Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Tech News

INDUK MARGA BATAK & CABANG-CABANGNYA

Written By napitupulusipakko on Sabtu, Februari 28, 2009 | Sabtu, Februari 28, 2009


Siraja Batak punya dua anak:
I. Guru Tatea Bulan
II. Si Raja Isumbaon

Anak dari Guru Tatea Bulan : I.1 Saribu Raja
I.2. Limbong Mulana
I.3. Sagala Raja
I.4. Malau Raja

I.1 SARIBU RAJA:

I.1.1. Si Raja Lontung (Lontung Sisia sada Ina)
I.1.1.1. Toga Sinaga (Bonor, Ompu Ratus, Uruk)
2. Toga Situmorang (Pande, Lumban Nahor, Suhut ni Huta, Siringoringo, Rumapea, Sitohang)
3. Toga Pandiangan ( Pandiangan, Samosir, Gultom, Harianja, Pakpahan, Sitinjak)
4. Toga Nainggolan : a. Toga sibatu (Sibatuara, Parhusip)
b. Toga Sihombar (Lbn. Nahor, Lbn. Tungkup, Lbn. Raja, Lbn. Siantar, Hutabalian)
5. Toga Simatupang (Togatorop, Sianturi, siburian)
6. Toga Siregar (Silo, Dongoran, Silali/Ritonga/sormin, Siagian)
7. Toga Aritonang (Ompu Sunggu, Rajagukguk, Simaremare)

I. 1. 2. Si Raja Borbor :
(Pasaribu, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Batubara,
Pulungan,Hutasuhut, Daulay).

I. 2. LIMBONG : - Palu Onggang
- Langgat Limbong

I.3. SAGALA
(Hutaruar, Hutabagas, Hutaurat)

I.4. MALAU RAJA
(Pase, Nilambean, Manik&Damanik, Ambarita, Gurning)

Anak Dari Si Raja Isumbaon : II. 1. Tuan Sorimangaraja
II. 2. Si Raja Asiasi
II. 3. Sangkar Somalidang

II.1.1. Naimbataon atau PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton)
II.1.1.1. Simbolon Tua (Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, Maha, Nahampun)
2. Tamba Tua (Tamba, Sidabutar, Sidabalok, Siadari, Sijabat)
3. Munte Tua (Munte, Sitanggang, Sigalingging)
4. Saragi Tua (Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, Napitu)

II.1.2. NAIRASAON
II.1.2.1. Manurung
2. Sitorus
3. Sirait
4. Butarbutar

II.1.2.3. NAISUANON : * Tuan Sorba Dibanua
* Raja Tunggul
A. Tuan Sorba Dibanua
1. Sibagot Nipohan : a. Tuan Sihubil (Tampubolon)
b. Tuan Dibangarna (Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar)
c. Tuan Somanimbil (Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol)
d. Sonak Malela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede)
2. Sipaet Tua (Hutahaean, Aruan, Hutajulu, Sibarani, Sibuea, Pangaribuan, Hutapea)
3. Silahi Sabungan (Silalahi, Sihaloho, Situngkir, Sondi, Sinabutar, Sinabariba, Sinabang, Pintubatu,
Tambun, Tambunan)
4. Si Raja Oloan (Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, Manullang)

B. Raja Tunggul
1. Si Raja Sobu (Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea/Tobing)
2. Siraja Sumba : a. Sihombing (Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit)
b. Simamora (Purba, Manalu, Debataraja, Tuan Sumerhan)
3. Siraja Naipospos (Marbun: Lbn.Batu, Banjar Nahor, Lbn. Gaol, Sibagariang, Hutauruk,
Simanungkalit, Situmeang)
Sabtu, Februari 28, 2009 | 0 komentar

Humor Daerah Sumatra

Written By napitupulusipakko on Jumat, Februari 27, 2009 | Jumat, Februari 27, 2009

Tidak bermaksud untuk menghina satu suku tertentu...just joke..Horas...

Pada jaman dahulu kala, hiduplah serorang pendekar wanita, Butet namanya. Sebelum lulus dari Pandapotan silat, ia harus menempuh ujian Nasution. Agar bisa berkonsentrasi, dia memutuskan untuk menyepi ke gunung dan berlatih.

Saat di perjalanan, Butet merasa lapar sehingga memutuskan untuk mampir di Pasaribu setempat.

Beberapa pemuda tanggung yang lagi nonton sabung ayam sambil Toruan, langsung Hutasoit-soit melihat Butet yang seksi dan Hotma itu. Tapi Butet tidak peduli, dia jalan Sitorus memasuki rumah makan tanpa menanggapi, meskipun sebagai perempuan yang ramah tapi ia tak gampang Hutagaol dengan sembarang orang.

Naibaho ikan gurame yang dibakar Sitanggang dengan Batubara membutanya semakin berselera. Apalagi diberi sambal terasi dan Nababan yang hijau segar. Setelah mengisi perut, Butet melanjutkan perjalanan. Ternyata jalan ke sana berbukit-bukit. Kadang Nainggolan, kadang Manurung. Di tepi jalan dilihatnya banyak Pohan, kebanyakan Pohan Tanjung. Beberapa diantaranya ada yang Simatupang diterjang badai semalam.

Begitu sampai di atas gunung, Butet berujar "Wow, Siregar sekali hawanya"
katanya, berbeda dengan kampungnya yang Pangabean. Hembusan Perangin-angin pun sepoi-sepoi menyejukkan, sambil diiringi Riama musik dari mulutnya. Sejauh Simarmata memandang warna hijau semuanya.
Tidak ada tanah yang Girsang, semuanya Singarimbun. Tampak di seberang, lautan ikan Lumban-lumban. Terbawa suasana, mulanya Butet ingin berenang. Tetapi yang diketemukannya hanyalah bekas kolam Siringo-ringo yang akan di Hutahuruk dengan Tambunan tanah. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir hutan saja, yang suasananya asri, meskipun nggak ada Tiurma memlambai kayak di pantai.

Sedang asik-asiknya memnikmati keindahan alam, tiba-tiba dia dikejutkan oleh ular yang sangat besar. "Sinaga!" teriaknya ketakutan sambil lari Sitanggang-langgang. Celakanya, dia malah terpeleset dari Tobing sehingga bibirnya Sihombing. Karuan Butet menangis Marpaung-paung lantaran kesakitan. Tetapi dia lantas ingat, bahwa sebagai pendekar pantang untuk menangis. Dia harus Togar. Maka, dengan menguat-nguatkan diri, dia pergi ke tabib setempat untuk melakukan pengobatan.

Tabib tergopohg-gopoh Simangunsong di pintu untuk menolongnya. Tabib bilang, bibirnya harus di-Panjaitan.

"Hm, biayanya Pangaribuan" kata sang tabib setelah memeriksa sejenak.

"itu terlalu mahal. Bagaimana kalau Napitupulu saja?" tawar si Butet.
"Napitupulu terlalu murah. Pandapotan saya kan kecil".
"Jangan begitulah. Masa' tidak Siahaan melihat bibir saya Sihombing begini? Apa saya mesti Sihotang, bayar belakangan? Nggak mau kan?" "Baiklah, tapi pakai jarum Sitompul saja" sahut sang mantri agak kesel. "Cepatlah! Aku sudah hampir Munthe. Saragih sedikit nggak apa-apalah".

Malamnya, ketika sedang asik-asiknya berlatih sambil makan kue Lubis kegemarannya, sayup-sayup dia mendengar lolongan Rajagukguk. Dia Bonar-bonar ketakutan. Apalagi ketika mendengar suara disemak-semak tiba-tiba berbunyi "Poltak!" keras sekali.

"Ada Sitomorang?" tanya Butet sambil memegang tongkat seperti stik Gultom erat-erat untuk menghadapi Sagala kemungkinan

Terdengar suara pelan, "Situmeang". "Sialan, cuma kucing." desahnya lega. Padahal dia sudah sempat berpikir yang Silaen-laen. Selesai berlatih, Butet pun istirahat. Terkenang dia akan kisah orang tentang Hutabarat di bawah Tobing pada jaman dulu dimana ada Simamora, gajah Purba yang berbulu lebat. Keesok harinya, Butet kembali ke Pandapotan silatnya. Di depan ruangan ujian dia membaca tulisan: "Harahap tenang! Ada ujian.

"Wah telat, emang udah jam Silaban sih". Maka Siboru-boru dia masuk ke ruangan sambil bernyanyi-nyanyi. Di-Tigor-lah dia sama gurunya "Butet, kau jangan ribut!, bikin kacau konsentrasi temanmu!"

Butet, tanpa Malau-malau langsung Sijabat tangan gurunya, "Nggak Pakpahan guru, sekali-sekali?!"

Akhirnya, luluslah Butet dan menjadi orang yang disegani karena mengikuti wejengan guru Pandapotan silatnya untuk selalu,
"Simanjuntak gentar, Sinambela yang benar!
Jumat, Februari 27, 2009 | 0 komentar

Pantai Pasifik Porsea, sama dengan Danau di Amerika itu

Written By napitupulusipakko on Kamis, Februari 26, 2009 | Kamis, Februari 26, 2009


Tidak ada sisi Danau Toba yang tidak indah, semuanya indah, Danau terbesar di Asia Tenggara ini dikelilingi delapan kabupaten di Sumatera Utara.

Porsea satu kecamatan di kabupaten Toba Samosir (Tobasa) memiliki pantai Danau Toba yang sangat alami, namanya pantai Pasifik Porsea.

Masyarakat yang berada di kecamatan itu tidak tinggal diam, peduli dengan kemajuan pantai yang indah itu. Dimulai dari yang kecil, melakukan pembersihan pada lokasi pantai agar pantai yang indah itu semakin indah dipandang mata.

”Kecil memang, tetapi artinya besar sebab sampah-sampah yang berserakan di sekitar tepi pantai membuat pemandangan tidak enak dan tidak sejalan dengan indahnya pantai Pasifik itu,” kata Mangatur Manurung (43) penduduk desa itu.

Ia mengatakan sejak dahulu sebutan Pantai Pasifik sudah melekat untuk daerah itu, ”Sebelum kakek saya lahir pun, tepian ini sudah disebut Pantai Pasifik. Saya tidak tahu siapa yang memulainya tetapi sampai kini kami menyebutnya Pantai Pasifik,” katanya ketika bersama penulis di pantai Pasifik Lumban Manurung Porsea.

