halmahera, Madura dan Jawa, Belanda melumpuhkan kekuatan tempur SM Raja. Sisa-sia kekuatan hanya untuk defensif. Dari dataran tinggi Humbang (sekarang di Kab. Humbang Hasundutan) Bakkara dibombardir dengan senjata Artileri Berat, namun Belanda masih takut untuk melakukan serangan infanteri.

1881 M

Toba resmi diduduki Belanda. Di Balige ditempatkan Controleur B.B. Di Laguboti ditempatkan Detasement Tentara Belanda. Pendeta Pilgram di Balige dan Pendeta Bonn di Muara mulai mengkristenkan penduduk yang sudah menyerah dan tak berdaya. Sementara itu, tentara Belanda diperkuat dan Laguboti menjadi Garnizon Tetap.

Pasukan SM Raja mulai kehilangan pasokan senjata dan amunisi dari dua pabrik senjata di kedua tempat tersebut, yang dibagun atas alih teknologi dari Kesultanan Aceh.

1882-1884

Sisingangaraja XII di ibukota Bakkara meningkatkan kewaspadaan mereka dalam sebuah upaya ofensif dan melakukan usaha mendeportasi elemen-elemen Belanda, yang menyusup jauh dan membeberkan kelemahan kerajaan, dan Pendeta-pendeta Jerman keluar dari wilayah kedaulatan Tanah Batak.

Yang Mulia, Patuan Bosar, menjanjikan uang sebanyak 300 ringgit burung untuk setiap orang yang memancung seorang pendeta Jerman dengan membawa bukti berupa kepala yang dipancung (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan). Terutama Pendeta Bonn di Muara, yang lalu lalang dan mengintai di daerah antara Bakkara dan Balige yang sudah terlalu dekat dengan pusat kekuasaan Patuan Bosar.

1883

Destor Nasution, putera dari Jarumahot Nasution alias Hussni bin Tuanku Lelo, menjadi pendeta. Tuanku Lelo merupakan salah satu panglima tentara Islam Padri yang merebut Bakkara di era S. M. Raja X.

Destor merupakan orang Batak pertama yang ditahbiskan menjadi pendeta dari Marga Nasution. Ayah Tuanku Lelo merupakan Qadhi Malikul Adil, Menteri Kehakiman di pemerintahan Padri, dan orang Batak pertama yang naik haji ke Mekkah, 1790.

Pasukan Sisingamangaraja XII dengan sisa-sisa kekuatannya melancarkan serangan frontal ke Muara. Tujuannya. Merebut kembali tanah Toba, dan mengusir Belanda di Laguboti. Pendeta Bonn dan Istrinya berhasil melarikan diri.

Belanda membalas, Bakkara dikepung dengan bombardir artileri dan serang infanteri. Ibu kota Bakkara, hancur lebur.

S. M Raja hijrah ke Tamba dan mengatur serangan dari sana. Pasukan khusus dari Aceh masih setia melindungi ‘Sri Maharaja’ Patuan Bosar.

Dukungan rakyat muncul kembali tatkala mendengar patriotisme Putri Lopian Boru Sinambela yang sejak usia 11 tahun selalu mendampingi ayahnya, S. M. Raja XII, Pahlawan Nasional Indonesia. Secara khusus sang putri selalu melakukan ritual untuk memintakan pertolongan dari Debata Mulajadi Na Bolon.

Melihat opini rakyat yang mulai menentang, Belanda tidak terima. Karisma sang Putri di bendung dengan tangan besi. Pembicaraan mengenai S. M Raja dan putrinya akan mendapat hukuman penjara. Akibatnya lambat laun rakyat lupa kembali, apakah rajanya masih berjuang atau tidak. Rakyat terintimidasi untuk berbicara mengenai rajanya. Perang Ideologi.

1884-1905
Padangsidempuan menjadi ibukota keresidenan Air Bangis.

1884-1907
Sisingamangaraja XII, Pahlawan Nasional Indonesia dengan heroik meneruskan perang melawan penjajah dari Dairi. Tanpa sedikitpun bantuan dari orang-orang Toba di Silindung yang menyibukkan diri untuk menjadi Sintua agar anaknya diterima sekolah di Zending.

1905
Ibukota Keresidenan Tapanuli dipindahkan ke Sibolga.

1907
Pasukan Sisingamangaraja XII bersama panglima dan pengawal pribadinya dari Aceh terkepung di hutan belantara Dairi. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Dalam upaya menolong putrinya yang terluka, Sisingamangaraja XII, gelar Patuan Bosar, Ompu Raja Pulo Batu, tewas diberondong Belanda. Jenazahnya dicincang dan dibuang begitu saja di hutan agar tidak dilihat oleh warga Batak yang pasti akan menimbulkan kemarahan besar. Menurut sumber lain, Jenazahnya dikuburkan di Balige atau Parlilitan. Masih perlu didebatkan. Keturunan S.M. Raja yang masih hidup ditawan dan dijauhkan dari masyarakat untuk tidak memancing pertalian emosi dengan warga Batak. Mereka di tawan dan dibuang ke sebuah Biara terpencil. Di sana mereka mati satu per satu. Menurut cerita lain, sebelum mati mereka sudah dipabtis.

1912
Perkembangan Islam, yang tidak diperbolehkan Belanda untuk mengecap pendidikan, walau paska kebijakan balas budi, kemudian bangkit mendirikan Perguruan Mustofawiyah. Disinyalir sebagai sekolah pribumi pertama di tanah Batak yang sudah modern dan sistematis.

Haji Mustofa Husein Purba Baru, dari marga Nasution, merupakan penggagas perguruan ini. Dia, yang dikenal sebagai Tuan Guru, merupakan murid dari Syeikh Muhammad Abduh, seorang reformis dan rektor Universitas Al Azhar.

Lulusan perguruan Musthofawiyah ini kemudian menyebar dan mendirikan perguruan-perguruan lain di berbagai daerah di Tanah Batak. Di Humbang Hasundutan di tanah Toba, alumnusnya yang dari Toba Isumbaon mendirikan Perguruan Al Kaustar Al Akbar pada tahun 1990-an setelah mendirikan perguruan lain di Medan tahun 1987. Daerah Tatea Bulan di Batak Selatan merupakan pusat pengembangan Islam di Sumut.

HKBP sendiri pernah menjadi gereja protestan terbesar di Asia. Para turunannya mendirikan gereja Angkola, Karo dan Dairi di berbagai tempat di Indonesia. Demikian pula di Kesultanan Langkat, para keturunan Jatengger Siregar gelar Tuanku Ali Sakti mendirikan ‘Lilbanaad College’.

1923
Arsip Bakkara diamankan pendeta Pilgram

1928
Jong Batak merupakan elemen sumpah pemuda. Orang-orang Batak tanpa beda wilayah, marga dan agama bersatu mengusir Belanda.

1945
Tanah Batak merupakan bagian dari Indonesia merdeka

Sabtu, April 04, 2009 | 0 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.

Manusia Batak

Pengunjung

Flag Counter

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *




Kunjungan Presiden RI

Event Sipakko

Daftar Blog Saya