Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Tech News

Pergeseran Adat Batak Toba (bagian I)

Written By napitupulusipakko on Selasa, Maret 31, 2009 | Selasa, Maret 31, 2009

Sejak dahulu kala etnis Batak Toba sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan. Adat sebagai bahagian dari kebudayaan elemen untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan merupakan identitas budaya dalam khasanah kebhinekaan di dalam negara tercinta ini.Pada dasarnya adat di dalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan, ketentuan-ketentuan adat dalam jaringan hubungan sosial diadakan untuk menciptakan keteraturan, sehingga tercapai harmonisasi hubungan secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada Tuhan. Dengan demikian adat adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan (Prof DR B Simanjuntak, 2001).

Pada saat sekarang ini dalam setiap pelaksanaan adat Batak Toba seringkali terjadi ketegangan, perbedaan pendapat walaupun jarang yang menimbulkan konflik, (jarang bukan berarti tidak pernah). Kenapa hal ini bisa terjadi? Banyak hal yang dapat menimbulkannya antara lain, faktor agama, kemajemukan asal dan etnis dalam suatu daerah, defusi adat yaitu percampuran adat antar etnis misalnya perkawinan berlainan suku, pengaruh era globalisasi dan lain-lain. Faktor-faktor inilah menyebabkan pergeseran pelaksanaan tata upacara adat Batak Toba pada saat sekarang. Sebenarnya hal ini sudah diantisipasi oleh tokoh adat Raja Patik Tampubolon setelah masuknya agama (Kristen) ke tanah Batak Toba.

Beliau mengelompokkan pergeseran adat itu dalam 3 bahagian dan diimplementasikan oleh DR AB Sinaga dalam tiga species dalam pelaksanaan adat tersebut yaitu, Adat Inti, Adat na Taradat, dan Adat na Niadathon. Dalam perkembangan tata upacara adat Batak Toba pada saat sekarang muncul 1 (satu) spesies lagi yaitu Adat na Soadat.

Untuk menghindarkan ketegangan dan beda pendapat kita harus mengetahui dan semufakat bahagian adat manakah yang akan dilaksanakan dalam suatu upacara adat dari ke 4 (empat) spesies upacara adat.

1. ADAT INTI
Adat inti mencakup seluruh kehidupan yang terjadi pada penciptaan dunia oleh Debata Mulajadi Nabolon. Adat inti diberikan bersamaan dengan penciptaan. Sesudah Mulajadi Nabolon menciptakan dewa tiga serangkai yaitu Batara Guru, Bala Sori dan Bala Bulan, maka dengan segera dimamahkanlah kepada mereka undang-undang dan hukum untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Tatkala pada awal mula manusia pertama dicipta (ada) di dunia ini maka Mula Jadi Nabolon memeteraikan “adat” dalam diri manusia tersebut serta memeteraikan undang-undang dan hukum ke dalam hati mereka tentang yang boleh dan terlarang, yakni “terlarang” (tongka), “jangan” (unang) dan tak patut (naso jadi). Dengan demikian, Adat Inti mutlak harus dituruti dan dilaksanakan sebagai undang-undang, adat dan hukum dalam kehidupan, seperti yang ditegaskan dalam ungkapan berikut :

Adat do ugari
Sinihathon ni Mulajadi
Siradotan manipat ari
Siulahonon di siulu balang ari

artinya :
Adat adalah aturan yang ditetapkan oleh Tuhan Pencipta, yang harus dituruti sepanjang hari dan tampak dalam kehidupan (Simanjuntak, 1966).

Harus diakui bahwa adat dilakukan pada saat sekarang oleh masyarakat Batak Toba adalah mengacu pada Adat Inti, walaupun secara empirik tata cara Adat Inti ini tidak pernah lagi dilaksanakan secara utuh. Sifat adat inti adalah “primer” dalam arti mendahului dan konsitutif terhadap yang lain yang mengemban muatan etis normatif dan kemutlakan serta konservatif (tidak berubah). Pelaksanaan Adat Inti tidak boleh dimufakati untuk mengobahnya dalam upacara adat karena terikat dengan norma dan aturan yang diturunkan oleh Mula Jadi Nabolon (sebelum agama mempengaruhi sikap etnis Batak Toba terhadap upacara adat).

Misalnya menentukan hari pelaksanaan upacara adat (maniti ari), menentukan media dan adat yang akan digunakan dalam upacara adat. Misalnya menentukan daging yang akan dimakan, kerbau, lembu atau babi, tergantung pada jenis adat yang dilaksanakan. Gondang sabangunan atau uning-uningan, musik tiup, key board tidak dikenal (tidak diperbolehkan) dalam pelaksanaan adat inti, dan banyak lagi norma-norma yang mutlak harus ditaati dan dipenuhi sejak merencanakan kegiatan, hari pelaksanaan dan sesudah upacara adat.

Karena adat inti ini mutlak dan konservatif serta mengemban muatan etis normatif pelaksanaannya tidak bisa diobah. Misalnya, acara adat sari matua tidak bisa diobah menjadi acara adat saur matua dan lain-lain. Menurut RP Tampubolon menuruti atau melanggar adat inti sebagai undang-undang (patik) dan hukum (uhum) adalah soal hidup atau mati, melanggar dan mengobahnya adalah dosa berat yang mengakibatkan kebinasaan.

Dengan uraian tentang Adat Inti di atas maka kita pada saat sekarang yang masih setia melaksanakan upacara adat, kita tidak mungkin lagi (tidak mampu) melaksanakannya sesuai dengan iman berdasarkan agama yang kita anut dan inilah merupakan pergeseran pelaksanaan adat yang kita laksanakan.

2. ADAT NA TARADAT
Secara harafiah, adat na taradat adalah undang-undang dan kelaziman yang berupa adat. Adat itu menyatakan istiadat yang oleh suatu persekutuan desa, atau tempat tinggal di daerah perantauan dan juga oleh agama diubah dan dimasukkan menjadi suatu kelaziman atau kebiasaan yang boleh disebutkan adat yang dimufakati oleh warga-warga masyarakat.

Ciri khas dari adat na taradat ini adalah pragmatisme dan fleksibilitas boleh jadi dilaksanakan berdasarkan sistematika adat inti. Dalam spesies adat kedua ini pelaksanaan adat demikian akomodatif dan lugas untuk menerima pengaruh daerah manapun asal dapat beradaptasi dengan acuan adat inti. Perpaduan fleksibilitas dan fragmatis menjadikan adat luput dari kekakuan dan kegamangan oleh adat inti yang stagnasi dan konservatisme.

Adat na taradat ini bersifat adaptatif dan menerima pergeseran dari adat inti dan bahagian adat inilah yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku adat Batak Toba pada saat sekarang dengan berpedoman kepada ungkapan folklor Batak Toba.

Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi
Napinungka ni ompunta na parjolo
Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi

(Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, yang sudah dimulai leluhur kita terdahulu kita perbaiki dari belakang). Artinya adat istiadat yang sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita terdahulu kita ikuti sambil diperbaiki (disesuaikan) dari belakang.

Ungkapan ini menunjukkan permufakatan pergeseran pelaksanaan adat. Hal ini sering menimbulkan perdebatan di kalangan tokoh-tokoh adat (raja parhata) dan pelaku-pelaku adat. Perdebatan ini sering terjadi dengan suara yang kuat khas Batak Toba antara kelompok yang “seperti” setiap dengan adat inti dengan kelompok yang ingin perubahan oleh sesuatu hal. Lalu perdebatan diredakan dengan beberapa ungkapan umpama dan umpasa yang menimbulkan permufakatan untuk pelaksanaan upacara adat dengan menerima pergeseran dan perubahan antara lain :

Aek godang tu aek laut
Dos ni roha do sibahen na saut, artinya
Kesamaan pendapat untuk jadi dilaksanakan

Nangkok si puti tuat si deak
a i na ummuli ima tapareak, artinya
Sesuatu yang lebih baik itulah yang dilaksanakan

Oleh karena permufakatan untuk pergeseran pelaksanaan adat itu, hampir pada semua upacara adat Batak Toba terjadi perubahan. Misalnya pada upacara perkawinan, sistematika atau urut-urutan tata cara perkawinan sering tidak dilaksanakan lagi mulai dari, marhori-hori dinding, marhusip, marhata sinamot, sibuha-buhai, mangan juhut, paulak une, maningkir tangga.