Sempurna sebagai daerah tujuan wisata, lokasinya di balik kota Porsea, terhindar dari kebisingan suara kendaraan yang melintas di jalur lintas Sumatera di Porsea. Hanya terdengar suara burung pipit pada hamparan sawah di sepanjang jalan menuju pantai.

Sepintas saat menelusuri jalan di antara area persawahan dan aliran sungai sepertinya mustahil ada danau di desa Patane Empat Lumban Manurung di kecamatan Porsea yang berjarak sekitar 3 kilometer dari kota Porsea, tepatnya di persimpangan jembatan sungai Asahan Porsea.

Biasanya di sekitar tepi danau Toba itu sering dilakukan upacara adat yang sekaligus dikaitkan dengan pemilihan para dewan kampung yang disebut horja. Memang cukup indah, bagi yang telah melihat indahnya Danau St. Monia di Amerika, pasti berdecak kagum, ”Bah! Sama dengan danau di Amerika itu”.

Pantai Pasifik Porsea memang banyak dikunjungi orang, terutama bagi mereka yang hobbi memancing, karena lokasinya sangat tepat menyalurkan hobi memancing ikan. Disamping itu juga bagi mereka yang ingin melepaskan kepenakan sangat tepat karena hamparan sawah dan danau yang biru memberikan kesejukan tersendiri bagi yang menatapnya.

“Dari dahulu tepian danau ini sudah ada dan sangat indah, tetapi masih sangat sunyi, tidak ada orang yang datang berkunjung,” kata Berlin Manurung (65) penduduk desa itu.

Katanya dahulu yang ada hanyalah pasir putih. Dia bersekolah di desa itu dan hidupnya dari hasil danau itu, ”Ayah saya seorang nelayan ikan di Danau Toba,” ujarnya.

Berlin Manurung bangga desa tempatnya dilahirkan dan dibesarkan dijadikan objek wisata dan menjadi satu brand untuk kota Porsea. Bisa saja menjadi brand Porsea sebab dari pantai Pasifik itu menjadi alternatif untuk berlibur dengan konsep penyatuan olahraga dan wisata menjadi ciri khas pantai itu.

Memang untuk mengelola pantai Pasifik itu menjadi tujuan wisata tidak bisa dilakukan instan, butuh waktu tetapi setidaknya harus segera dimulai dari sarana yang dibutuhkan seperti jalan ke lokasi, adanya beberapa sepeda air, kapal motor sebagai sarana bagi para wisatawan yang datang, keamanan, kenyamanan menikmati pemandangan danau yang indah betah berlama-mala dan merasakan keteduhan, kenyamanan di Desa Lumban Manurung.

Meskipun indah tetapi kini masih sepi, idealnya tidak demikian, pemerintahan kabupaten Toba Samosir harus peduli dan menjadikannya sebagai daerah tujuan wisata. Sayangkan! Pantai seindah itu tidak dimaksimalkan.

••• Fadmin Prihatin Malu

Kamis, Februari 26, 2009 | 0 komentar

Legenda Danau Toba

Written By napitupulusipakko on Rabu, Februari 25, 2009 | Rabu, Februari 25, 2009

Di rangkum dari Hasil cerita orang tertua setempat.

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang pemuda tani yatim piatu di bagian utara pulau Sumatra. Daerah tersebut sangatlah kering. Pemuda itu hidup dari bertani dan mendurung ikan, hingga pada suatu hari ia mendurung,sudah setengah hari ia melakukan pekerjaan itu namun tak satu pun ikan di dapatnya.

Maka dia pun bergegas pulang karena hari pun mulai larut malam, namun ketika ia hendak pulang ia melihat seekor Ikan yang besar dan indah , warnanya kuning emas. Ia pun menangkap ikan itu dan dengan segera ia membawa pulang ikan tersebut, sesampainya di rumah karena sangat lapar maka ia hendak memasak Ikan itu tetapi karena indahnya ikan itu.

Dia pun mengurungkan niatnya untuk memasak ikan itu, ia lebih memilih untuk memeliharanya, lalu ia menaruhnya di sebuah wadah yang besar dan memberi makannya, keesokan harinya seperti biasanya ia pergi bertani ke ladangnya, dan hingga tengah hari Ia pun pulang kerumah, dengan tujuan hendak makan siang, tetapi alangkah terkejutnya dirinya, ketika melihat rumahnya, didalam rumah nya telah tersedia masakan yang siap untuk di makan, ia terheran heran, ia pun teringat pada ikannya karena takut di curi orang, dengan bergegas ia lari ke belakang, melihat ikan yang di pancingnya semalam. Ternyata ikan tersebut masih berada di tempatnya, lama ia berpikir siapa yang melakukan semua itu, tetapi karena perutnya sudah lapar , akhirnya ia pun menyantap dengan lahapnya masakan tersebut.

Dan kejadian ini pun terus berulang ulang, setiap ia pulang makan, masakan tersebut telah terhidang di rumahnya. Hingga pemuda tersebut mempunyai siasat untuk mengintip siapa yang melakukan semua itu, keesokan harinya dia pun mulai menjalankan siasatnya, Ia pun mulai bersembunyi diantara pepohonan dekat rumahnya. Lama ia menunggu, namun asap di dapur rumahnya belum juga terlihat, dan ia pun berniat untuk pulang karena telah bosan lama menunggu, namun begitu Ia akan keluar dari persembunyiannya, Ia mulai melihat asap di dapur rumahnya, dengan perlahan lahan ia berjalan menuju kebelakang rumah nya untuk melihat siapa yang melakukan semua itu.

Alangkah terkejutnya dirinya ketika ia melihat siapa yang melakukan semua itu, Dia melihat seorang Wanita yang sangat cantik dan ayu berambut panjang , dengan perlahan lahan Ia memasuki rumahnya, dan menangkap wanita tersebut. Lalu Ia berkata,

“hai .. wanita, siap kah engkau, dan dari mana asalmu?”

Wanita itu tertunduk diam, dan mulai meneteskan air mata, lalu pemuda itu pun melihat ikannya tak lagi berada di dalam wadah. Ia pun bertanya pada wanita itu,

“hai wanita kemanakah ikan yang di dalam wadah ini?”

Wanita itu pun semakin menangis tersedu sedu, namun pemuda tsb terus memaksa dan akhirnya wanita itu pun berkata

“Aku adalah ikan yang kau tangkap kemarin” .

Pemuda itu pun terkejut, namun karena pemuda itu merasa telah menyakiti hati wanita itu , maka pemuda tsb berkata,

“Hai wanita maukah engkau menjadi Istri ku..??”,

Wanita tsb terkejut , dia hanya diam & tertunduk ,lalu pemuda tsb berkata

“Mengapakah engkau diam ..!!” .

Lalu wanita tsb pun berkata , “ aku mau menjadi istri mu .. tetapi dengan satu syarat, apakah syarat itu balas pemuda itu dengan cepat bertanya, wanita itu berkata,

“Kelak jika anak kita lahir dan tumbuh, janganlah pernah engkau katakan bahwa dirinya adalah anakni Dekke(anaknya ikan)”.

Pemuda itu pun menyetujui persyaratan tsb dan bersumpah tidak akan mengatakannya, Dan menikahlah mereka.

Hingga mereka mempunyai anak yang berusia 6 tahunan , anak itu sangatlah bandal (jugul) dan tak pernah mendengar jika di nasehati, Lalu suatu hari sang ibu menyuruh anaknya untuk mengantar nasi ke ladang ketempat ayahnya, anak itu pun pergi mengantar nasi kepada ayahnya, namun di tengah perjalanan ia terasa lapar, Ia pun membuka makanan yang di bungkus untuk ayahnya, dan memakan makanan itu. Setelah selesai memakannya, kemudian ia pun membungkusnya kembali dan melanjutkan perjalanannya ketempat sang ayah, sesampainya di tempat sang ayah Ia memberikan bungkusan tersebut kepada sangayah, dengan sangat senang ayahnya menerimanya, lalu ayahnya pun duduk dan segera membuka bungkusan nasi yang di titipkan istrinya kepada anaknya, alangkah terkejutnya ayahnya melihat isi bungkusan tersebut. Yang ada hanya tinggal tulang ikan saja,sang ayah pun bertanya kepada anaknya

“hai anakku., mengapa isi bungkusan ini hanya tulang ikan belaka”, anaknya nya pun menjawab, “ di perjalanan tadi perutku terasa lapar jadi aku memakannya”, sang ayah pun emosi, dengan kuat ia menampar pipi anaknya sambil berkata

“Botul maho anakni dekke (betul lah engkau anaknya ikan),”

Sang anak pun menangis dan berlari pulang kerumah.,sesampainya dirumah anaknya pun menanyakan apa yang di katakan ayahnya

“mak .. olo do na di dokkon amangi, botul do au anakni dekke (mak .benarnya yang dikatakan ayah itu , benarnya aku ini anaknya ikan)” mendengar perkataan anaknya ibunya pun terkejut, sambil meneteskan air mata dan berkata di dalam hati.

“Suami ku telah melanggar sumpahnya,dan sekarang aku harus kembali ke alamku,”

Maka , langit pun mulai gelap , petir pun menyambar nyambar, Hujan badai pun mulai turun dengan derasnya, sang anak dan ibu raib, dari bekas telapak kaki mereka muncul mata air yang mengeluarkan air sederas derasnya, hingga daerah tersebut terbentuk sebuah Danau, yang Diberi nama Danau TUBA yang berarti danau tak tau belas kasih ,tetapi karena orang batak susah mengatakan TUBA, maka danau tersebut terbiasa disebut dengan DANAU TOBA..

Sekian terima kasih,

NB : Menurut Warga setempat, sang ibu kembali berubah menjadi Ikan yang sangat besar(penunggu danau), dan akan meminta tumbal setiap setahun sekali, dan sampai sekarang belum ada yang bisa mengukur dalamnya Danau tersebut .Karena telah banyak Turis - turis yang Coba menyelam ke danau namun tak pernah kembali, Dalam danau yang ada di buku hanyalah perkiraan saja bukan sebenarnya -nya

dikutip dari berbagai sumber

Rabu, Februari 25, 2009 | 0 komentar

Legenda Raja Sisingamangaraja XII

Written By napitupulusipakko on Selasa, Februari 24, 2009 | Selasa, Februari 24, 2009

Pada tahun 1875 Patuan Bosar yang kemudian digelari dengan Raja Ompu Pulo Batu, ditabalkan menjadi Si Sisingamangaraja XII di Bakara. Si Singamangaraja XI (Ompu Sohahuaon), ayahanda Si Singamangaraja XII, nyatanya telah berfungsi sebagai Raja-Imam Batak dalam tenggang waktu yang lama sekali (50 tahun), yaitu dari tahun 1825 hingga tahun 1875, yakni setelah Tuanku Rau, penganjur aliran wahhabi itu membunuh Si Singamangaraja X (Ompu Tuan Nabolon) pada tahun 1825 di dekat Siborong-borong.

Menurut adat istiadat Batak, putra tertua dari suatu keluargalah yang diutamanakan melanjutkan pekerjaan dan fungsi orang-tuanya, khususnya di bidang adat dan pemerintahan. Karena itulah maka penduduk di Bakara dan sekitarnya ingin menabalkan Ompu Parlopuk menjadi Si Singamangaraja XII. Tetapi karena untuk dapat menjadi Si Singamangaraja, seseorang harus mempunyai ciri-ciri kharismatis pula. Persyaratan itu harus dapat dipenuhi oleh orang yang akan ditabalkan menjadi penerus pimpinan kerajaan dan keimanan Si Singamangaraja. Kepemimpinan Kharimatis harus ada pada setiap Si Singamangaraja, yang pada masa lampau, di yakini selalu syarat mutlak daripada kepemimpinan dalam kerajaan, oleh penduduk yang masih dipengaruhi oleh suasana magis dan mystis, Calon Si Singamaraja harus dapat mencabut PISO GAJA DOMPAK dari sarungnya, menurunkan hujan dan membuat tanda-tanda luar biasa (mukjizat).Persyaratan ini nyatanya tidak dapat dipenuhi oleh Ompu Parlopuk tetapi dapat dipenuhi oleh adiknya, yaitu Patuan Bosar. PISO GAJA DOMPAK itu ada sejak Si Singamangaraja I yaitu sekitar pertengahan abad XVI masehi. PISO GAJA DOMPAK adalah lambang kerajaan Si Singamangaraja. Keris itu bukanlah sembarang keris. Keris panjang ini adalah salah satu terpenting di kerajaan Si Singamangaraja yang di mulai dan berpusat di Bakara, ditepi Danau Toba, hanya sekitar 8 km dari Pulau Samosir yang indah itu.

Setelah melalui suatu proses yang berliku-liku, patuan Bosar pun, yang sebenarnya masih muda belia (sekitar 17 tahun) ditabalkan pada tahun 1875 menjadi Si Singamangaraja XII, karena ia mampu mencurahkan hujan pada musim kemarau yang parah waktu itu.

Selaku singa yang melampaui dan singa yang terlampaui “beliau mempunyai fungsi sebagai pengatur kerajaan manusia bermata hitam” di Sumatra. Ini ditambah lagi dengan fungsi kepemimpinannya dalam bidang agama, adat istiadat, hukum, ekonomi, pertanian pendidikan, kebudayaan dan militer. Jadi jelas bukan hanya sebagai PRIESTER KONING sebagaimana dikemukakan oleh pihak kolonial Belanda.

Si Singamangaraja bukanlah tokoh mitologis, melainkan tokoh historis yang pernah benar-benar hidup dan berjuang demi kepentingan rakyat ketika mengadakan perlawanan sengit terhadap Belanda.

Si Singamangaraja diakui sebagai raja dan imam besar (DATU BOLON) oleh semua suku Batak. Akan tetapi selain dia, rakyat masih mempunyai imam-imam di daerah- daerah dan kampung-kampung. Mereka inilah yang mempunyai hak untuk melakukan upacara pengorbanan dan pemujaan di tempat masing-masing, seperti pada saat sebelum dan sesudah anak lahir, waktu pemberian nama, pada pesta perkawinan dan upacara kematian.

Perang yang berlangsung selama 30 tahun di Sumatra Utara itu berakhir secara tragis, bukan bagi keluarga Si Singamangaraja XII dan rakyat Sumatra Utara, melainkan juga bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia di seluruh Nusantara. Hal ini demikian mengingat bahwa perjuangan Raja Si Singamangaraja XII bukan saja demi kepentingan dirinya, atau kepentingan keluarganya sendiri, melainkan berupa perjuangan Nasional yang dilakukan bersama-sama dengan suku bangsa lain untuk melawan para penjajah Belanda yang datang merebut negeri dan kekayaan penduduk Indonesia.

Pada tanggal 17 Juni 1907, hari yang naas, Raja Si Singamangaraja XII telah gugur di tembak oleh anak buah Christoffel. Raja Si Singamangaraja XII tidak gugur sendirian. Bersama dengan beliau turut juga gugur dua orang putra kendungnya, para pejuang yang tidak kenal kata menyerah dalam kamusnya, yakni Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Pun seorang putrinya yang berusia 17 tahun yang bernama Boru Lopian, seorang srikandi sejati yang selama ini dilupakan - turut juga tewas oleh berondongan peluru Belanda di suatu jurang yang ditumbuhi hutan rimba yang kelam, di Sindias di kaki gunung Sitopangan, kira-kira 9 - 10 km dari Pearaja, Sionomhudon, Tapanuli, Sumatra Utara. Seorang tokoh lain bernama Ompu Parlopuk, abang Si Singamangaraja XII, telah meninggal sebelumnya ketika mengadakan perang gerilya menghadapi Belanda. Permaisuri Si Singamangaraja XII, Boru Situmorang, menjelang tertembaknya Si Singamangaraja XII meninggal pula karena bergerilya di tengah hutan rimba Sumatra Utara. Bahkan cucunya yang sangat dicintainya, Pulo Batu, Putra Patuan Nagari telah menutup usia pada umur amat muda karena kelaparan ketika berkecamuknya perang gerilya dan dalam keadaan dikejar-kejar oleh Belanda. Ucapan terakhir Si Singamangaraja XII ketika gugur di jurang Sindas, Sitopangan, di Sumatra Utara ialah “AHU SI SINGAMANGARAJA”.

Dikutip dari :

  1. AHU SI SINGAMANGARAJA Oleh : Prof. DR.W. Bonar Sidjabat
  2. MAKNA WIBAWA JABATAN DALAM GEREJA BATAK Oleh : Dr. Andar M. Lumbantobing
Selasa, Februari 24, 2009 | 0 komentar

Penulisan Sejarah Batak

Written By napitupulusipakko on Senin, Februari 23, 2009 | Senin, Februari 23, 2009

Banyak orang menyangka bahwa penulisan sejarah Batak baru dimulai pada abad ke-20. Hal ini dapat dimaklumi karena buku-buku yang beredar di tengah-tengah masyarakat ditulis oleh pakar-pakar sejarah yang terperangkap dalam misi dan pemahaman sekitar zaman Belanda dan peran-perannya dalam masyarakat Batak.

Namun, bila kita cermati dengan sungguh-sungguh, penulisan sejarah Batak sebenarnya telah lama dilakukan setidaknya sejak berabad-abad yang lalu oleh para sultan dan cendikiawannya, jauh sebelum buku-buku versi Belanda mendominasi perpustakaan-perpustakaan nasional.

Naskah-naskah sejarah Batak tersebut merupakan kunci utama dalam mengungkap apa yang disebut dengan misteri dan legenda-legenda dalam buku modern sekarang ini. ‘Misteri dan legenda’ tersebut muncul akibat dari persepsi sempit yang banyak dianut oleh para pakar modern yang malah dianggap sebagai buku pegangan.

Gejala yang paling lucu dari penulisan sejarah tersebut adalah dengan mengganggap buku pegangan tersebut sebagai acuan mutlak dan mulai mengembangkannya dengan ‘teori-teori’ yang sepertinya masuk akal dengan berbagai hipotesa dari zaman-zaman yang paling langka. Sepertinya ada kesengajaan untuk melompati dan melangkahi zaman pertengahan, saat zaman sebelumnya langsung dihubungkan dengan zaman sekarang. Yang sudah barang tentu menghasilkan sebuah kesimpulan yang sangat keliru.

Contoh utama dari pemahaman itu, terdapat dalam pemahaman tokoh Raja Uti, Jonggi Manoar dan lain sebagainya yang malah menimbulkan bias yang sangat jauh, sampai-sampai malah memperkaburkan sejarah tersebut.

Hilangnya peran kosakata Barus dan beberapa negeri lainnya dalam pembahasan sejarah Batak modern ini, telah menciptakan gap-gap dan lobang-lobang yang menganga dalam penulisan sejarah sehingga sejarah Batak menjadi eksis tanpa bentuk.

Peran kesultanan Barus-baik individu lingkar elit maupun masyarakat cendikiawan di dalamnya- dalam penulisan sejarah yang selama ini diendapkan, sebenarnya sangat signifikan dalam membantu memahami sejarah kuno Batak tanpa hipotesa-hipotesa yang kelihan benar tapi sangat ngawur.

Beberapa naskah yang berhasil dikumpulkan saat masih berkuasanya kesultanan-kesultanan di Barus adalah:

Asal Turunan Raja Barus

Naskah ini sekarang berada di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 162. Dalam katalog van Ronkel naskah ini bernomor Bat. Gen. 162.

Naskah ini menguraikan keturunan, pemukiman dan hukum-hukum raja-raja Barus. Dengan beberapa kekecualian, kumpulan naskah itu mengenai pemukiman dan sejarah keluarga raja-raja Barus di Hulu.

Bagian awal menceritakan perkembangan dan mobilitas orang Batak marga Pohan dan Pardosi, daerah-daerah yang mereka buka dan bangun, peperangan dan perebutan wilayah dengan marga lain dan lain sebagainya.

Semuanya dijilid menjadi satu buku unkuran folio dengan sampul karton. Bagian-bagiannya kebanyakan ditulis dengan tinta, dengan huruf Arab Melayu atau yang sering juga disebut dengan tulisan Jawi.

Di naskah ini juga didapat sejarah Negeri Rambe, hubungan diplomasi dan perdagangan antara Aceh dan Tanah Batak, antara Kesultanan Barus dan orang-orang Toba, Dairi, Pusuk Buhit, Bakkara, Lintong, Tukka, marga Pasaribu dan Naipospos. Naskah ini sendiri dimulai dengan sebuah pembukaan “Inilah hikayat cerita Barus permulaannya Batak datang dari Toba dari suku Pohan seperti tersebut di bawah ini.”