Marhori-hori dinding adalah istilah yang digunakan kepada anak kecil yang mulai belajar berjalan. Anak kecil tersebut memegang dinding sambil melangkah penuh ke hati-hatian supaya jangan terjatuh. Istilah ini pulalah yang dipakai untuk menanyakan pihak yang punya putri oleh pihak yang punya anak yang akan dikawinkan. Dengan hati-hati pihak paranak menanyakan soal prinsip apakah anak gadis parboru sudah siap untuk dikawinkan, kalau sudah siap pada hari-hari berikutnya dilanjutkan dengan marhusip yaitu menanyakan kira-kira berapa sinamot yaitu jumlah uang (boli) yang akan diberikan untuk pelaksanaan pesta. Selanjutnya adalah marhata sinamot yaitu memastikan jumlah sinamot dan pelaksanaan teknis upacara adat pada hari yang ditentukan adalah upacara pesta adat yang dimulai dengan makan sibuha-buhai, itu pembuka pelaksanaan upacara adat lalu bersama-sama ke gereja menerima pemberkatan setelah itu dilanjutkan acara adat di tempat yang telah ditentukan.

Secara garis besar demikianlah sistematika pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba pada adat inti. Namun pada saat sekarang dengan permufakatan banyak yang diobah antara lain, marhori-hori dinding, tidak lagi suatu keharusan dilaksanakan. Marhusip yang biasa tidak dihadiri orang tua si anak yang akan dikawinkan, pada saat sekarang justru orang tua si anak yang akan dikawinkan itulah yang memegang peranan dalam acara marhusip, marhata sinamot hanyalah formalitas sekedar mengumumkan apa yang telah dibicarakan pada acara marhusip. Pada acara marhata sinamot ini pun masih ada sandiwara (pura-pura) menetapkan besar sinamot yang akan diberikan. Jumlah ulos yang harus diterima oleh pihak paranak (pengantin laki-laki) tidak jelas acuannya boleh jadi dari 7 (tujuh) helai sampai 800 (baca delapan ratus) helai. Paulak une dan maningkir tangga adalah suatu skenario sandiwara upacara adat dalam permufakatan ulaon sadari (diselesaikan dalam satu hari). Substansi acara adat paulak une dan maningkir tangga tidak diperlukan lagi pada saat sekarang.

Demikian halnya pada upacara adat kematian status seseorang yang meninggal bisa diobah dengan permufakatan sesuai dengan permintaan keluarga yang meninggal (hasuhutan). Para tokoh adat dan seluruh sanak famili yang masuk ke dalam sistem kekerabatan akan mengalah apabila hasuhuton meminta status yang meninggal dari status mangido tangiang yaitu seseorang yang meninggal pada saat meninggal belum ada anaknya yang sudah berkeluarga atau sudah ada yang kawin tetapi belum mempunyai cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan, diobah status kematiannya menjadi “sari matua” status sari matua menurut adat inti diberikan kepada seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan yang sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga (adong sisarihononhon).

Ada juga hasuhuton meminta agar orang tuanya yang meninggal diobah status kematiannya dari sarimatua menjadi saur matua. Saur matua menurut adat inti adalah apabila seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu. Ada juga hasuhuton yang meminta status kematian orang tuanya diobah dari status saur matua menjadi mauli bulung. Kematian status mauli bulung adalah status tertinggi dalam tata upacara adat kematian, mauli bulung adalah apabila seseorang pada saat meninggal meninggalkan keturunannya cucunya telah memiliki cucu dari anak laki-laki dan perempuan atau sudah mempunyai nini dan nono (cicit).

Pergeseran tata acara adat Batak Toba telah terjadi pada setiap kegiatan upacara adat. Misalnya pada upacara adat pemberian ulos tondi pada anak yang sedang hamil 7 bulan diobah menjadi pemberian ulos mula gabe. Substansi pemberian ulos diobah menjadi “mendoakan” anak agar tetap sehat-sehat demikian juga anak yang akan dilahirkan diberikan Tuhan kesehatan. Demikian halnya pada kegiatan upacara adat lainnya perobahan dan pergeseran itu sudah terjadi seperti tata upacara adat, memasuki rumah, menggali tulang belulang, mengambil nama (mampe goar) dan lain-lain.
(Bersambung).

Oleh : Drs Brisman Silaban MSi

Sumber : Harian SIB

Selasa, Maret 31, 2009 | 0 komentar

Jejak Raja-raja Batak Dalam Legenda

Written By napitupulusipakko on Senin, Maret 30, 2009 | Senin, Maret 30, 2009

KEBERADAAN etnis-etnis di Indonesia tidak terlepas dari lagenda yang selalu dituturkan dari mulut ke mulut serta menjadi cerita rakyat. Seperti hikayat Putri Hijau dari Tanah Deli atau Jaka Tingkir dari Jawa, etnis Batak (Toba) juga mempunyai hikayat yang hingga kini tetap hidup di tengah masyarakatnya.

Konon, perjalanan etnis Batak dimulai dari seorang raja yang mempunyai dua orang putra. Putra sulung diberi nama Lontungon dan kedua diberi nama Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka menghadap sang ayah yang juga raja di daerah itu. Kedua anaknya meminta ilmu sakti. Sang ayah menyanggupi, namun dengan syarat keduanya harus membangun tempat persembahan di atas bukit yang bernama Pusuk Buhit. Setelah itu, selama tujuh hari tujuh malam kedua anaknya tidak bisa ke tempat itu sebelum waktu yang ditentukan tiba. Setelah tujuh hari tujuh malam terlewati, sang Raja beserta kedua anaknya pergi ke Pusuk Buhit. Di sana, mereka menemukan dua buku yang disebut sebagai buku Laklak bertuliskan surat batak.

Sang Raja menyuruh si sulung mengambil buku itu, dan meminta apa yang mau dimintanya kepada sang pencipta. Saat itu, si sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan juga kepintaran, kerajaan, kesaktian dan tempat berkarya untuk semua orang.

Permintaan si bungsu pun sama. Sang Raja mengubah nama si sulung menjadi Guru Tatea Bulan. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, si Lau Raja dan empat putrinya yakni si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona) abang kandungnya. Bunga Haumasan kawin dengan Sumba. Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau.

Suatu hari, Seribu Raja menghadap ayahnya untuk memberitahukan mimpinya. Dalam mimpi itu ia mengatakan agar ayahnya mengantarkannya ke Pusuk Buhit. Di sana dia tampak menjadi seorang yang sakti dan kelak abang dan adik-adiknya tunduk dan menyembahnya. Ayahnya tertegun dan bertanya lagi. Tapi yang menjawab adalah Geleng Gumeleng, padahal yang bermimpi adalah Seribu Raja.Saat itu juga Geleng Gumeleng berkeinginan untuk bisa ke Pusuk Buhit.Ayahnya mendukung Geleng Gumeleng pergi ke Pusuk Buhit, tapi Seribu Raja tak mau mengalah. Sehingga terjadi pertengkaran dan Seribu Raja pergi meninggalkan ayahnya.

Di Pusuk Buhit, Sang ayah menempa Raja Geleng Gumeleng menjadi raja sakti yang namanya diubah Raja Uti. Sementara Seribu Raja yang melarikan diri ke hutan tidak mau lagi menemui ayahnya Guru Tatea Bulan. Raja Lontung Dalam penelusuran penulis di Samosir diceritakan pada suatu hari ketika Seribu Raja sedang beristirahat dalam pengembaraannya, lewatlah seorang gadis cantik yang sangat jelita bak bidadari dari kayangan dan menarik perhatian Seribu Raja. Karena tertariknya, Seribu Raja pun membuat pelet (mistik penangkap wanita) supaya wanita itu lengket. Pelet itu diletakkan di atas tanah yang akan dilewati gadis cantik jelita itu.

Tapi apa yang direncanakan Seribu Raja bukanlah menjadi kenyataan karena takdir berkata lain dan justru yang lewat dari tempat tersebut adalah adik perempuannya sendiri bernama Siboru Pareme yang datang mengantar makanan untuk Seribu Raja. Boru Pareme yang tadinya biasa-biasa saja, menjadi jatuh cinta kepada abangnya padahal dalam adat Batak hal itu sangat tabu. Tetapi karena pelet Seribu Raja, semua berubah hingga akhirnya mereka menjadi suami istri.
Ketika Guru Tatea Bulan mendengar kedua anaknya telah menikah, dia murka dan mengusir Seribu Raja. Sebelum pergi, Seribu Raja memberikan sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya dan berpesan bila anaknya lahir diberi nama Si Raja Lontung.

Raja Borbor
Dalam pengembaraannya, Seribu Raja bertemu dengan seorang raja yang bergelar Raja Ni Homang. Tetapi dalam pertemuan itu terjadi pertarungan antara Seribu Raja dengan Raja Ni Homang. Kalau Seribu Raja kalah akan menjadi anak tangga ke rumah Raja Ni Homang dan bila Raja Ni Homang kalah, maka anak gadisnya akan diperistri oleh Seribu Raja.Pertarungan itu dimenangkan Seribu Raja. Tetapi sebelum dipersunting oleh Seribu Raja, sang putri raja itu ingin membuktikan kehebatan Seribu Raja. Maka gadis itu menyuruh Seribu Raja untuk mengambil daun pohon hatindi yang tumbuh di atas embun pati dengan syarat Seribu Raja harus tetap ada ditempatnya berdiri. Dan, bila sudah dapat dia bersedia menjadi istrinya.