Dari penjelasan mengenai Negeri Rambe, didapat sebuah pemahaman mengapa marga Pohan dan Pardosi yang menjadi pembuka dan raja di tempat tersebut, menjadi sangat sedikit jumlahnya.

Hal yang penting adalah tercatatnya sejarah keluarga raja-raja Hulu di Barus, silsilah dan tarombonya, dan beberapa aturan dan perundang-undangan dalam kesultanan yang sangat berguna dalam kelangsungan eksistensi pemerintahan saat itu.

Juga terdapat fasl-fasal mengenai adat istiadat dan tatakrama dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam pengangkatan raja dan para pejabat negara seperti penghulu, kebiasaan dalam pemakaman dan lain sebagainya seperti perjanjian-perjanjian kenegaraan dan adat.

Selain yang bersangkutan dengan raja-raja hulu, naskah ini juga mencatat sejarah dinasti yang memerintah di hilir.

Hikayat Cerita

Naskah yang berisi sejarah dan perjalanan Raja Hulu dan alasan-alasan utama dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya dalam mengambil keputusan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya yang bersangkutan dengan tata kelola pemerintahan.

Sejarah Tuanku Batu Badan

Naskah ini dimiliki oleh Zainal Arifin Pasariburaja yang kemudian dibahas oleh Jane Drakard, berisi mengenai segala sesuatu tentang Kesultanan Barus Hilir yang sering juga disebut orang sebagai Negeri Fansur.

Naskah ini juag menjadi pusat data dan dokumentasi ibukota kesultanan Barus Hilir yang sekarang ini sudah mulai menghilang dari permukaan bumi, baik yang disebabkan oleh alam maupun tangan-tangan manusia. Juga terdapat sejarahawal terbentuknya pemerintahan Raja Berempat atau Raja Na Opat di Negeri Silindung.

Di dalamnya terdapat banyak sejarah mengenai hubungan pertalian adat dan budaya antara Barus dan Minang dan bahkan beberapa raja-raja hilir memerintah sampai ke negeri Tarusan di Tanah Minang seperti Sultan Main Alam Pasaribu mengikuti jejak leluhurnya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.

Hikayat Keturunan Raja di Kuria Ilir

Ditulis di Barus pada tanggal 26 Februari 1896 oleh Sultan Alam Syah untuk kepentingan Belanda. Naskah ini pernah dikutip oleh K.A. James dalam sebuah bukunya di tahun 1902.

Hikayat Raja Tuktung

Naskah ini disimpan dalam koleksi di Perpustakaan Universitas Leiden dengan nomor Co. Or 3205 pt. B. Naskah ini merupakan kunci penting dalam penelusuran beberapa sejarah Batak Toba, khususnya Negeri Rambe. Kemasyhuran Raja Tuktung dari Tukka tidak saja di seantero Kesultanan Barus tapi juga di hampir seluruh tanah Batak. Nama Raja Tuktung banyak dikutip di beberapa naskah maupun pustaha-pustaha kuno Batak namun secara tidak lengkap.

Panjangnya 42 halaman berisi syair-syair indah menggunakan Arab Melayu alias Jawi. Naskah ini sangat jelas dalam menjelaskan kronologi sejarah permulaan Barus dan hubunganya dengan Tanah Batak pada umumnya serta hubungan erat keduanya dengan Aceh. Juga terdapat dokumentasi insiden peperangan antara Aceh dan Barus yang berakibat kepada kematian Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.

Senin, Februari 23, 2009 | 0 komentar

SEJARAH TUGU MARGA

Tugu Sejarah Ompu Raja Sipakko Napitupulu

Tugu Sipakko Bukti Sejarah Nenek Moyang Keturunan Ompu Raja Sipakko

Di huta (kampung) Parparean, tepat di pinggir jalan Raya Sisingamangaraja, Kecamatan Porsea, Kabupaten Tobasa, menjulang sebuah tugu dengan tinggi 15 meter dari permukaan tanah. Tugu yang diresmikan pada bulan Mei tahun 1973 ini, adalah makam Ompu Raja Sipakko Napitupulu anak Sokkal Barita (Sibegu Laos), anak dari Salim Babiat, anak dari Raja Napitupulu, anak Sollak Malela

Di puncak bangunan tugu terdapat tombak runcing, menggambarkan Raja Sipakko seorang pemburu handal di zamannya. Di bawah tombak sisi kanan dan kiri, terdapat dua buah pohon beringin, artinya simbol dua adik Raja Sipakko, bernama Raja Sieang dan Mulia Raja Napitupulu.

Sebuah tiang besar berwarna coklat tua menjadi alas tombak memiliki makna, raja ini orang yang memiliki prinsip dan keyakinan yang kuat terhadap Ompu Mula Jadi Nabolon. Di bawah tiang besar itu, melingkar tujuh galapang (undakan) berarti di tugu itu dimakamkan pula ketujuh anak Raja Sipakko.

Singkat cerita ketujuh anak Raja Sipakko, anak pertamanya bernama Raja Marpaho ditinggalkannya bersama Ompungnya si Begu Laos di Magodang Sigurgur. Kemudian Raja Sipakko mengembara ke Sipallat, Porsea. Di sinilah anaknya yang ke dua dilahirkan namanya Gindaraja

Raja Sipakko pun melanjutkan pengembaraannya ke daerah pinggir Danau Toba. Disinilah, dia dikaruniai anaknya yang ketiga, Raja Pun Tumondol. Kemudian dia pun melanjutkan pengembaraannya ke Sigumpar, tempat anak keempatnya dilahirkan, namanya Partahi Sumurung.

Pria yang lahir di Lumban Sialaman kampung Siburian ini masih terus melanjutkan perantauannya ke arah Jonggi Ni Huta Kecamatan Silaen, sekarang. Di daerah inilah, Panalibung dan Pun Jumorong, anaknya yang kelima dan keenam dilahirkan. Dan Raja ini pun kembali ke Sigumpar, anaknya yang bungsu pun dilahirkan, diberinya nama Songalla.

Selain ketujuh anak, Raja Sipakko juga memiliki dua boru. Disimbolkan pada tugu itu, gambaran dua periuk disamping ketujuh galapang. Kedua boru Sipakko masing-masing, Boru Siburian Lumban Barat dan Boru Nai Munthe Raja Guk Guk. Dibawah tujuh galapang dan dua periuk, terdapat lima rumah adat Batak tampak depan, artinya lima istri Raja Sipakko yang menopang ke tujuh anak dan dua borunya.


Namanya masing-masing, Boru Siburian (Lumban Sialaman), Boru Sirait (Namorajogi) Sian Lumban Sirait, Boru Sirait (Parik Parhondor parik Sigaol Janjimatogu), Boru Hutagaol (Pargaolan Sigumpar), dan Boru Sianipar (Lumban Balik Parsoburan).

Sisi unik Raja Sipakko dengan istri lima. Dia mampu membangun kerukunan antar anak satu sama lain. Anak-anak Raja ini, tidak lah membedakan mana yang menjadi ibu kandungnya mana yang bukan ibu kandungnya. Karena anak kandung dari istrinya yang mana pun, jika ke rumah istrinya yang lain, tetap disambut sama seperti menyambut anak kandungnya sendiri.

Di masa hidupnya, sifat penolong Raja Sipakko sangat terkenal. Raja yang bijaksana ini, tidak senang melihat perbudakan dan penindasan dari kaum yang kuat. Karena itu, ia sering melepaskan perbudakan, tercatat hingga kini, sebuah umpama “Si raja indal-indal, Siraja indas pati. Molo Mangolus Raja sipakko, malua natarhurung harhar namartali” singkat artinya, jika raja sipakko datang, maka terlepas yang terkurung dan terikat..

Raja Sipakko juga disegani karena kesaktiannya. Dia pernah menggunakan kesaktiannya itu, dalam sebuah persaingan dengan marga Marpaung Juangga Nabolon (Simorong-morong) dan marga Siagian dari Huta Gurgur untuk memperebutkan hati Boru Sirait Parhondor dari Parik Sigaol. Dengan kemampuan yang dimilikinya, dibuatnyalah Boru Sirait itu sakit. Kedua saingannya itu tidak mampu menyembuhkannya. Sipakko pun muncul sebagai pemenang dan mempersunting boru Sirait dari Janji Matogu itu.

Selain itu, cerita legenda kesaktian Raja Sipakko masih sering didengar di Sipallat, Porsea. Kisahnya, adalah sebuah sumur dekat sebuah pohon beringin tua. Sumur itu dijaga ular besar sepanjang 15 meter milik Raja Sipakko. Konon jika akan terjadi sebuah bencana, ular itu memperlihatkan dirinya kepada masyarakat sekitar. Nama Sipakko yang disandangnya itu merupakan perwujudan harapan dari bapaknya, Raja Songkall Barita (Begu Laos) yang juga amat sakti. Harapannya, agar anaknya itu menjadi pemimpin yang tangguh, kuat, banyak keturunan, bijaksana dan memiliki banyak harta

Ketika Sipakko masih tujuh bulan dalam kandungan, Si Begu Laos meminta petunjuk Sang Khalik untuk nama bakal anaknya itu. Dari wangsit yang di terimanya, diberilah nama anaknya itu, Sipakko, artinya aras pohon enau yang sudah tua. Kayu enau, karena kayu itu dulu menjadi patok sawah. Selain itu, kayu itu tidak rentan dimakan zaman dan kuat. Kayu itu juga sebagai tonggak rumah adat Batak, yang menahan kerukunan rumah tangga dan kekerabatan sesama keturunan.

Nama itu pun sesuai gambaran kisah nyata Raja Sipakko yang memiliki kekayaan (memiliki lahan pertanian, pasar dan hidup sebagai nelayan pula), kesaktian, keturunan besar, kerabatan dalam pergaulan, kerukunan, dan penolong antar sesama. Di tugu itu, tercatat Raja Sipakko I (pertama), bahwa pernah ada dari keturunan Raja Pun Tumondol dinobatkan oleh ke tujuh keturunan Sipakko sebagai Raja Sipakko ke II yang disandang oleh Bachtiar Napitupulu. Dia dimakamkan disamping tugu Raja Sipakko Pertama.


Sedikit kisah Bachtiar Napitupulu (Raja Sipakko II) adalah seorang tokoh masyarakat, budaya dan Raja adat. Sipakko II inilah yang pernah memberi ulos kepada Presiden RI II, Soeharto saat berkunjung ke Sumatera Utara. Sekarang ini, keturunan Ompu Raja Sipakko Napitupulu sudah mencapai 18 sundut (generasi ke 18) dengan populasi kurang lebih 10.000 Kartu Keluarga tersebar di seluruh Indonesia, juga ke manca negara.

Bahkan tercatat dari keturunan Raja Marpaho, lewat misi zending Belanda pergi ke Pulau Mentawai. Inilah sebabnya, di pulau timur Indonesia itu kini, terdapat perkampungan Napitupulu

Pada Minggu, 22 Februari 2009, Pomparan Raja Ompu Sipakko akan mengadakan Pesta Bona Taon yang bertempat di Gedung Mulia Raja Jakarta . Untuk itu, pengurus berharap seluruh pomparan Sipakko Napitupulu, anak dan boru agar datang ke pesta silahturahmi itu.
Sumber : Pengurus Pomparan Ompu Raja Sipakko Napitupulu

Senin, Februari 23, 2009 | 0 komentar

Danau Toba yang terlupakan pada Pesta Danau Toba

Written By napitupulusipakko on Jumat, Februari 20, 2009 | Jumat, Februari 20, 2009


Oleh TB.Silalahi

Pesta Danau Toba ( PDT ) tidak berhasil meningkatkan tingkat hunian hotel-hotel di Parapat, tidak ada diskusi atau seminar yang membicarakan masa depan Danau Toba, tidak ada agenda acara tradisional yang mengundang minat wisatawan, Danau Toba tetap tenang tanpa riak sementara artis-artis ibukota sibuk menyanyi sembari memberikan pujian setinggi langit akan keindahan Danau Toba yang disambut tepuk tangan masyarakat yang menonton di sebuah lapangan besar dengan sound system yang gegap gempita dan sinar laser yang menjilat langit, Danau Toba tetap bisu sambil memantulkan sinar laser itu...." na dila perende !" gumam Danau Toba pelan. (selengkapnya)
Jumat, Februari 20, 2009 | 0 komentar

Relasi Antropologi dan Karya Misis Gereja di Tanah Batak

Written By napitupulusipakko on Kamis, Februari 19, 2009 | Kamis, Februari 19, 2009

I. Pendahuluan

Masyarakat Batak memiliki enam suku yang berdiam di bagian Utara pulau Sumatra. Keenam suku ini memiliki adat, bahasa dan sistem religi masing-masing. Setiap suku dapat dikatakan otonom dalam budayanya masing-masing. Namun demikian, kesatuan yang universal atas suku-suku ini dapat terjalin dalam sistem kekerabatan dalam marga. Marga sangat berperan untuk memersatukan perbedaan yang ada. Dalam Paper ini akan dibahas relasi antara antropologi dan karya misi Gereja di tanah Batak. Bagaimana gambaran budaya batak secara keseluruhan serta bagaimana Gereja memasuki nilai-nilai budaya yang telah ada, inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam paper ini.

II. Deskripsi (pemahaman akan situasi masyarakat dan Budaya Batak)

Secara antropologis, kita dapat melihat bahwa orang Batak terdiri dari enam suku. Suku itu adalah Batak toba, Simalungun, Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi. Semua suku ini memiliki sistem kelompok yang biasa disebut kekerabatan dalam marga. Marga merupakan identitas setiap pribadi yang membuatnya menjadi satu-kesatuan dalam keluarga. Baik itu keluarga dekat maupun keluarga yang jauh (dalam arti famili). Dengan marga orang dapat memposisikan dirinya dalam adat. Dalam hal ini konsekuensinya yakni setiap orang harus mengetahui dengan baik marganya.

Sebelum kekristenan masuk ke daerah Batak, setiap suku memiliki kepercayaan terhadap nenek-moyang dan yang masih eksis hingga sekarang adalah Parmalim (kepercayaan suku Batak toba). Sesudah kekristenan masuk, orang Batak mayoritas menganut agama Kristen baik itu Protestan maupun Katolik. Sedangkan agama Islam hanya berkembang bagian Selatan Tapanuli (Mandailing).

III. Pandangan Umum Antrpologis Tentang Kemanusiaan Dengan Nilai-Nilai Yang Dimiliki

3.1. Sistem Geanologi

Salah satu sumber yang berpengaruh dalam kehidupan orang Batak adalah sistem geanologi. Sistem ini biasanya dilihat dalam perkawinan. Dari perkawinan, orang Batak menurunkan marganya sesuai dengan garis genealogis dari ayah. Geneaologi berasal dari bahasa Yunani yakni Genos (family) dan logos yaitu (ilmu/teori). Geneaologi artinya asal-usul atau daftar keturunan nenek moyang atau sejarah keluarga. Dengan marga pula orang Batak menyadari dirinya bersaudara satu sama lain.[1]

3.2. Sistem Hukum secara umum

Dalam budaya Batak maupun dalam tata peradatannya diatur dalam suatu hukum yaitu Dalihan Na Tolu[2]. Pengertian Dalihan Na Tolu secara hurufiah adalah satuan tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Biasanya masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah Dalihan Na Tolu paopat sihal-sihal dimaknai sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk menyejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal . Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.

Dalihan Na Tolu adalah falsafah hidup orang Batak yang menunjukkan keterikatan hubungan internal dari ketiga posisi kekerabatan orang Batak dalam bermasyarakat yakni mendoakan setiap orang agar senantiasa “Horas-Horas”: Somba marhula-hula, elek mar Boru, jala Manat mar Dongan Tubu.

Somba marhula-hula artinya senantiasa tunduk dan hormat kepada hula-hula agar horas-horas sedangkan elek mar-Boru senantiasa mengasihi agar mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan. Manat mar-Dongan Tubu artinya agar berhati-hati menjaga ikatan persaudaraan supaya terhindar dari malapetaka atau kutukan dari saudara semarga. Setiap orang Batak adalah Raja. Raja disini tidak ada kaitannya dengan kerajaan, hanya secara umum dipakai dalam acara adat dan kehidupan sehari-hari orang Batak.

Dalam ikatan Dalihan Na Tolu lazim digambarkan dengan bentuk segitiga sama sisi, masing-masing disebut juga: Rajani Hula-Hula, Raja ni Boru, dan Raja ni Dongan Tubu. Laki-laki Batak di dalam bermasyarakat pasti pernah menduduki ketiga posisi Dalihan Na Tolu ini, menjadi hula-hula, boru, atau dongan tubu tergantung pada situasi dan kondisinya saat itu.[3] Berdasarkan Dalihan Na Tolu, kekerabatan orang Batak dibagi dalam tiga bagian yaitu; Hula-Hula (kerabat marga pihak isteri), Dongan Tubu (marga kita, dari garis ayah, kakek dan anak laki), Boru (kerabat perempuan dari ayah, saudara perempuan kita beserta marga suaminya).

3.3. Sistem sosial

Yang dimaksud dalam hal ini adalah sistem yang mengatur relasi dalam masyarakat yakni; relasi antar pribadi dengan pribadi lain maupun dalam suatu marga dengan marga lain[4]. Sistem sosial dalam masyarakat Batak diatur dalam norma-norma adat dan aturan (patik/uhum). Aturan adat sangat berpengaruh untuk kehidupan moral dalam relasinya dengan sesama, dengan Tuhan. Sitem sosial terjadi di kampung dan dalam marga. Kampung merupakan tempat untuk tinggal berbagai marga dan famili. Di dalam kampung biasanya dipimpin oleh pengetua adat atau dalam istilahnya raja huta (raja kampung). Sistem sosial sangat memengaruhi kedudukan seseorang dalam masyarakat. Seperti usia (kelahiran), jabatan, penduduk asli, dan perkawinan.[5]

Usia sangat memengaruhi kewajiban seseorang dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Usia itu terdiri dari anak-anak, anak muda (remaja), bapak-bapak/ ibu-ibu (yang sudah menikah tetapi belum tua), dan orang tua (yang sudah berumur tua). Dalam upacara adat biasanya dipimpin oleh orang tua (yang sudah berumur tua), merekalah yang biasanya pemegang keputusan dalam hal-hal adat, maupun dalam menyelesaikan masalah. Yang melaksanakan hal-hal yang berhubungan dengan keputusan tersebut adalah bapak-bapak muda (yang sudah menikah) dan anak muda (doli-doli). Anak-anak biasanya belum masuk dalam hitungan khususnya dalam hal peradatan.

IV. Nilai-nilai yang dimiliki orang Batak[6]
Pandangan orang Batak ada tiga sistem nilai budaya yang menjadi tujuan hidup secara turun-temurun yakni; kekayaan (hamoraon), banyak keturunan (hagabeon), dan kehormatan (hasangapon). Ketiga nilai ini sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari orang Batak;[7]

Pertama yakni; Hagabeon artinya banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang sangat tinggi. Konsep Hagabeon berakar, dari budaya bersaing pada jaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang besar.

Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut Saur matua bulung (seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat dibayangkan betapa besar pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.

Kedua yakni; hasangapon artinya kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-lebih pada orang Toba, pada jaman modern ini untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan. Ketiga yakni; hamoraon artinya kaya raya. Kekayaan adalah salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak untuk mencari harta benda yang banyak.[8]

V. Karya Misi Gereja dan Sejarahnya di Daerah Batak

Misi kekristenan pertama diawali di daerah Barus.[9] Barus, sebuah nama daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatera Utara. Tetapi, sejarah daerah ini sebenarnya sangat tua, setua ketika kapal-kapal asing beribu tahun sebelum Masehi singgah mencari kapur barus di sana. Dari Barus pula, agama Islam dan Kristen pertama-tama dikenalkan ke seluruh Nusantara.[10]
Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7. Makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, menguatkan adanya komunitas Muslim di daerah ini pada era itu.[11]

VI. Perjumpaan (pertemuan) Iman di daerah Batak dan kebudayaannya sebelum perjumpaan iman dengan orang Batak, mereka telah lebih dahulu memiliki kepercayaan kepada Mula Jadi Na Bolon yang diyakini sebagai Allah Pencipta[12] dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Pemujaan dilatarbelakangi oleh pandangan tentang ‘ugama dan ugari’. Ugama adalah hubungan manusia dengan kehidupan spiritual dan yang transenden, sedangkan ugari adalah hubungan manusia dengan kehidupan material, yang dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan adat. Tujuan penghayatan ajaran kepercayaan ugamo Batak adalah menuntun, membimbing hidup dan perikehidupan manusia di dunia dan memperoleh kehidupan abadi di akhirat yang disebut “Hangoluan ni tondi di Banua Ginjang”.[13]

Mula Jadi Nabolon memiliki tiga kuasa yaitu Hahomion (kebijaksanaan), habonaran (kesucian), dan hagogoan (kekuatan). Untuk menghormati ini diadakan upacara dengan sesajen. Melalui sesajen ini orang Batak percaya bahwa akan terjadi pertemuan antara banua atas dan banua toru (bawah). Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk memperoleh keselamatan manusia maupun tanaman dan ternaknya.[14]

6.1. Sejarah Singkat Misi kekristenan

Pada tahun 1825 pertama kalinya Misionaris bekerja di Tanah Batak, yaitu Pdt. Ward dan Pdt Burton yang diutus oleh Gereja Baptis Inggris. Tahun 1829, terjadi Perang Bonjol. Tuanku Rao menyerang bangsa Batak, dan pada 1834, Pdt Samuel Munson dan Pdt Henry Lyman diutus Bandan Zending Boston, Amerika Serikat menginjili di tanah Batak. Kedua Missionaris tsb mati martir di Lobu Pining (Tapanuli Utara). Pada tahun 1861, misionaris Protestan dari Rheinische missiongesellschaft mengawali pewartaan Injil di tanah Batak khususnya di bagian Tapanuli Utara. Pada tahun 1878 Katolik masuk dan mendirikan paroki di Medan. Dari sana para misionaris meneruskan misinya ke tanah Batak.[15] Hampir 90% orang Batak menjadi orang Kristen.