Seribu Raja menyanggupi permintaan Boru Mangiring Laut. Dengan tiba-tiba tangan Seribu Raja dikibarkan ke atas kepalanya mengakibatkan angin di tempat itu menjadi kencang dan daun hartindi itu terbang ke tangannya. Bunga itu pun diberikannya kepada Boru Mangiring Laut. Setelah menikah, nama Boru Mangiring Laut diganti menjadi Huta Lollung, artinya kalah bertanding. Tak lama kemudian, boru Mangiring hamil namun Seribu Raja tidak menunggu kelahiran anaknya. Dia akan melanjutkan pengembaraannya.Dan, sebelum pergi dia memberikan sebuah cincin sakti. Pesan terakhir Seribu Raja, bila anaknya lahir diberi nama Raja Borbor.

Pertemuan Raja Lontung-Raja Borbor Konon, setelah dewasa Raja Lontung berangkat menelusuri hutan untuk mencari ayahnya Seribu Raja. Suatu hari Raja Lontung merasa sangat haus.Dia pun beristirahat barang sejenak. Di bawah pohon rindang, Raja Lontung mengambil pedangnya dan memotong salah satu akar pohon rotan untuk mengambil airnya. Tetapi bila dia mengangkat akar rotan itu ke mulutnya, tiba-tiba lepas karena ada yang menariknya dari sebelah. Begitulah yang terjadi sampai tiga kali.

Raja Lontung marah. Pasti ada orang yang mempermainkannya. Sekali lagi Raja Lontung menarik rotan itu kuat-kuat sehingga terjadi tarik menarik. Karena rasa kesal yang teramat sangat Raja Lontung berseru : “Jangan ganggu saya”.
Namun, akhirnya terjadi perkelahian dengan orang yang belum dikenal oleh Raja Lontung. Masing-masing mereka mengeluarkan ilmu sakti namun tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Akhirnya keduanya berkenalan. Lawan si Raja Lontung adalah Raja Borbor.Saaty itu mereka saling bertanya siapa ayah mereka sebenarnya. Keduanya terkejut sebab ayah mereka adalah Seribu Raja. Akhirnya mereka mencari Seribu Raja.

(Bersambung)

Penulis : Abu Hasan Nasti
Sumber : Waspada Online

Senin, Maret 30, 2009 | 1 komentar

Sultan Marah Laut: Sianjur Mula-mula Segala Limbong, Silindung, Bakkara and Barus (5)

Written By napitupulusipakko on Minggu, Maret 29, 2009 | Minggu, Maret 29, 2009


Sultan Ibrahimsyah is known as the sultan who able to unite Pasaribu land, Silindung, Bakkara and Barus in one leadership, while Sultan Marah Laut is the one who able to unite Sianjur Mula-mula Sagala Limbong and states of economis routes to Barus in one leadership.

If Sultan Ibrahimsyah is the one responsible in foundation of Raja Na Opat (Raja Berempat) institution in Silindung and a mosque in Bakkara, while Sultan Marah Laut is responsible in foundation Jonggi Manoar (Munawwar) and Raja Bunga-bunga institutes in Sianjur Mula-mula Limbong Sagala or Sagala Limbong.

Minggu, Maret 29, 2009 | 0 komentar

Sultan Marah Laut: Sianjur Mula-mula Segala Limbong, Silindung, Bakkara and Barus (4)

Written By napitupulusipakko on Sabtu, Maret 28, 2009 | Sabtu, Maret 28, 2009


Soon after the death of his brother, Marah Sultan, Sultan Marah Laut suceeded him as a sole ruler in Barus Hilir. With support of a powerful and discipline army, Sultan Marah Laut also known as Sultan Bagonjong raises the dignity of Barus as an independent state.

When Dutch company, VOC attacked by Minang Army in Padang, VOC has no way to run except to seek protection under Sultan Marah Laut power. VOC formally seeks help from Sultan Marah Laut and the Sultan, in the name of humanitarian efforts, lead a force himself to counters Minang army.

Sultan Marah Laut lead a group of Barus navy to Padang and left his brother’s son in law Sultan Marah Pangkat, also the Hulu Sultan, acting as his representative. The navy of Sultanate of Barus succesfully restores peace in Padang and on his way back to Barus, VOC officials, who happen to be in Sultan’s ship, makes a conspiration to kill Sultan.

It seem that VOC was affraid of the growing power of Barus, and tried to reduce Barus as a powerful kingdom in the region. With the help of a “madam” of Europe, Sultan was poisoned in the ship and only his body return home with his navy.

His body was buried in Barus with all the ceremony befitting a ruler. The burial ceremony resemble those used when Ibrahimsyah’s head was buried. After Sultan has been buried, Sultan Tuanku Marah Pangkat, The Hulu Sultan of Barus, succeeded his father in laws as a sole Sultan in Barus.

Sabtu, Maret 28, 2009 | 0 komentar

Sultan Marah Laut: Sianjur Mula-mula Segala Limbong, Silindung, Bakkara and Barus (3)

Written By napitupulusipakko on Jumat, Maret 27, 2009 | Jumat, Maret 27, 2009


After the Batak had formalized their agreement with Sultan Marah Laut by making solemn oath, he left them to return home. Some time later the Bataks fulfilled their agreement by sending tribute to him at Barus.

Sultan Marah Laur returns and finds Barus Sultanate at war with Acehnese forces, and he intervene succesfully in the conflict. The Acehnese were strong, and Kampung Simugari was on the defensive. When Sultan Marah Laut arrived, he intervene in the fighting and asked the Acehnese to stop their attack. The Acehnese however defied him.

After hearing the argument, Sultan Marah Laut, and his followers, was extremely angry to hear the feeback and he attack the Acehnese forces, who took fright and fled. After they had gone, The Sultan went to Kampung Simugari, where he found that all women had fled and had been taken to Kampung Si Antomas (Manduamas?) by Tuanku Raja Bongsu.

After peace had been restored, Sultan Marah Laut decided to leave and to find a place to make a kampung and a negeri of his own. He found an excellent place called Sawah Lagundi and settled there. Sawah Lagundi, developed in to a big city along with aoutonomous governmentship under the leadership of Sultan Marah Laut. Sultan Marah Laut created his poweful forces, and the city governed by appointed ministers. Sultan Marah Laut is a supreme ruler of Sawah Lagunde only next to his brother Sultan Barus Hili, Marah Sultan and the Sultan of Barus Hulu, Sultan Marah Bongsu.

Jumat, Maret 27, 2009 | 0 komentar

Sultan Marah Laut: Sianjur Mula-mula Segala Limbong, Silindung, Bakkara and Barus (2)

Written By napitupulusipakko on Kamis, Maret 26, 2009 | Kamis, Maret 26, 2009


For some time Sultan Marah Laut remained there ruling over all of Toba Segala Limbong. After some years he decided to go back to Barus. He relized that his political journey to his ancestor land, Segala Limbong, has achieved its result. All his people has extent their support to Sultan Marah Laut side. This support was very important in regard of power competition between the two ruling families, hulu and hilir, in Barus.

He then made provision for a subtitute authority to rule in his place; The Jonggi Manoar and Raja Bunga-Bunga institutions. This appointment is significant since it reveals a further instance of duality in government and indicates the continued elaboration a reference world in which duality is acceptable. The duality in leadership was also means to maintain balance of power since check and balance will be imposed between the two institutions. In the latest political development, The Jonggi Manoar Institute, representing Segala Limbong population of Tatea Bulan branch, transforms in to the check power for Sumba ruler, Sisingamangaraja I in Bakkara, in control over all Batak populations around Batakland.

Sultan Marah Laut, then, left a dual rajaship to act for him in Luat Sagala Limbong. This was the agreement at that time. In one year the two rajas will bring tribute of a horse. But when the two rajas bring bring the horse in tribute, then they must also bring one large male goat to give to Tuanku Mudik (Sultan of Hulu Barus).

Barus and Limbong are thus linked by each possessing two rulers. The depiction of duality in Limbong reflects the situation in Barus. The Hilir price, Sultan Marah Laut or Bagonjong reflected the spirit of harmonious duality by considering the positioon of the Tuanku Mudik and orderinf tribute for him.

Kamis, Maret 26, 2009 | 0 komentar

Sultan Marah Laut: Sianjur Mula-mula Segala Limbong, Silindung, Bakkara and Barus (1)

Written By napitupulusipakko on Rabu, Maret 25, 2009 | Rabu, Maret 25, 2009


One day Sultan Marah Laut also known as Sultan Bagonjong left Barus after a political turbulace in the state palace of Barus. Barus Sultanate was jointly ruled by his brother, Marah Sultan and the Raja di Hulu.