Menurut para ahli, agama Kristen diterima karena orang Batak melihat “etika” berdasarkan kepercayaan lama yang terkait dengan adat tidak bertentangan dengan kehidupan sebagai pemeluk agama Kristen. Mereka berpandangan bahwa untuk memperoleh hidup yang kekal adalah dengan menganut agama Kristen, sedang dengan menata sistem masyarakat sehari-hari adalah adat.[16]

VII. Relasi Antropologi Dengan Karya Misi Gereja Secara Khusus Katolik

7.1. Dari segi antropologi
7.1.1. Religiusitasnya

Batak tradisional mengenal seorang Allah Pencipta dari semesta alam. Nama Allah nasional Batak ini adalah Mulajadi Nabolon, artinya “Allah Pemula Alam semesta.” Rumusan nama ini dikatakan Ompu Raja Mulamula, Ompu Raja Mulana; Ibana do nampuna sude na tinompana; na ro sian si so marmula, ndang binoto nang unungna; na so olo mahua, na so tumanda mara. (“Empu Raja Mulamula, empu asal-muasal; Dia yang empunya segala ciptaan miliknya; yang berasal dari yang tanpa mula, akhirnya tak dinyana; yang tak jemah tua dan tak kenal bahaya”). Singkatnya: Mulajadi Nabolon adalah khalik semesta alam; Dialah Alfa dan Omega. Tentang paham ini, Batak tidak membutuhkan tambahan pemahaman.[17]

7.1.2. Nilai-nilai yang dikejar (misi orang Batak)

Orang Batak memiliki nilai budaya yang harus dikejar dalam kehidupan sehari-harinya yakni; hagabeon, hasangapon, dan hamoraon. Pengertian ketiga ini dapat dilihat dalam penjelasan di atas tentang nilai-nilai yang dimiliki orang Batak.

7.1.3. Norma-norma atau aturan adat

Norma-norma atau aturan adat dalam kehidupan dan interaksi orang Batak tercantum dalam falsafah Dalihan Na Tolu dalam tiga subjek yaitu: hula-hula, dongan tubu, dan boru. Ketiga ini disatukan dalam satu ungkapan “somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru”. Relasi dari ketiga ini tidak terpisahkan satu sama lain karena memiliki kesatuan yang kokoh sebagaimana dalam gambaran segitiga sama sisi. Untuk lebih jelasnya lihat penjelasan di atas mengenai sistem hukum seacara umum.

7.2. Dari segi karya misi Gereja

Gereja diutus untuk melaksanakan pemakluman kabar gembira keselamatan yang telah dibawa Yesus Kristus. Kerajaan Allah telah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil (Mrk 1. 15). Pewartaan kabar gembira mempunyai tujuan untuk memertemukan umat manusia dengan Kristus Sabda Allah yang menjadi manusia. Melalui Kristus kerajaan Allah menerobos masuk ke dalam dunia secara definitif dan tidak dapat ditarik kembali.[18]

Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Ia menjadi penebus seluruh umat manuia. Berkat Dialah kita melihat arti keselamatan yaitu diterima dengan penuh kasih oleh Allah, Abba kita, agar kita menjadi umat yang diubah sesuai dengan model Yesus Kristus. Inilah kabar Gembira bagi manusia yang harus diwartakan oleh Gereja yaitu keselamatan dalam Kristus. Keselamatan itu diwartakan kepada semua orang.[19]

VIII. Misi Gereja dalam Habatakon[20]

Kita mengetahui dengan jelas bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Mulajadi Nabolon dan Allah Tritunggal Mahakudus Kristen. Pertama adalah bahwa Allah orang Kristen adalah Allah yang Mahamurah dalam soal penebusan: Allah Bapa membiarkan Putra-Nya Yesus Kristus menjelma menjadi manusia untuk menebus dunia. Tidak ada ide penjelmaan dalam Habatakon. Tidak ada pula artikel iman bahwa Allah putra wafat dan bangkit. Ide kebangkitan sama sekali kosong dalam paham Batak, sehingga teologi penyelamatan Kristen jauh lebih kaya dari ide Allah dalam Habatakon.[21]

Karena ketiadaan ide penebusan ini, maka Batak menjadi sipelebegu, pemuja roh-roh, pemujaan Allah menjadi samar, kendati tidak pernah hilang. Kenyataan keimanan ini fatal, sebab menjerumuskan penganut agama Batak ke dalam agama begu (“roh-roh/ hantu”) dan kecemasan. Dimana-mana terdapat begu yang mengintip hidup manusia, ini dipahami karena tidak terdapat ide mengenai penebusan, pembebasan dan penyelamatan. Ide mengenai kebangkitan dan kebahagiaan surga adalah hampa.[22]


8.1. Letak relasi keduanya

Bagaimana kekristenan mencangkokkan dirinya di atas adat/aturan Batak ini? Kekristenan masuk dengan metode inkulturasi. Pertama ialah dengan melakukan prinsip bahwa keselamatan bukan lagi berasal dan berlandaskan patik/uhum atau peraturan-peraturan adat, melainkan pada cinta penebusan Allah dalam putra-Nya Yesus Kristus. Nasib manusia, di atas bumi dan akhirat samasekali tergantung kepada-Nya, yang membawa keselamatan jiawa-raga. Lewat wafat dan kebangkitan-Nya. Inilah pembebasan agung dari Yesus Kristus bahwa: Hamatean pandelean ni na so mar-Tuhan-i; hamatean parhitan lao manopot surgoi. (“ kematian putus asa bagi orang yang tak ber- Tuhan; kematianlah jembatan untuk mencapai surga”).[23]

Dengan prinsip ini terbukti bahwa Batak sipelebegu, mati digoda oleh begu numur dsb, menjadi agama ketakutan dan akhirnya agama keputusasaan (lungkas ni hosa), agama kedamaian (dame na sumurung), agama keceriaan (kabar gembira) agama pengharapan. Ai nungga talu hamatean di bahen Tuhan Jesus i, hangoluando dilean lao manopot surgo i. (maut sudah ditaklukkan oleh Tuhan yesus; dibawa-Nya kehidupan mewarisi surga). Inilah motif utama masuknya Batak menganut kekristenan.

Kedua ialah memilih titik-titik praktis inkulturasi. Terutama dalam biadang ritus penyucian, seperti pangurason, parpangiron, parpeleanon, diambil inti patinya menjadi misalnya, air kudus Katolik, pelean horbo bius ditingkatkan pada paham ekaristi, dsb. Selalu dengan “membabtis” paham Batak menjadi paham kristen, sehingga sungguh menjadi iman kristen sejati. Hal-hal yang netral, seperti gondang, tanpa kesulitan dapat diakomodasi, tentu setelah memolesnya sehingga tidak canggung bagi liturgi katolik yang anggun. Yang diinkulturasikan diambil dari segi yang serasi dan berpadanan dengan kekristenan.

Ketiga ialah pembentukan “citarasa katolik” (sensus catholicus) dalam keseluruhan corak hidup dan penghayatan di kalangan Batak. Sensus catholicus itu akan membuat saringan sendiri, mana yang tepat dan mana yang kurang tepat dalam inkulturasi. Disitulah yang akan terasa terungkap bahwa orang 100% katolik dan 100% Batak, sebab mengakar pada tradisi dan budayanya, dan sungguh menganut kekatolikan. Dalam tahapan ini, seorang akan sangat cinta iman dan Gereja-Nya, dan menganggapnya sebagai ungkapan diri yang penuh, sehingga ia tidak gampang bertukar agama. Disitu dia yakin bahwa apa yang dalam meraba-raba diupayakan kepada dan mendapat kepenuhannya dalam Gereja.[24]

IX. Refleksi Kritis dari Penulis

Refleksi ini akan diawali dari suatu pertanyan; mengapa orang Batak begitu getol dan melekat kepada adat Dalihan Na Tolu ini, seolah-olah mengingkarinya akan mendatangkan kiamat ke masyarakat? Dapat dikatakan karena adat Dalihan Na Tolu termasuk dalam artikel iman dan penentu hidup matinya eksistensinya Batak di atas bumi menurut artikel iman itu. Dalam artikel iman itu dikatakan Mulajadi Nabolon mencipta Allah Timurty, yakni Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan.