He travel toward Sianjur Mula-mula or also known as Segala Limbong, the place of his ancestor. Before arriving in Segala Limbong, he stay in Dolok (Sanggul?). There he married and had a son, after which he continued the journey to Segala Limbong and there he was praised by people and assigned as a ruler of Batak population based in Segala Limbong. His people, the Batak of Segala Limbong, knelt in homage below his highness and they raised him become their Raja.

The events symbolised the recognition of the power and authority of Sultan Marah Laut’s ancestor, Sultan Ibrahimsyah, as a ruler of Batak Pasaribu, Silindung and Bakkara. Like Sultan Marah Laut, Sultan Ibrahimsyah was the possessor of considerable prestige. Ibrahimsyah’s, in his era, was widely recognized as sole ruler who has sovereignty over Segala Limbong, Bakkara, Pasaribu land and Silindung before he took control of some part of Barus.

Rabu, Maret 25, 2009 | 0 komentar

Sejarah Kabupaten Batubara

Written By napitupulusipakko on Selasa, Maret 24, 2009 | Selasa, Maret 24, 2009

Wilayah Batubara mulai dihuni penduduk pada tahun 1720 M. Ada lima suku yang mendiami wilayah itu, yakni Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Pulu dan Boga. Kelima suku tersebut dipimpin seorang datuk yang memiliki wilayah teritorial tertentu.

Batubara masih menjadi bagian dari kerajaan Siak dan Johor. Makanya setiap Datuk Kepala Suku mendapat pengangkatan dan capnya dari Sultan Siak. Untuk mewakili kepentingan kerajaan Siak dan mengepalai para datuk di seluruh Batubara, diangkat seorang bendahara secara turun temurun.

Di bawah bendahara dibentuk dewan yang anggotanya dipilih oleh para Datuk Kepala Suku. Anggota Dewan itu adalah seorang Syahbandar (suku Tanah Datar). Juru Tulis dipilih dari suku Lima Puluh. Mata-mata dipilih dari suku Lima Laras dan Penghulu Batangan dipilih tetap dari suku
Pesisir.

Data di Kerajaan Haru menyebutkan bahwa Batubara salah satu daerah yang wajib menyetor upeti kepada kerajaan ini.

Menurut Schadee, dalam bukunya “Geschiedenis van Sumatra Oostkust”, wilayah Pagurawan dan Tanjong berada langsung dibawah jajahan Datuk Lima Puluh dari Batubara yang kemudian tunduk pula kepada Siak.

Dalam tahun 1885, Pemerintah Hindia Belanda membuat Politic Contract. Perjanjian itu meliputi beberapa kerajaan seperti Langkat, Serdang, Deli, Asahan, Siak, Palalawan (Riau), termasuk juga kerajaan-kerajaan kecil seperti Tanah Karo, Simalungun, Indragiri dan Batubara serta Labuhanbatu.

Pada tahun 1889 Residensi Sumatera Timur terbentuk dengan ibukota di Medan. Residensi itu terdiri dari 5 afdeling (kabupaten-red), yaitu Afdeling Deli yang langsung di bawah Residen Medan, Afdeling Batubara berkedudukan di Labuhan Ruku, Afdeling Asahan berkedudukan di Tanjungbalai, Afdeling Labuhanbatu berkedudukan di Labuhanbatu dan Afdeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis.

Dari itu, tampak nyata bahwa sejak dahulu Batubara, punya afdeling tersendiri. Batubara saat itu, punya 8 landschap (setara dengan kecamatan), yang dipimpin oleh seorang raja.

Ketika Indonesia merdeka, wilayah Batubara berubah statusnya menjadi kewedanaan membawahi lima kecamatan yaitu, Kecamatan Talawi, Tanjungtiram, Lima Puluh, Air Putih dan Medang Deras. Sementara ibukota tetap di Labuhan Ruku.

Setelah masa kepemimpinan kewedanaan berlangsung 4 kali pergantian, nama kewedanaan kemudian dicabut, sehingga yang ada hanya 5 (lima) sektor camat. Lalu digabungkan ke wilayah Asahan, disebut dengan nama Kabupaten Asahan, beribukota di Kisaran.

Hal inilah yang menggugah tokoh, cerdik pandai dan masyarakat untuk kembali memperjuangkan adanya wilayah otonom Batubara. Maka pada tahun 1969, dibentuk Panitia Persiapan Otonomi Batubara (PPOB). Namun perjuangan itu kandas sebelum Kabupaten Batubara yang otonom terbentuk.

Di Era Reformasi, para generasi muda penerus perjuangan Kabupaten Batubara kembali menghimpun perjuangan. Mereka membentuk Badan Pekerja Persiapan Pembentukan Kabupaten Batubara (BP3KB) yang berkedudukan di Kota Medan.

Sejalan dengan itu, di setiap kecamatan berdiri Gerakan Masyarakat Menuju Kabupaten Batubara (Gemkara). Saat ini, Ketua Umum BP3KB-Gemkara dipimpin oleh OK Arya Zulkarnain SH MM.

Akhirnya, ridho Tuhan YME mengabulkan doa perjuangan masyarakat Batubara 8 Desember di gedung Nusantara II DPR RI, Sidang Paripurna, RUU Kabupaten Bataubara disyahkan, bersamaan dengan 15 Kabupaten lainnya. ”Alhamdulillah, akhirnya Kabupaten Batubara terwujud,” syukur OK Arya.

Azhar Efendi >> global | Batubara

Selasa, Maret 24, 2009 | 0 komentar

Orang Jawa di Tanah Batak

Written By napitupulusipakko on Minggu, Maret 22, 2009 | Minggu, Maret 22, 2009

By. Julkifli Marbun



Dalam candaan keseharian yang sering terdengar di Jakarta, terlontar irama stereotipe yang sering kali mengundang tawa. Di Indonesia, dan mungkin saja di berbagai negara, etnik dan suku sering dibuat sebagai bahan canda tawa. Dan itu sah-sah saja.

Banyak canda tawa, yang sebenarnya tujuannya untuk menghibur, sering berbelok penjadi sebuah persepsi. Persepsi yang berbahaya karena tidak didukung oleh fakta yang valid.

Salah satu contohnya adalah sebuah kaset canda berbahasa Batak yang berisi anekdot dari berbagai suku. Misalnya anekdok dari orang Jawa terhadap orang Batak dan sebaliknya. Satu hal yang dibahas di sini adalah, mengenai anekdot “bila orang jawa sendiri, dia akan kerja atau bertani, bila mereka ramai-ramai, mereka akan transmigrasi.”

Ternyata anekdot ini sering dibuat persepsi bahwa orang Jawa merupakan suku yang tidak gemar merantau dan kehadiran mereka di berbagai tempat di luar Jawa merupakan akibat dari program transmigrasi penjajah Belanda dan pemerintan RI orde Baru. Hasilnya, banyak orang di daerah-daerah yang memandang miring eksistensi orang-orang Jawa yang dianggap sebagai orang pusat yang datang mengambil potensi ekonomi daerah. Persepsi ini bahkan seringkali menimbulkan konflik, diskriminasi dan rasialisme paling tidak dalam level stereotipe.

Ini merupakan persepsi yang sangat menyesatkan karena berbagai bukti sejarah mencatat bahwa beberapa kampung jawa telah lama eksis setidaknya sejak sebelum abad ke-10 M di berbagai tempat di Indonesia, khususnya di Sumatera.

Di pinggiran Sungai Aceh, misalnya, telah lama ada nama Kapung Jawa atau Gampong Jawa dan bahkan disebut berkali-kali dalam manuskrip Sejarah Raja-raja Aceh. Dalam peradaban Batak, Kampung Jawa dan orang-orang Jawa sudah berada di tanah Batak, khususnya yang urban, untuk berdagang dan sebagai koloni masyarakat pekerja saat itu. Begitu juga di pulau-pulau lain di luar pulau Jawa.

Dalam manuskrip yang menceritakan Barus, Kesultanan Batak di pesisir Barat di Sumatera dikatakan bahwa salah satu suku yang tinggal dan menjadi warga negara di kesultanan adalah orang Jawa, di samping orang Aceh, Siak, Pidie, Meulaboh, Minang, Cina, India, Arab dan lain sebagainya.

Bahkan orang-orang Jawa disebutkan muncul menjadi penguasa di berbagai tempat. Seperti yang tertulis: “Alkisah maka tersebutlah perkataan kepada Sultan Marah Pangsu (Pardosi Pohan). Adapun Sultan Marah Pangsu itu dia orang bersaudara dua laki-laki satu perempuan, itu perempuan mati di laut ditawan (orang) Jawa……” (lihat hal 43 dari manuskrip kumpulan naskah Barus yang dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

Dalam sejarah nasional juga disebutkan mengenai kedatangan tentara-tentara Jawa dalam ekspedisi-ekspedisi militer. Baik itu dalam ekspedisi Kerajaan Melayu Sriwijaya maupun Imperium Majapahit.

Kolaborasi Peradaban Batak dan Jawa: Simalungun dan Dairi

Disebutkan dalam sejarah bahwa pada tahun 1339 M, Pasukan ampibi Kerajaan Majapahit melakukan infiltrasi di muara Sungai Asahan. Dimulailah upaya invasi terhadap Kerajaan Silo. Raja Indrawarman, seorang Raja keturunan Jawa (Pujakesuma) yang meemrintah di Simalungun, tewas dalam penyerbuan tersebut. Kerajaan Silo berantakan, keturunan raja bersembunyi di Haranggaol.

Pasukan Majapahit di bawah komando Perdana Menteri Gajah Mada, mengamuk dan menghancurkan beberapa kerajaan lain; Kerajaan Haru Wampu serta Kesyahbandaran Tamiang (sekarang Aceh Tamiang) yang saat itu merupakan wilayah kedaulatan Samudra Pasai.

Pasukan Samudra Pasai, di bawah komando Panglima Mula Setia, turun ke lokasi dan berhasil menyergap tentara Majapahit di rawa-rawa sungai Tamiang. Gajah Mada bersma pengawal pribadinya melarikan diri ke Jawa meninggalkan tentaranya terkepung oleh pasukan musuh.

Para Keturunan Indrawarman kembali ke kerajaan dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Dolok Silo dan Kerajaan Raya Kahean.

Sementara itu, Kerajaan Dolok Silo dan Raya Kahean berakulturasi menjadi kerajaan Batak Simalungun, namun tetap berciri khas Hindu Jawa absolut. Konon kerajaan ini mampu berdiri selama 600 tahun. Menjadi dinasti tertua di kepulauan Indonesia di abad 20. Sekitar 250 tahun lebih tua dari Dinasti Mataram di Pulau Jawa.

Pada saat yang sama dua kerajaan lain muncul kepermukaan; Kerajaan Siantar dan Tanah Jawa. Raja di Kerajaan Siantar merupakan keturunan Indrawarman, sementara Pulau Jawa, dipimpin oleh Raja Marga Sinaga dari Samosir. Penamaan tanah Jawa untuk mengenang Indrawarman.

Selain eksistensi komunitas Jawa di Simalungun yang sudah berabad-abad, diketahui juga bahwa banyak tokoh-tokoh Batak yang diyakini merupakan keturunan Jawa seperti Mpu Bada yang diyakini orang Dairi sebagai nenek moyang mereka dan merupakan keturunan Jawa yang datang ke Sumatera.

Jadi tidak mudah untuk men-judge bahwa orang Jawa adalah orang pendatang akibat transmigrasi ke Sumatera atau ke salah satu provinsi, karena mungkin saja mereka telah terlebih dahulu eksis di tempat tersebut jauh sebelum nenek moyang orang Sumatera, atau Batak misalnya, mengalami penyebaran penduduk.

Minggu, Maret 22, 2009 | 0 komentar

Huta Batak (Batak Village)

Written By napitupulusipakko on Sabtu, Maret 21, 2009 | Sabtu, Maret 21, 2009

Orang Batak memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup dan membentuk masyarakat kelompok kecil. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga/clan atau masih memiliki hubungan kekerabatan. Desa-desa tertutup ini disebut huta.




Pintu masuk huta Batak (Entrance gate to Huta Batak)

Huta dulunya dikelilingi oleh tembok batu/tanah (parik) yang ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat. Jalan masuk ke huta tersebut hanya ada satu atau maksimal dua gerbang (bahal), depan (jolo) dan belakang (pudi). Dekat dengan bahal biasanya terdapat pohon beringin (baringin) dan atau hariara.

Didalam huta Batak (View inside Huta Batak)
Ada dua jenis rumah adat yang ada didalam huta Batak, yaitu ruma dan sopo yang saling berhadapan. Diantara kedua deretan bangunan tersebut terdapat halaman yang luas (alaman) yang menjadi tempat kegiatan orangtua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama, sebenarnya berbeda dari sisi konstruksi dan fungsi.

Huta Batak hasil di tempat TB Center ini terdiri dari tiga buah ruma dan tiga buah sopo. Ke-6 bangunan ini adalah sumbangan dari keluarga-keluarga yang sangat peduli dengan pelestarian budaya Batak. Berdasarkan informasi dari pemilik diketahui bahwa umur bangunan sudah mencapai 120-150 tahun, dan sudah dilakukan beberapa perbaikan dibeberapa bagian bangunan. Huta Batak dibuat sedemikian rupa mengikuti bentuk sebenarnya dengan modifikasi dalam bentuk bahal, parik dan alaman.
-----------------------------------------------
Bataks typically settle in closed villages and form small communities. Usually, a community (a group) consists of several different clans (marga) or Bataks with familial relations. A closed village is called a huta.
A
huta used to be surrounded by walls made of stone / earth soil (parik), planted with bamboo trees closely adjacent one to another. There is one, or a maximum of two entrance gates (bahal) located at the front (jolo) and the back (pudi). A banyan tree (baringin) and / or a hariara tree are usually present close to the bahal.

There are two types of the traditional houses inside a huta Batak that face one another, the ruma and the sopo. Between the two buildings is a wide common area (alaman) where parents and children conduct their activities. These two buildings, despite their similar look, are in fact different from one another, functionally as well as from the construction perspective.

Huta Batak at TB Center consists of three rumas and three sopos. These six buildings were contributions from families that truly care about the conservation of the Batak culture. According to the information provided by the original owners, the buildings are approximately 120-150 years old. Improvements had been done to several parts of the buildings. Huta Batak was created in such a way in accordance with its original format with modifications in the shape of the bahal, parik and alaman.
================

MAKAM BATU/STONE GRAVE

Replika kuburan/makam batu ini mengikuti bentuk kuburan/keranda batu kepala-kepala suku/marga ratusan tahun yang lalu. Pembuatan replika ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa banyak peninggalan Batak yang berasal dari jaman batu besar (Megalithikum).

Merupakan kehormatan jika seseorang dikuburkan didalam batu. Keranda dari batu ini berbeda dengan keranda yang terbuat dari kayu dimana keranda kayu ditanam didalam tanah sedangkan keranda batu diletakkan diatas tanah. Keranda batu dibuat dari sebuah batu yang besar dan utuh.

Dalam perkembangannya, sejak masuknya teknologi campuran semen ke tanah Batak, pembuatan keranda batu ini tidak lagi menggunakan batu besar, akan tetapi menggunakan campuran semen yang dibentuk menyerupai keranda batu jaman dulu dan namanya disebut simin

----------------------------------

The replica of this cemetery / stone grave follows the shape of a cemetery / stone bier of the ethnic group’s leader hundreds of years ago. The production of this replica was meant to show to the community that many of the Batak legacies came from the Megalithic period. It is an honor for someone to be buried inside a stone. The stone bier is different from the wood bier which is placed underground. The stone bier is placed above ground, and it is made of a one-piece, large size stone.

In its development since the finding of cement mixture, the production of a stone bier no longer uses a big stone, but instead uses the cement mixture formed resembling the ancient stone bier, called simin.

======================

PANGULUBALANG (ULUBALANG)

Pangulubalang adalah peninggalan suku Batak ketika masih menganut animisme. Pangulubalang atau ulubalang adalah patung pelindung desa, khususnya pada saat penduduk desa sedang meninggalkan desa untuk bertani. Patung-patung ini terbuat dari batu, namun ada juga patung yang dibuat dari kayu.

Pangulubalang juga mempunyai peranan penting dalam masalah perselisihan antar marga atau antar desa; roh pangulubalang ditugaskan pergi ke daerah musuh untuk menutup mata dan telinga musuh agar tidak mampu berperang lagi. Pada saat-saat tertentu, patung ini dipuja dan disembah supaya masyarakat desa selamat dari mara bahaya dan juga untuk memohon rejeki.

----------------------------------------------
Pangulubalang is a legacy of the Batak ethnic group when many still followed animism. Pangulubalang or the ulubalang was the statue protecting the village, especially when villagers are out to engage in farming. These statues were made of stone, although some were also made of wood.

Pangulubalang also played an important role in disputes between clans or between villages; the spirit of pangulubalang would be assigned to visit the adversaries, close their eyes and ears in order to make them unable to wage in war again. In certain moments this statue would also be worshipped for the safety of the community, as well as to wish for a fortune.

=====================

SIGALE-GALE

Sigale-gale adalah sebuah mitos kisah sedih dalam kehidupan masa lalu masyarakat Batak, dan berkaitan erat dengan upacara kematian. Ada beberapa versi cerita yang diyakini oleh masyarakat sebagai asal-usul legenda patung sigale-gale. Dalam adat Batak jaman dahulu, kesedihan terbesar bagi seorang orang Batak adalah jika ia meninggal tanpa menghasilkan keturunan terutama laki-laki sebagai penerus marga. Mereka percaya bahwa roh (begu) mendiang akan menjadi gangguan bagi masyarakat satu desa atau satu marga tersebut.