Diakui oleh hampir semua Batakologi bahwa, dengan mendasarkan Allah Trimurty, ditetapkan stelsel habatakon Dalihan Na Tolu. Ketiga pribadi yakni; Dewata Batara Guru, Soripada dan Manggala Bulan disebut “na tolu suhu, na tolu harajaon” (tiga suku dan tiga kerajaan). Di situlah diakui kehadiran dan fungsi-fungsi khas dari tiga puak, tiga kelompok, tiga tata kerajaan. Dalam Habatakon Dalihan Na Tolu, secara lebih mendasar diberlakukan pantun hangoluan, tois hamagoan (menjalankan aturan adat adalah kehidupan, mengabaikannya adalah kehilangan pegangan atau mati).[25]

9.1. Hubungan Dalihan Na Tolu dan Gereja
Apa hubungan dan manfaat dari Adat Dalihan Na Tolu dengan Gereja? Bagi seorang Batak tradisional, adat haBatakon Dalihan Na Tolu adalah sangat mendasar dan bersifat mutlak. Ia tidak dapat dianggap sebagai kebetulan atau sembarang adat yang dapat dikesampingkan begitu saja. Adat Dalihan Na Tolu, yakni Somba marhulahula, hormat mardongan tubu, jala elek marboru termasuk inti mutlak dari umpama pantun hangoluan, tois hamagoan. Karena itu, celakalah orang yang tidak mematuhi Adat Dalihan Na Tolu ini dalam melaksanakan perkawinannya, sebab akan terkutuk oleh Allah.

Misalnya yang kawin semarga harus diusir dari kampung agar kampung itu tidak binasa.
Mula jadi Na bolon yang menciptakan triade Dalihan Na Tolu memberikan harapan bagi Gereja untuk mempesiapkan hukum pernikahan bagi persyaratan perkawinan kekristenan. Menyusul persyaratan untuk pernikahan monogami. Dalam umpasa dikatakan: “si dangka ni arirang, arirang ni pulau batu; naso tupa sirng, naung ho saut di ahu; naso tupa marimbang, sai hot tondi dijabu.” (cabang mayang, mayang dari kampung pulo batu; tak jemah berpisah sekalipun kau jadi istriku; tak jemah berpoligami sebab atma tetap di rumah). Peribahasa ini bukan saja menegaskan bahwa ideal pernikahan adalah monogami, tetapi juga pernikahan yang lestari sampai mati.

Kendati dengan segala kecermatan, stelsel Dalihan Na Tolu, terutama paham triesa Dewata trimurti, yakni Batara guru, Soripada dan Mangala Bulan, dapat dijadikan “ bahan baku” untuk memahami misteri Allah Tritunggal, yakni Allah yang Esa dalam diri, Allah Tritunggal, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tetapi serentak harus ditegaskan dengan cermat: Dewata Trimurti adalah ciptaan Mulajadi Nabolon. Kekudusannya hanya lewat kepadatan sahala (numen, theion). Hubungan antara Dewata trimurti dengan Mulajadi Nabolon harus dipahami sebagai hubungan pencipta dengan ciptaan, sang Khalik dan khalikah.

9.2. Realitas Masyarakat Sekarang
Untuk sekarang ini, adat habatakon lebih dikenal oleh masyarakat Batak dan masyarakat luas lewat pernikahan. Dalam perkawinan ini orang Batak mengenal ciri Batak. Dalam perkawinan ini adat Batak Dalihan Na Tolu, yakni Hulahula, Boru dan Dongan Tubu harus dihadirkan dan difungsikan secara utuh. Memang adat Dalihan Na Tolu inilah poros dan tumpuan kehidupan adat habatakon. Jika seorang Batak tidak lagi melaksanakan adat Dalihan Na Tolu, maka itulah pertanda ia melangkah keluar dari lingkaran habatakon. Dengan kata lain, ia kehilangan jati dirinya sebagai orang Batak.

X. Penutup
Kita telah mendalami nilai-nilai budaya yang tercantum dalam habatakon dalam persfektif antopologi, dan bagaimana karya misi Gereja masuk ke dalamnya. Penulis menyimpulkan bahwa antropologi dan karya misi Gereja kiranya tidak dapat disangkal bahwa keterjalinan kedua kutub itu berjalan secara erat dan intim, sehingga sulit menarik garis lurus yang jelas kesimpulannya. Namun distingsi dapat dibuat lewat pendasaran inkulturasi sehingga keduanya tetap otonom di dalamnya.
Kamis, Februari 19, 2009 | 0 komentar

Bugis dan Peradaban Batak

Written By napitupulusipakko on Rabu, Februari 18, 2009 | Rabu, Februari 18, 2009

Peradaban Batak merupakan peradaban yang terbuka dengan pengaruh dan hubungan kebudayaan dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa Banjar dari Kalimantan diyakini sudah menyatu dengan Bangsa Batak karena Banjar sejak dahulu kala telah menjadi Bangsa pelaut dan maritim yang sampai ke Madagaskar untuk hubungan budaya, ekonomi dan lain sebagainya.

Dalam Tarombo marga Marbun diketahui bahwa, marga Marbun terbagi atas beberapa belahan marga yakni Lumban Batu, Lumban Gaol dan Banjar (Nahor). Ada yang mengatakan bahwa Mukkur juga merupakan bagian dari Marbun, yakni orang Marbun yang berdomisili di Dairi. Kata Banjar diyakini merupakan serapan dari kebudayaan dan keberadaan orang-orang Banjar di pesisir-pesisir Sumatera. Hubungan lainnya adalah dengan Bugis. Hubungan kebudayaan Batak dan Bugis disinyalir telah berlangsung lama dan keduanya saling membentuk hubungan simbiosis satu sama lain.

Masyarakat maritim Batak sudah tidak asing lagi dalam berhubungan dengan bangsa Bugis ini. Bahkan dikabarkan, Datu Na Sangti Si Bagot Ni Pohan, pernah membuat sebuah upaya budaya untuk mengasimilasikan navigator-navigator Bugis yang bermukim sementara di pelabuhan Internasional kuno Natal menjadi bagian dari Adat Dalihan Na Tolu dan memasukkan mereka dalam marga Nasution.

Keberadaan Bangsa Bugis di tanah Batak, tidak saja tercatat di pelabuhan Natal tapi juga di kota-kota maritim lainnya seperti Sibolga, Barus, Tapus dan Singkil. Mereka ini kebanyakan berprofesi sebagai pelaut, navigator, pedagang, musafir dan lain sebagainya.

Simbiosis yang saling menguntungkan tersebut berlangsung dengan waktu yang lama sehingga ada orang Batak, misalnya Lingga, yang mengaku merupakan bagian dari keturunan Bugis. Mungkin saja kedua bangsa ini telah menyatu di berbagai tempat di tanah Batak sehingga sulit untuk membedakan siapa keturunan siapa lagi.

Dalam konstitusi Dinasti Pardosi, penguasa Negeri Barus, dikatakan bahwa sumber dari segala sumber hukum diantaranya adalah Adat Batak, Cheti, Bugis, Islam dan Melayu. Dari sini dapat disimpulkan betapa mengakarnya kebudayaan Bugis ini berkolaborasi dengan peradaban Batak.

Tidak saja dalam periode abad pertengahan, Bangsa Bugis diyakini telah mengenal Bangsa Batak sejak zaman-zaman pra-Sejarah. Beberapa mitologi ketuhanan dan astronomi di kedua peradaban ini sangat mirip dan mempunyai kesamaan. Nama-nama kuno Batak juga banyak yang memakai nama-nama serapan seperti kata Daeng.

Namun, kolaborasi ini bukanlah berarti bahwa satu sama lain superior dengan yang lain, akan tetapi telah terjadi kerjasama budaya yang rekat dengan identitas masing-masing. Artinya kedua peradaban ini masing-masing mempunyai spesifikasi tersendiri yang tidak dapat dibuat persamaannya, seperti misalnya Tulisan, Bahasa dan lain sebagainya.

Selain kerja sama, Bangsa Batak dan Bugis ternyata juga terlibat dalam persaingan atau kompetisi. Kompetisi antara Batak dan Bugis terjadi di berbagai tempat yang menjadi tujuan-tujuan migrasi. Misalnya di wilayah Tanjung Malim, Malaysia. Berikut beberapa wilayah di Singapura atau yang dulunya bernama Temasek dan tentunya berbagai tempat lainnya seperti di Vietnam, Thailand, Serawak dan lain sebagainya.

Selain kompetisi, keduanya juga terlibat dalam kolaborasi di tempat-tempat Migrasi. Raja Lingga XIII yang menjadi pendiri Kerajaan Lingga (Raja Gayo dan Karo yang diutus oleh Sultan Aceh menjadi kabinet di sekutunya Kesultanan Johor) di kepulauan Riau yang mencakup Temasek dan Johor diyakini telah melakukan kolaborasi dengan para navigator-navigator Bugis untuk melawan para perompak dan predator bangsa Barbar seperti Portugis, Spanyol dan Inggris.

Kolaborasi keduanya juga berlanjut dalam hubungan tali perkawinan sehingga sampai sekarang, para raja-raja keturunan Lingga di wilayah tersebut, khususnya Riau, lebih memilih untuk mengaku sebagai keturunan Bugis tapi tetap memakai nama Lingga, yang berjadi salah satu marga Batak.

Kolaborasi masyarakat Maritim Batak dan Bugis ini telah mencapai puncaknya dan menyatu sehingga mendominasi lautan Nusantara kala itu. Hal itu dapat dibuktikan dengan pertukaran nama-nama di kedua wilayah. Banyak nama-nama Bugis yang dipakai di Tanah Batak dan banyak nama-nama Batak yang dipakai di perairan Sulawesi.

Di masa-sama keemasan itulah diketahui bahwa orang Bugis sampai telah menaklukkan beberapa bagian Australia beberapa abad sebelum sampainya para tahanan Eropa di sana. Komunitas-komunitas Bugis telah menjadi manusia pribumi di Australia khususnya di pantai Australia Utara, mulai dari Kimberley sampai Teluk Carpentaria. Bahkan kekuatan maritim tersebut diyakini telah sampai ke Selandia Baru dan Pasifik dimana kebudayaan-kebudayaannya mempunyai kemiripan dengan Batak dan Bugis seperti apa yang terlihat di Arnhem, Maori dan beberapa komunitas budaya di kepulauan Pasifik.

Apa dan bagaimana sebenarnya orang Bugis tersebut, berikut adalah sebuah tulisan mengenai buku “Manusia Bugis” yang di dapat dari internet. Tulisan ini dimulai dari perbedaan Bugis dan Makassar.

Meski penutur Bahasa Bugis tinggal berdekatan dan berinteraksi erat dengan penutur Bahasa Makassar, tapi secara linguistik kedua bahasa tersebut adalah dua bahasa yang berbeda.

Sebagian besar penutur Bahasa Bugis tidak paham Bahasa Makassar dan begitu pula sebaliknya. Praktek kehidupan sehari-hail kedua kelompok penutur itupun berbeda. Lebih jauh lagi, dengan mengacu pada kajian seorang linguis R. Mills, Pelras berpendapat bahwa sebenarnya Bahasa Bugis lebih dekat ke Bahasa Toraja daripada ke Bahasa Makassar, meski selama ini dalam kehidupan sehari-hari sering dikatakan Bugis dan Makassar “sama-sama” saja.