Untuk menghibur hati orang yang telah meninggal, maka dibuatlah sebuah patung kayu berbentuk manusia laki-laki yang akan ditampilkan dalam upacara kematian yang secara khusus diselenggarakan dan disebut papurpur sapata. Dalam upacara ini patung tersebut akan menari seperti layaknya manusia normal dengan bantuan dari para dukun. Melalui acara ini diharapkan kekecewaan mendiang akan dapat terobati, sehingga bisa beristirahat dengan tenang dan tidak mengganggu masyarakat desa.

------------------------------------------
Sigale-gale was a sad myth in the life of the Batak community's past, directly related to the ceremony for the dead. There are several versions of the myth within the community on the origin of the sigale-gale statue. In the ancient Batak tradition, it is most heartbreaking for a Batak person to die without producing a male heir. They believed that the spirit (begu) of that deceased person will later become a disturbance for the community, the village, or within one’s clan.

To entertain the soul of that deceased person, a wooden statue in the shape of a male human would then be made to be presented at the death ceremony (papurpur sapata). With the help of the shamans, the statue will dance like a living being throughout the ceremony. Through this ceremony, it was hoped that the disappointment of the deceased can be alleviated, so that his soul can rest calmly and not disturb the village community.

===================

POHON HARIARA (Berusia ± 120 tahun)

Pohon hariara adalah pohon yang sangat erat kaitannya dengan Adat Batak. Hariara sering ditanam sebagai tanda pembatas antara satu huta (kampung) dengan huta yang lain, bahkan simbol pengawal desa, sebagai tempat mamele (berdoa pada penghuni alam gaib) atau sebagai tanda kepemilikan satu wilayah atau sebagai lambang bagi satu klan/marga, atau bahkan sebagai saksi dalam perjanjian antar komunitas.

Pohon ini juga memiliki makna filosofis bagi orang Batak. Hariara sering disebut sebagai pohon hidupnnya suku Batak karena pohon ini dapat tumbuh tinggi besar, kokoh dan tahan terhadap berbagai cuaca dengan masa hidup yang lama. Daunnya yang lebat membuat daerah sekitarnya menjadi sejuk sehingga sering orang-orang berteduh dibawah pohon sambil membicarakan banyak hal. Berbagai jenis makhluk hidup juga hidup dan mencari makan dipohon ini. Pohon ini menjadi semacam ”kerajaan” tanpa raja yang penuh dengan kehidupan tanpa kekacauan.

Orangtua sangat mengharapkan anak-anaknya selalu mengingat hariara ”Tumbuh tinggi, besar dan kuat, membenamkan akar jauh ke perut bumi, menjadi sumber hidup dan saluran berkat bagi sesama dan makhluk hidup lainnya”

Sabtu, Maret 21, 2009 | 1 komentar

Berawal dari Sistem Bondar

Written By napitupulusipakko on Jumat, Maret 20, 2009 | Jumat, Maret 20, 2009

Mengapa masyarakat Haunatas, Tanjungrompa, Bonandolok dan Siranap sangat peduli melindungi hutan Sibual-buali dan menjaga bondar (tali air) yang bersumber dari hulu Aek Sirabun?
Nilai-nilai kearifan lokal yang bernuansa konservasi ini tak bisa dipisahkan dari sejarah dibukanya perkampungan Simaretong (sekarang Desa Haunatas) sekitar tahun 1907, jauh sebelum negara Indonesia berdiri.

Jansen Pasaribu menuturkan masyarakat dari keempat desa itu sebenarnya bukanlah penduduk asli Marancar, Tapanuli Selatan. Leluhur mereka berasal dari Toba Samosir yang migrasi ke Desa Sioma-oma, Sipirok.

Ceritanya, pada awal abad ke-20, di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, empat lelaki bersaudara dari rumpun keluarga marga Pasaribu, yakni Parbagas Godang, Tarub Ijuk, Tarup Seng dan si bungsu Bonandolok, meninggalkan Sioma-oma menuju keluatan Marancar yang pada masa itu dikuasai oleh Raja Adat Siregar Bahumi. Kedatangan mereka ke Marancar dengan maksud ingin membuka perkampungan dan persawahan.

Sebagai pendatang, keempat bersaudara itu menyadari tak akan mudah bagi mereka untuk mendapat restu membuka perkampungan di keluatan Marancar yang dikuasai komunitas marga Siregar. Untuk mendapat hak pengelolaan kawasan di Marancar, keluarga Pasaribu melakukan pendekatan kultural. Caranya, si bungsu Bonan Dolok yang belum berkeluarga meminang putri Raja Adat Siregar Bahumi. Pinangan direstui sehingga terjalinlah ikatan tali persaudaraan melalui horja (pesta) perkawinan. Secara adat, ketiga saudara kandung Bonandolok pun statusnya menjadi anak boru bagi marga Siregar Bahumi. Dalam adat Batak Toba, Angkola dan Mandailing, anak boru berarti saudara laki-laki dari suami adik/kakak perempuan.

Dengan terbangunnya tali persaudaraan itu, pada 1907 keluarga Pasaribu akhirnya diberi kedaulatan membuka perkampungan sendiri (luat). Kawasan yang diberikan oleh Raja Adat Siregar Bahumi berada di lembah sempit dengan topografi perbukitan di antara kaki Gunung Sibual-buali dan Gunung Lubuk Raya. Kawasan itu dinamai wilayah Simaretong. Di pemukiman baru itu, keluarga Pasaribu berencana menerapkan sistem pertanian sawah yang mengandalkan jaringan bondar (tali air) sebagaimana di kampung asalnya. Dengan sistem pertanian sawah itu, dalam setahun petani bisa panen dua kali. Pada masa itu, penduduk asli Marancar masih menerapkan sistem pertanian lahan kering (tadah hujan) atau perladangan berpindah.

Sialnya, kawasan khusus yang diberikan kepada keluarga Pasaribu itu tidak dilintasi sungai. Sementara sungai terdekat dari tempat tinggal mereka, yakni Aek Sirabun, posisinya berada di bawah kampung Simaretong, sehingga tidak bisa langsung dimanfaatkan untuk mengairi pertanian sawah. Tak putus asa, keempat Pasaribu bersaudara itu lalu menyusuri hutan untuk menemukan hulu Aek Sirabun di punggung Gunung Sibual-buali. Setelah lebih lima kilometer memasuki belantara hutan Sibual-buali, akhirnya mereka menemukan hulu Aek Sirabun. Lalu dibuatlah bendungan dari kayu. Agar air bendungan itu bisa dilairkan ke sawah, keempat bersaudara itu bekerja keras membuat tali air dari hulu sampai ke pemukiman mereka sepanjang enam kilometer. Tali air itu kemudian didistribusikan ke sawah mereka masing-masing.

Keberhasilan keempat bersaudara itu kemudian menarik para kahanggi (keluarga lelaki dari garis keturunan ayah) dari klan Pasaribu lainnya di Sioma-oma, Sipirok, untuk hijrah ke Simaretong sehingga secara resmi pada tahun 1907 terbetuklah perkampungan klan Pasaribu di sana. Oleh warga, kawasan Simaretong itu kemudian diberi nama Desa Haunatas. yang diambil dari nama asal tempat marga Pasaribu di Toba Samosir. Belakangan, keluarga anak boru Pasaribu lainnya di Sioma-oma juga ikut berpindah ke sana seperti dari keluarga Napitupulu, Pardede, Simanjuntak, Harianja, Pane, Ritonga dan Pangaribuan.

Dengan bertambahnya kepala keluarga dan dibukanya persawahan baru, para leluhur Pasaribu pada masa itu mulai menerapkan kembali tradisi adat Batak Toba dalam sistem penjagaan dan pembagian bondar. Secara adat disekapati bahwa tali air itu milik bersama yang harus dijaga dan dibagi secara adil ke persawahan penduduk. Untuk itu, dibetuklah sistem jaga bondar (pengawasan tali air) dengan dikepalai oleh seorang mantri bondar.
“Mantri bondar dipercayakan kepada pemuka adat tertinggi yang fungsinya mengatur secara adil sistem distribusi tali air dan dia pula yang menyelesaikan masalah jika terjadi perselisihan atau kecurangan dalam pemanfatan bondar. Sedangkan jaga bondar yang ditetapkan sebanyak delapan orang dipilih oleh warga masyarakat dengan tugas mengawasi tali air dan melindungi keutuhan hutan di sekitar bondar dan hulu sungai,” terang Jansen Pasaribu.

Selain sebagai pemimpin adat di Simaretong, Jansen juga sampai saat ini masih dipercaya sebagai mantri bondar dan merupakan mantri bondar ketiga sejak leluhurnya memberlakukan sistem ini di jaman pemerintahan kolonial Hindia. Belanda.

Kini, setelah kawasan Simaretong berkembang menjadi empat desa (Haunatas, Bonandolok, Tanjungrompa dan Siranap), tali air warisan leluhur yang bersumber dari hutan Sibalu-buali itu masih terpelihara dan memberikan jasa lingkungan sebagai sumber air bersih bagi 253 kepala keluarga di keempat desa dan mengairi 300 hektar persawahan penduduk. Umumnya, mereka masih menanam padi varietas lokal seperti Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Namun jika terlambat penanaman, sering pula masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang.

Dalam pengelolaan sistem bondar, yang berhak mendapatkan pembagian air adalah warga keturunan dari keempat desa yang memiliki areal persawahan dan telah diadati pernikahannya. Namun jika ia meninggalkan kampung tersebut dan bermukim di daerah lain, maka ia akan kehilangan haknya dalam penggunaan tali air. Hak itu bisa dipulihkan kembali jika ia kembali lagi bermukim di wilayah keempat desa ini.

Bagaimana jika terjadi kerusakan tali air? “Tergantung tingkat kerusakannya. Kalau kerusakan ringan, cukup jaga bondar (pengurus tali air) yang memperbaikinya. Misalnya, salah satu jaringan bondar jebol. Tapi kalau keruskaan atau gangguan tergolong berat, seperti longsor di hulu dan menutup bondar, ya selaku mantri bondar saya meminta masyarakat untuk membantu secara bergotong royong,” jelas Jansen.

Bagaimana pula sumber dana untuk perawatan dan pengawasan bondar? Nah, setiap warga yang menggunakan air diwajibkan membayar sebesar 2 kaleng padi (24 kg) setiap tahun. Khusus anggota baru yang berasal dari luar keturunan keempat desa, diwajibkan membayar biaya awal keanggotaan berupa 12 kg karet dan 3 tabung padi. Beras kontribusi warga ini selanjutnya dijual oleh mantri bondar dan uangnya digunakan untuk merawat saluran irigasi dan sebagian disisihkan untuk upah mantri bondar dan jaga bondar. Pembagian upah untuk jaga bondar diatur oleh mantri bondar berdasarkan hari kerja yang dikontribusikan oleh setiap jaga bondar dalam setahun.

Nah, kesepakatan terpenting dari pengelolaan sistem bondar ini adalah larangan merusak hutan yang ada, terutama di hulu sungai dan di sepanjang daerah aliran tali air, sehingga siapapun yang berani menebang hutan di sekitar tali air dan hulu Aek Sirabun di belantara Sibual-buali harus berhadapan dengan masyarakat desa tersebut.
Jumat, Maret 20, 2009 | 1 komentar

Hindari Klaim Luar Negeri, Warisan Budaya Masuk Website

Andi Noorsaman Sommeng
http://www.depkumham.go.id
JAKARTA, DETIK.COM — Pemerintah tidak ingin kecolongan lagi dalam klaim kepemilikan warisan budaya. Langkah pencegahan yang segera dilakukan adalah memetakan data kekayaan budaya di seluruh provinsi.

"Kita ke daerah dan bikin website kekayaan intelektual komunal dalam website ini masing-masing daerah bisa mengupload apa yang mereka miliki dari daerah mereka," ujar Dirjen Hak Atas Kekayaan Intelektual Depkum HAM Andi Noorsaman Someng.

Hal tersebut ia sampaikan usai melakukan rapat koordinasi tim nasional penanggulangan pelanggaran hak kekayaan intelektual di Gedung Depkumham, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Kamis (22/1/2009). Menurut Andi, pihaknya sudah bekerjasama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dalam pendataan tersebut. Diharapkan setelah data terkumpul, klaim terhadap warisan budaya Indonesia dapat dihindari.

Sementara itu, langkah lain yang dilakukan untuk melindungi warisan budaya adalah dengan mendaftarkannya sebagai hak kekayaan intelektual. Lewat acara diskusi, seminar, lokakarya dan dialog publik, diharapkan kesadaran masyarakat bisa muncul dan "Selama kurun waktu enam bulan telah dilakukan sosialisasi dan seminar sebanyak 42 kali, dialog interaktif di radio dan televisi sebanyak 7 kali," pungkasnya. (mad/nrl)

(Sumber DETIK.COM, 22 Januari 2009)

Jumat, Maret 20, 2009 | 0 komentar

Napitupulu Family: Reportase Bonataon Napitupulu Sipakko 2009...

Written By napitupulusipakko on Kamis, Maret 19, 2009 | Kamis, Maret 19, 2009

Reportase Bonataon Napitupulu Sipakko 2009...


Rubrik reportase ini akan mengetengahkan segala even Bonataon Napitupulu yang di selenggarakan dari setiap punguan Napitupulu yang ada tanpa terkecuali.



Seperti yang kita tahu sebelumnya bahwa BONA TAON NAPITUPULU SIPAKKO telah terlaksana pada 22 February 2009 bertempat di Gd. Mulia Penas.

Melihat dari komposisi peserta dapat dipastikan peserta yang hadir sesuai estimasi. Ini terbukti seluruh kursi yang tersedia terisi dengan penuh. Mengenai persiapan dan kelengkapan Pesta juga telah di persiapkan dengan baik dan sempurna.Hanya saja mungkin ada sedikit kendala teknis yaitu pada orgen saat di mulainya kebaktian hingga selesai. Namun begitu secara keseluruhan acara berjalan dengan baik dan meriah.

Tak luput Gondang uning-uningan ikut memeriahkan acara tersebut dan tak ketinggalan para Napit Junior ikut manortor disusul muda-mudi sipakko yang tanpa sungkan-sungkan mempersembahkan tor-tor dadakan di iringi mangembas secara serempak. Ada sebuah sudut pandang ketika menyaksikan para pemuda dapat bersatu serempak maju dan mundur mangembas secara bersama.. Mungkinkah kebersamaan dan keserempak-an tersebut dapat mengalir dan tumpah hingga keluar gedung hingga memenuhi setiap Kaum Napitupulu tidak sebatas Sipakko namun juga mengalir ke setiap insan Napitupulu seperti Salim Babiat,Sieang hingga Mulia Raja...???
Kamis, Maret 19, 2009 | 0 komentar

Reportase Bonataon Napitupulu Sipakko 2009...



Rubrik reportase ini akan mengetengahkan segala even Bonataon Napitupulu yang di selenggarakan dari setiap punguan Napitupulu yang ada tanpa terkecuali.



Seperti yang kita tahu sebelumnya bahwa BONA TAON NAPITUPULU SIPAKKO telah terlaksana pada 22 February 2009 bertempat di Gd. Mulia Penas. Melihat dari komposisi peserta dapat dipastikan peserta yang hadir sesuai estimasi. Ini terbukti seluruh kursi yang tersedia terisi dengan penuh. Mengenai persiapan dan kelengkapan Pesta juga telah di persiapkan dengan baik dan sempurna.Hanya saja mungkin ada sedikit kendala teknis yaitu pada orgen saat di mulainya kebaktian hingga selesai. Namun begitu secara keseluruhan acara berjalan dengan baik dan meriah. Tak luput Gondang uning-uningan ikut memeriahkan acara tersebut dan tak ketinggalan para Napit Junior ikut manortor disusul muda-mudi sipakko yang tanpa sungkan-sungkan mempersembahkan tor-tor dadakan di iringi mangembas secara serempak. Ada sebuah sudut pandang ketika menyaksikan para pemuda dapat bersatu serempak maju dan mundur mangembas secara bersama.. Mungkinkah kebersamaan dan keserempak-an tersebut dapat mengalir dan tumpah hingga keluar gedung hingga memenuhi setiap Kaum Napitupulu tidak sebatas Sipakko namun juga mengalir ke setiap insan Napitupulu seperti Salim Babiat,Sieang hingga Mulia Raja...???

Semoga...... .....


Kalau mengacu ke Thema acara Bona Taon kali ini : "Ida ma denggan nai dohot sonang nai, molo tung pungu Sahundulan angka na marhaha maranggi". ( Pslm 133:1 )

Sekarang semuanya kembali kepribadi lepas pribadi masing-masing.

Kami cuma mencoba mengurai dan berbagi akan indahnya kebersamaan dan persatuan meski cuma sebatas berupa dokumentasi foto dalam attach berikut ini.





Selamat Menyaksikan,

Dikutip dari :http://napitupulu-family.blogspot.com
Kamis, Maret 19, 2009 | 0 komentar

KERAJAAN SAMUDERA PASAI

Kerajaan Samudera Pasai
Tuesday, 20 January 2009

Makam Nahrasyiah
http://melayuonline.com
MELAYUONLINE.COM


1. Sejarah

Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh.

Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar.

Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.

Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.

2. Silsilah

1. Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M)

2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)

3. Sultan Ahmad Laidkudzahi

4. Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M)

5. Sultan Shalahuddin (1405-1412 M)

6. ...................................

3. Periode Pemerintahan

Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga 16 M.

4. Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.