Dengan kata lain, Pelras ingin menegaskan, Bugis bukan Makassar dan sebaliknya, dan istilah Bugis-Makassar adalah istilah yang tidak membantu kalau bukan menyesatkan.

Meski buku ini sangat kaya dengan detail yang didasarkan pada hasil kajian berbagai ahli, tapi buku inimemiliki plot yang “sederhana.” Dalam plot ini diasumsikan adanya satu entitas/ kelompok masyarakat”Bugis” dan entitas ini memiliki sejarah (artinya ada asal-usulnya) dan mengalami proses evolusinya.

Tidak heran karenanya apabila buku ini dimulai dengan Bagian Pertama yang berisi pembahasan yang sangat lengkap atas masa pra-sejarah Sulawesi Selatan dengan mensitesakan pelbagai kajian arkeologis tidak hanya atas temuan dan artefak di daerah Sulawesi Selatan tapi juga Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Pelras tidak hanya memulai narasinya dari aspek material masyarakat Bugis, tapi juga aspek mental dengan membongkar dan menganalisa epik Galigo. Epik ini dianggapnya mencerminkan kosmologi dan aturan keagamaan masyarakat Bugis pra-Islam.

Bagian Kedua dari buku Manusia Bugis lebih memfokuskan pada apa yang ternyata berubah tidak hanya dari aspek material tapi juga dari aspekmental yang telah disintesakannya tadi.

Dengan sangat mendetil dalam bagian ini Pelras berkisah mengenai bagaimana masyarakat Bugis, utamanya sejak abad ke-19, terserap ke dalam dunia moderen melalui globalisasi dan kolonialisme. Proses penyerapan inilah yang membawa perubahan sosial danspiritual. Patut disukuri bahwa versi Bahasa Indonesia buku Manusia Bugis selain mengalami perbaikan juga memiliki tambahan bagian-bagian baru yang tak ada dalam versi Bahasa Inggris.

Yang paling menonjol adalah penambahan untuk bab 8 dimana ditambahkan bagian-bagian yang sangat substansial mengenai kesusatraan dan seni dalam masyarakat Bugis, serta penambahan satu bagian khusus di bab 10 mengenai “Dinasti Hadji Kalla” untuk menjadi ilustrasi, baik tentang mentalitas dan norma dalam masyarakat Bugis maupun tentang perubahan sosial yang terjadi bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan kolonial dan lahirnya negara-bangsa.

Ada 3 hal besar yang saya anggap bermasalah dari narasi Pelras atas masyarakat Bugis dalam buku ini. Dari ketiga hal tersebut hal besar yang pertama disebabkan oleh terbatasnya kajian tentang Sulawesi Selatan untuk menopang satu buku yang mencoba bersifat komprehensif seperti buku ini. Sedang dua hal besar lainnya muncul akibat cara pandang yang dipilih oleh Pelras sendiri.

Hal pertama adalah terbatasnya paparan Pelras tentang abad ke- 18 dan ke-19. Paparan Pelras tentang masyarakat Bugis diabad-abad ini nampak sumir dan penuh generalisasi. Tentu ini bukan kesalahan Pelras semata. Kajian akademis yang menggunakan arsip sejarah tentang periode ini memang tak banyak dan karenanya dia harus melakukan interpolasi dan generalisasi seperlunya.

Dua hal besar lain yang bermasalah adalah mengenai “Bugis” itu sendiri dan kemudian mengenai hampir absennya politik dan konflik dalam buku ini terutama pada saat membahas periode sejak kemerdekaan. Seperti yang disinggung di atas, buku ini memiliki plot yang sangat sederhana dan dimulai dengan mengasumsikan adanya satu masyarakat “Bugis.”

Tetapi siapakah yang bisa disebut sebagai “Manusia Bugis”? Kata “Bugis” sebenarnya menunjuk pada apa? Bahasa? Pelras sudah menarik garis pembatas yang jelas antara Bugis dengan Makassar, Wotu, Toraja, atau lainnya. Tapi “garis” tersebut hanya jelas membedakan mereka yang “bukan” Bugis. Pertanyaannya, bagaimana dengan Pinrang? Enrekang? Atau bahkan Bulukumba? Bisakah istilah “Bugis” digunakan sebagai sebuah istilah ilmiah yang jelas? Dengan menolak istilah “Bugis-Makassar” dan menggunakan istilah “Bugis” bukankah berarti Pelras telah membongkar mitos Bugis-Makassar tapi membentuk mitos baru bernama “Bugis”? Kenapa tidak, seperti kata Pelras sendiri, digunakan istilah yang mengacu pada satuan politik pra-kemerdekaan seperti Bacukiki, Wajo, Gantarang, atau lainnya?

Apalagi bila kita lihat narasi Pelras di Bagian Pertama, sudah jelas bahwa informasi arkeologis yang dipakainya mencakup artefak dan temuan lainnya di daerah yang sekarang tidak dihuni penutur Bahasa Bugis, seperti Pulau Selayar atau Mandar. Masalah ketiga adalah absennya politik dan konflik terutama ketika Pelras berbicara mengenai kondisi kontemporer.

Ada kesan bahwa Pelras–entah karena tidak tertarik-sengaja menghindari pembahasan mengenai konflik dan politik kontemporer. Dia menjelaskan, misalnya, merosotnya peranan bangsawan karena mereka tak lagi relevan di era negara-bangsa. Tapi, seperti didiskusikan secara panjang lebar dalam disertasi Burhan Magenda dan juga Ichlasul Amal, situasinya tak sesederhana itu (kedua disertasi ini tak disebut sama sekali oleh Pelras).

Golkar sebagai satu mesin politik yang begitu mempengaruhipolitik lokal Sulawesi Selatan nyaris tidak disinggung kecuali dalam sub-bagian baru yang membicarakan riwayat politik Jusuf Kalla. Bahkan narasi tentang “Dinasti Haji Kalla” hampir tak menyinggung konflik dan politik di saat berkembangnya perusahaan ini sejak runtuhnya kekuasaan kolonial di tahun 1942,Pendudukan Jepang, berdirinya NIT, Orde Lama, berdirinya Orde Baru dan seterusnya. Seolah-olah perubahan-perubahan besar ini tak berpengaruh terhadap bangun dan surutnya pengusaha seperti Haji Kalla dan dunia ekonomi Sulawesi Selatan secara umum.

Terasa benar ada yang hilang dalam narasiPelras tentang masa-masa ini. Penutup Buku ini adalah sebuah epik besar yang berkisah tentang apa yang diyakini oleh Pelras sebagai masyarakat Bugis yang, dalam bahasanya sendiri “yang bertahan dan yang berubah.”

Ini bukanlah sebuah buku yang berkeinginan untuk menjelaskan apalagi berdebat tentang masyarakat Bugis di saat ini, atauapakah yang ada adalah berbagai masyarakat Bugis dengan segala keragamannya, ataupun kenapa masyarakat Bugis mendapat bentuknya yang sekarang. Buku ini adalah buku pengantar sekaligus buku referensi.

Sebuah buku referensi yang lengkap pada saat yang sama dapat menjadi buku yang berbahaya bagi kehidupan akademis. Sebuah buku referensi yang berambisi untuk menjadi karya yang lengkap akan menimbulkan kesan bahwa semua yang perlu diketahui telah dimuat dalam buku ini dan semua pertanyaan telah terjawab.

Apalagi kalau buku tersebut ditulis dengan narasi yang tak menimbulkan dan tak memprovokasi rasa penasaran, rasa ingin tahu, atau bahkan rasa marah. Ini berarti tak ada lagi yang perlu ditulis atau dijawab-buku tersebut adalah titik akhir.

Kita tahu bahwa masyarakat penutur bahasa Bugis adalah jauh lebih kompleks dan membingungkan dari apa yang sudah secara mendetil dikisahkan oleh Pelras. Kita masih belum tahu kenapa di dalam masyarakat yang menurut Pelras hidup semangat yang kuat akan kebebasan dan individualisme hidup pula obsesi akan hirarki (dan karenanya hubungan patron-klien yang kental)?

Pelras sendiri menyodorkan satu teka-teki besar: Jika ajaran-ajaran leluhur yang bersifat normatif begitu luhur, lalu bagaimana menjelaskan perilaku sehari-hari yang mudah ditemui sekarang dimana masyarakat Bugis “bersaing dengan kasar, tidak adil, curang, membeda-bedakan orang di depan hukum” (hal. 260)?

Untuk memecahkan kontradiksi ini ia memberikan beberapa petunjuk (meski tak terlalu meyakinkan) bahwa ajaran-ajaran leluhur itu sendiri bila dilihat secara keseluruhan sudah mengandung kontradiksi, dan karenanya “sifat baik seseorang hukan sesuatu hal yang mutlak ada, akan tetapi sekadar sebagai alatuntuk mencapai tujuan yang dikehendaki” (hal. 262).

Buku Manusia Bugis karya Christian Pelras ini adalah buku yang harus dimiliki bagi para ahli antropologi, sejarah, politik, atau ilmu sosial dan humaniora lainnya. Isinya yang kaya dan acuannya yang lengkap juga membuat buku ini perlu dibaca bagi mereka yang sedang belajar untuk menjadi ahli.

Tapi buku ini hanya dapat membuka ruang untuk dilanjutkannya kajian-kajian tentang masyarakat Bugis kalau-dan hanya KALAU–buku ini dibaca dengan skeptisismc dan daya kritis. Hanya dengan semangat-semangat inilah karya baru yang menggelitik akan terus lahir.

Catatan Akhir Tidak jelas kenapa judul buku ini Manusia Bugis dan bukan Masyarakat Bugis atau Orang Bugis, padahal apabila dibaca, jarang sekali Pelras menggunakan kata “manusia Bugis” dalam pembahasannyadan cenderung “masyarakat” atau “orang” Bugis.

http://humbahas.blogspot.com/2007/01/bugis-dan-peradaban-batak.html

pdf Bugis dan Peradaban Batakconvert this post to pdf.
Rabu, Februari 18, 2009 | 0 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.

Manusia Batak

Pengunjung

Flag Counter

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *




Kunjungan Presiden RI

Event Sipakko

Daftar Blog Saya