5. Struktur Pemerintahan

(Dalam proses pengumpulkan data).

6. Kehidupan Sosial-Budaya

Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.

Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzu/, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.

Sumber:

1. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 12. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka. 1990

2. Profil Propinsi Republik Indoensia, DI Aceh. Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara. 1992.

3. Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. 1999.

Kredit foto : Koleksi Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu

(Sumber MELAYUONLINE.COM, 20 Januari 2009)


Kamis, Maret 19, 2009 | 0 komentar

Presiden Disambut oleh raja Sipakko

Written By napitupulusipakko on Rabu, Maret 18, 2009 | Rabu, Maret 18, 2009

Presiden meresmikan pekan penghijauan nasional ke-15 di sumut, dihadiri tun razak, pm malaysia. perundingan presiden dan tun razak di wisma pertamina. penjelasan mensegneg tentang hasil perundingan. (nas)

TEPAT jam 9 pagi Sabtu 15 Nopember kemarin Presiden Suharto dan rombongan dari Jakarta mendarat di lapangan terbang Polonia Medan. Setengah jam kemudian menyusul Perdana Menteri Tun Razak dan rombongannya yang datang dari Kuala Lumpur. Dua puluh menit selanjutnya mereka meneruskan perjalanan ke Lumban Rang, kecamatan Lumbanjulu di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Tepat pada jam 10.30 helikopter yang membawa pimpinan negara Indonesia dan Malaysia itu mendarat dengan santai di lapangan darurat yang sudah berhari-hari disiapkan di sana. Masyarakat di sekitar Danau Toba, 12 ribu Pramuka yang berdiri di atas bukit gundul dan 3.000 pelajar serta pegawai negeri menyambut Pak Harto dan Razak dengan elu-elu "Ho ras" berkepanjangan.

Dengan disungkup udara segar dan sejuk, setelah kedua pembesar itu tiba di barak upacara, muncullah Raja Sipakko Napitupulu - mewakili Pengetua Adat Tapanuli Utara - berpidato upah upah dalam bahasa Batak. Kemudian diteruskan dengan upacara penyelimutan kain Ulos dan menyerahkan tongkat Tunggal Panaluan -- yang merupakan kebesaran adat di Batak--kepada Pak Harto dan Tun Razak.

Setelah mendengar laporan gubernur Marah Halim dan diusul penjelasan Menteri Pertanian Prof. Toyib Hadiwidjaja serta amanat Presiden meresmikan Pekan Penghijauan Nasional ke-15 yang mengambil lokasi di Lumban Rang Aek Natolu itu, Pak Harto, Tun Razak, Menlu Adam Malik Menlu Malaysia Tengku Ahmad Rithauddee, Mentan Toyib dan beberapa pejabat teras kedua negara masing-masing ambil bagian menanam pohon-pohon di kaki bukit. Sejam berada di Lumban Rang, rombongan meneruskan perjalanan 20 Km, liwat darat menyusur kaki Bukit Barisan ke Wisma Pertamina di Sibaganding, sebuah tempat strategis yang menjorok ke Danau Toba, 41« Km sebelum masuk ke kota turis Parapat dari arah Medan.

Selain sebagai tempat menginap di sini Pak Harto dan Tun Razak agak lama beristirahat. Selesai makan siang, tepat pada jam 15.00 wib Kepala Negara RI dan PM Malaysia memasuki kamar nomor 18 Wisma Pertamina, untuk mengadakan pertemuan empat mata. Di dalam buku acara disebutkan mereka akan berunding dengan mengenakan batik berlengan panjang. Tapi pada hari itu keduanya mengenakan jas mini, warna abu-abu. Pak Harto berbaju lengan pendek, sedang Tun Razak berlengan panjang.

Para wartawan diberi kesempatan memotret mereka yang sudah duduk di sofa, tidak sampai lima menit. Setelah itu protokol menutup jendela dan pintu ruangan khusus yang hanya luasnya sekitar 3 x 4 meter. Di belakang kursi Pak Harto duduk terpacak bendera Malaysia dan di belakang Tun Razk duduk berdiri bendera Merah Putih. Tiangnya lebih rendah sedikit dari tiang bendera Malaysia. "Kami sudah tukar bendera", kata Tun Razak tersenyum cerah. Ruangan kamar tempat mereka berunding menghadap ke arah barat Danau Toba cukup sejuk. Apa yang mereka bicarakan pada hari pertama selama dua jam, sama sekali tak bisa bocor keluar. Tapi bila dihubungkan dengan pidato Pak Harto di Lumbanjulu dan ditambah dengan keterangan Adam Malik di sana, "pembicaraan akan berkisar pada masalah penyelenggaraan KTT ASEAN yang tidak lama lagi bedangsung di Bali". Presiden juga ada mengemukakan soal, bahwa "jika kita bersama-sama dengan bangsa lain di Asia Tenggara ini dapat tumbuh dengan kokoh dan masing-masing memiliki ketahanan nasional, maka akan juga tumbuh ketahanan regional".

Dengan demikian, tambah Presiden lagi, "kawasan ini akan dapat kita urus bersama, menjadi tanggung jawab bersama di antara bangsa-bangsa Asia Tenggara sendiri dan tidak membiarkan masa depan kita ditentukan oleh bangsa-bangsa lain yang sering kali bertentangan dengan keinginan dan kepentingan kita". Untuk mencapai maksud itu dan membangun Asia Tenggara, "maka kita harus mengembangkan saling pengertian yang makin mendalam, persahabatan yang tulus dan bantu membantu". Tambah Pak Harto: "Untuk tujuan itulah, saya akan bertukar fikiran dengan "Yang Mulia Perdana Menteri Tun Abdul Razak dalam kunjungan beliau di daerah Sumatera beberapa hari ini". Kursi Untuk Razak Pertemuan pad hari kedua, Minggu, berlangsung 1 jam sehabis Presiden dan Perdana Menteri Malaysia ambil bagian main golf di lapangan "Sally" Parapat yang dimulai pada jam 8 lewat dan berakhir mendekati jam 12 .00 siang (semestinya hanya dua jam saja). Tun Razak sendiri agak sedikit lesu fisiknya.

Ia keihatan lebih tua, meski 3 tahun lebih muda dari Pak Harto. Selama di lapangan golf, sehabis memukul bola ia sering duduk di kursi yang sengaja dibawa untuknya. Tampaknya "diplomasi golf" tidak kelihatan. Tanpa ada diskriminasi wartawan dibolehkan terus menguntit mereka sampai permainan berakhir di hole 9. Pak Harto turun ke lapangan mengenakan kaus merk "Montagut" warna coklat muda, celana kekuningan tua, sepatu putih dan bertopi merah putih (diserahkan oleh Pimpinan Umum Pertamina Unit I, Haji Husni).

Tun Razak berkaus "Grand Slam" merah hati berleher putih, celana coklat tua, topi putih les kuning, bersepatu hitam dan dilengkapi glove merah di tangan kanannya. Mereka bermain golf ditemani pasangan Adam Malik dan Menlu Rithauddeen. Malamnya, hasil perundingan tidak resmi selama dua hari itu, sebelum acara kesenian berlangsung, barulah dapat diberikan, kepada wartawan melalui Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono SH. Selain membicarakan masalah regional dan bilateral, kedua pemimpin itu juga menyoroti secara khusus soal memperkokoh ketahanan nasional masing-masing negara. Di samping itu mereka juga secara bersama bercenderung tentang perlu adanya konsolidasi ASEAN untuk memungkinkan mempercepat pembangunan bangsa-bangsa yang menjadi anggotanya. Sementara soal KTT antara negara-negara ASEAN diharapkan dapat berlangsung pada awal tahun depan ini.

Sedangkan menyangkut soal Wawasan Nusantara yang menjadi konsepsi Indonesia, Tun Razak kembali mengemukakan dukungan Malaysia sesuai dengan hasil pertemuan Penang tempo hari. "Dengan pengertian, Wawasan Nusantara tersebut, tidak akan mengganggu kelancaran hubungan Malaysia dengan wilayah-wilayahnya, yaitu Sabah dan Serawak", katanya. Menurut statemen tersebut, keduanya juga menilai, bahwa pendekatan antara negara-negara besar terus berlangsung. Tapi di balik itu persaingan untuk menanamkan pengaruh mereka di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk negara-negara di Asia Tenggara berlangsung pula. Dan keadaan ini sudah tentu dapat mengganggu keamanan regional masing-masing negara bersangkutan. Karena itulah, mereka pun bersepakat untuk saling memperkuat ketahanan nasional masing-masing. Menurut Sudharmono, "kedua beliau merasa puas atas pertemuan kali ini" sebagai rangkaian kerja yang telah mereka adakan selama ini. Tidak ada berita lain.

Rabu, Maret 18, 2009 | 0 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.

Manusia Batak

Pengunjung

Flag Counter

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *




Kunjungan Presiden RI

Event Sipakko

Daftar Blog Saya